Sumber Pengetahuan yang Sebenarnya

 
Sumber Pengetahuan yang Sebenarnya
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Pada hakikatnya manusia sebagai mahkluk theomorfis mempunyai sesuatu yang agung di dalam dirinya, yaitu akal – kehendak yang bebas (free will) dan kemampuan berbicara. Akal memungkinkan manusia membedakan mana baik dan buruk, antara kenyataan dan khayalan, serta dengan sendirinya membawa manusia kearah kesadaran tentang kesatuan Dzat (tauhid). Karena itu, kehendak membuatnya mampu memiliki pilihan antara yang benar dan yang salah.

Dalam Islam, manusia tidak dipandang sebagai makhluk yang berkehendak serba buruk memiliki akal, melainkan sebagai makhluk berakal yang mampu mendekatkan diri kepada tuhan, yang juga memiliki kehendak dan kemapuan berbicara. Kemampuan berbicara membuatnya mampu menyatakan hubungan antara dirinya dengan Tuhan.

Konsep manusia sebagai makhluk theomorfis sisi lain, adalah bentuk kritik terhadap ideologi dunia modern yang sekarang sedang dihadapi manusia. Ideologi modern telah menggeser posisi manusia dari pusat eksistensinya, sehingga semakin terpinggirkan dari esensi kemanusiaannya, dan kehidupan menjadi kehilangan horizon spiritual (ini yang dapat menimbulkan berbagai bencana dan krisis kemanusiaan serta rusaknya lingkungan).

Keadaan seperti inilah yang membuat manusia lupa dengan hakikat diri yang sebenarnya. Kemajuan masyarakat yang sudah berhasil dan begitu percaya pada ilmu tekhnologi, akhirnya berkembang lepas dari kontrol agama karena menjadi sebagai pusat kemajuan, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi akhirnya menggantikan posisi agama. Segala kebutuhan agama seolah bisa di petik melalui Mbah teknologi-isme.

Sumber Pengetahuan (ilmu) adalah Tuhan

Tuhan sebagaimana dikatakan oleh Yusuf Al-Qardhawi, adalah “manhaj” yaitu Tuhan sebagai sumber. Dalam konteks nalar budaya Arab-Islam, ada tiga bentuk nalar, yaitu Tuhan, manusia dan alam. Dalam srutuktur nalar, Tuhan menjadi sentral proses nalar untuk memahami penalaran manusia dan alam. Jadi semangat ketauhidan menjadi landasan untuk mencari ilmu pengetahuan.

Islam mengajarkan bahwa tuhan merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang ghaib. Secara aplikatif, sumber ilmu dalam epistemologi Islam berupa wahyu tuhan, hati atau intuisi, akal, dan indra.

Sementara dalam praksisnya, kadang ada pemilahan dari epistemologi di atas. Ilmu-ilmu agama (naqliyah), misalnya, berdasarkan kepada otoritas, bukan akal. Yang dimaksud dengan otoritas disini adalah Al-Qur’an dan Hadis yang bertindak sebagai tafsir atasnya. Jadi sumber ilmu agama adalah kitab suci (Al-Qur’an), sedangkan sumber dari ilmu-ilmu umum adalah alam semesta yang terhampar luas dihadapan kita.

Melalui galaksi-galaksi yang amat luas, hingga atom-atom yang amat kecil dan juga diri kita sendiri sebagai manusia. Ahmad Tafsir mengatakan, Tuhan menyediakan dua sumber untuk belajar, yaitu Al-Qur’an (nash) dan akhwal (alam semesta).

Kita tahu bahwa persoalan klasik dalam pendidikan Islam yang masih melekat sampai sekarang adalah masalah dikotomi keilmuan. Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum menyebabkan thalib (orang yang mencari ilmu) mempunyai kepribadian ganda.

Pemilihan ilmu agama dan ilmu umum ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang universal dan integral, karena semua cabang ilmu dalam Islam bersumber dari satu yaitu Allah SWT. Memang dalam Islam ada hierarki ilmu, tapi hierarki ini pada akhirnya bermuara pada pengetahuan tentang yang Maha Tunggal sebagai substansi segenap ilmu.

