Sebuah Inspirasi Menghidupkan Kembali Gagasan dan Ide Gus Dur

 
Sebuah Inspirasi Menghidupkan Kembali Gagasan dan Ide Gus Dur
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sebelum terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf berkali kali mengutarakan keinginannya untuk "menghidupkan" Gus Dur. Menghidupkan Gus Dur bisa dimaknai sebagai ikhtiar beliau untuk mengembalikan nilai-nilai keislaman, keindonesiaan dan kemanusiaan yang sebelumnya gencar diusung Gus Dur.

Pertama, visi tersebut akan menarik garis tegas mengenai peran NU dalam konteks politik kebangsaan dan politik praktis sebagaimana ajaran Gus Dur. Garis tegas itu telah dicontohkan Gus Dur ketika memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan ketua umum PBNU setelah ia mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada awal masa reformasi lalu. Oleh karena itu, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya dinilai perlu lebih bijak menjaga relasinya dengan kekuasaan tanpa harus kehilangan nalar kritisnya sebagai penyambung aspirasi.

Kedua, PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya harus terus memberikan perhatian kepada kelompok yang tertindas (Mustad'afin) dan mendampingi mereka untuk mendapatkan keadilan. Nilai kemanusiaan juga dapat diperjuangkan dengan peningkatan kualitas pendidikan Islam berbasis pesantren dan pemberdayaan ekonomi rakyat yang berorientasi pada kemandirian umat.

Ketiga, Gus Dur mengajarkan pentingnya pengarusutamaan nilai-nilai kemanusiaan dalam diskursus keislaman dan keindonesiaan. Sebagai jam’iyyah yang menganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah, NU tentu tidak bisa dilepaskan dari persoalan global.

Masalah kemanusiaan sejalan dengan perkembangan zaman, dan kini sedang masuk dalam era globalisasi yang berkembang demikian pesatnya. Di sini, NU dituntut untuk mampu memberikan jawaban-jawaban solutif dan menempatkan dirinya pada peran strategis bagi perjuangan kemanusiaan, penegakan keadilan, persamaan, dan kesetaraan.

Masalah hak asasi manusia, gender, demokrasi, dan pluralisme seperti yang diusung dan ditulis oleh Gus Dur merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sejak dalam kehidupan manusia terjadi interaksi sosial, sesungguhnya pada saat itulah masalah-masalah tersebut mulai ada.

Perjuangan terus menerus untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai puncak ciptaan Ilahi, juga merupakan bagian inti dari tugas para nabi dan rasul. Itulah sebabnya, mengapa kisah-kisah perjuangan para rasul mempunyai porsi terbanyak dalam ayat-ayat Al-Quran yang bertujuan agar umat Islam mampu menangkap pesan-pesan kemanusiaan yang dirisalahkan melalui para nabi dan rasul.

Dari masa ke masa, kita bisa menyaksikan adanya pertentangan abadi antara upaya penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan penindasan terhadapnya; atau dalam bahasa agama, antara haqq dan bathil, yang baik dan yang benar. Ini merupakan cermin bagi keberadaan setiap individu manusia yang oleh Tuhan diberikan potensi fujur dan taqwa.

Allah SWT berfirman:

فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ

“Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.” (QS. Asy-Syams: 8)

Terlepas dari segala kekurangan yang dimilikinya, harus diakui bahwa manusia merupakan makhluk terbaik Allah, yang mempunyai fitrah dan naluri kesucian untuk selalu condong kepada kebenaran (hanif), di samping potensi jahat (fujur).

Fungsi Islam dalam hal ini adalah penyempurna untuk memberikan bimbingan kepada manusia agar bisa mengaktualisasikan potensi positifnya dan meminimalisir potensi negatifnya. Itulah sebabnya mengapa paham Ahlussunnah Waljama’ah tidak ingin melakukan perombakan total terhadap apa yang telah berkembang dalam kehidupan manusia, tetapi lebih mengarah pada proses penyempurnaan terhadap pola hidup manusia.

Pandangan Gus Dur yang lain mengenai HAM demokrasi dipandang dari sudut nilai kemanusiaan (Islam humaniterian). Masalah kemanusiaan merupakan masalah global yang melampaui batas-batas etnik, ras, maupun ideologi. Sikap penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi, ketidakadilan, penindasan, dan pemaksaan kehendak merupakan hal yang dimiliki oleh bangsa, suku, agama, dan kelompok manapun di seluruh penjuru dunia.

Paham moderat dan inklusif “Al-Muhafadhah 'ala Al-Qadim As-Sholih wa Al-Akhdzu bi Al-Jadid Al-Ashlah” yang menjadi prinsip paham Ahlussunnah wal Jama’ah menemukan relevansinya. Namun, semuanya itu tentu saja harus didasari oleh upaya yang serius terhadap masalah-masalah yang berkembang.

Upaya-upaya penegakan HAM merupakan masalah global dan tugas manusia secara keseluruhan yang tentu saja harus mendapatkan respons serius dari agama (baca: Ahlussunnah wal Jama’ah). Kenyataan bahwa setiap kelompok, bangsa, ideologi, maupun agama manapun di seluruh penjuru dunia untuk menggaungkan perjuangan demi penegakan dan pemenuhan HAM seharusnya menjadi momentum bersama untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang jauh dari penindasan, pertumpahan darah, kekerasan, dan kezaliman. Al-Quran sendiri dengan tegas menyatakan bahwa menghalang-halangi upaya penegakan keadilan merupakan perbuatan orang-orang kafir.

اِنَّ الَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ النَّبِيّٖنَ بِغَيْرِحَقٍّۖ وَّيَقْتُلُوْنَ الَّذِيْنَ يَأْمُرُوْنَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِۙ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar) dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, sampaikanlah kepada mereka kabar gembira yaitu azab yang pedih.” (QS. Ali Imaran: 21). []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 28 Desember 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Aji Setiawan

Editor: Hakim