Para ilmuan muslim mengklasifikasikan cabang ilmu kepada dua bagian, yakni pertama, Al-Ulum Al-Naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang disampaikan lewat wahyu, tetapi melibatkan akal, yakni ilmu-ilmu agama, yang menurut Al-Ghazali disebut sebagai ilmu “Fardhu Ain”. Kedua, Al-Ulum Al-Aqliyah, yaitu ilmu-ilmu intelektual yang diperoleh sepenuhnya melalui akal (rasio), dan pengalaman empiris yang disebut sains.

Klasifikasi ilmu tersebut bukan untuk mendikotomikan antara keduanya, tetapi hanya klasifikasi yang menunjukkan komplitnya ilmu yang berkembang dalam Islam. Memang sepintas ini menunjukkan akan adanya pemisahan ilmu. Namun, ketika kita lihat pernyataan Tuhan bahwa baik Al-Qur’an maupun alam semesta adalah sebagai tanda-tanda (ayat) Tuhan.

Islam memandang alam adalah sebagai ciptaan Allah SWT, sekaligus merupakan bukti agung-Nya. Dengan demikian, alam merupakan wahyu Allah SWT yang tidak tertulis. Sebagaimana banyak di isyaratkan dalam Al-Qur’an, setiap manusia seharusnya membaca wahyu Allah SWT, baik yang tertulis maupun tidak, untuk meraih suatu kebenaran yang hakiki, karena alam adalah karya Ilahi. Karena itu, sudah jelas bahwa walau secara aplikatif sumber ilmu itu banyak, namun itu adalah satu kesatuan dari pengetahuan Tuhan.

Dalam merespon atas dikotomi keilmuan, Al-Faruqi dengan semangat ke-tauhid-an meletakkan fondasi epistemologi keilmuan Islam dengan landasan lima macam kesatuan. Pertama, keesaan Allah SWT. Bahwa tidak ada tuhan selain Allah SWT yang menguasai dan memelihara alam semesta. Ini berimplikasi bahwa sains bukan hanya menerapkan dan memahami realitas yang terpisah dari Tuhan, tetapi sebagai bagian integral dari esistensi Tuhan.

Kedua, kesatuan ciptaan bahwa semesta ini baik yang material, psikis, biologis, sosial maupun estetis adalah merupakan kesatuan yang integral untuk mencapai tujuan tertinggi Tuhan.

Ketiga, kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kebenaran bersumber pada realitas, dan realitas bersumber dari satu yaitu Tuhan. Maka, apa yang disampaikan lewat wahyu tidak bertentangan dengan realitas yang ada, karena keduannya diciptakan Tuhan.

Keempat, kesatuan hidup melalui amanah, khilafah, dan kaffah (komprehensif).

Kelima, kesatuan manusia universal yang mencakup seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dengan demikian, jelaslah bahwa kerangka pengetahuan Islam adalah berpusat dan bersumber dari Tuhan. Karenanya, baik ilmu agama maupun ilmu umum sebenarnya sama-sama bersumber dari yang satu yaitu Tuhan, dengan ayat-ayat-Nya yang tujuannya juga hanya satu, adalah untuk mengenal Tuhan.

Kesatuan ilmu ini mempunyai sifat integrasi, yaitu tidak hanya saling bertentangan namun saling mendukung satu sama lain. Dalam hal ini, ilmu agama mendukung ilmu umum, dan ilmu umum (sains) mendukung agama.

Islam adalah religion af nature, segala yang berbahu dikotomik antara agama dan sains maka harus dihindari. Alam adalah tanda atau pesan Ilahiyah yang menunjukkan kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh seseorang memahi alam dengan ilmu sains, maka semakin dalam juga dia mendapatkan pesan Ilahiyah. Karena itu, seharusnya dalam beragama landasan awalnya adalah keimanan, dan iman adalah rasio, dan rasio adalah alam.

Syahdan, lebih jauh dalam konteks keislaman, keduanya antara ilmu agama dan ilmu umum harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang terpadu yang harus dikuasai oleh setiap muslim untuk meningkatkan daya saingnya. Karena itu, untuk menghadapi persaingan era zaman postmodernisme ini, lembaga pendidikan Islam manapun harus bahkan wajib melakukan perimbangan penguasaan sains dan teknologi dengan keimanan dan ketakwaan yang dipadukan dengan proporsi yang seimbang agar tidak ketinggalan zaman. Wallahu a’lam.

Ahad, 16 Januari 2022
Salam,

Oleh: Gus Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang