Antropomorfisme Tuhan menurut Abu Mansyur Al-Maturidi

 
Antropomorfisme Tuhan menurut Abu Mansyur Al-Maturidi
Sumber Gambar: Yandex.uz

Laduni.ID, Jakarta – Manusia adalah makhluk yang berketuhanan, ia (manisia) adalah makhluk yang menurut alam hakikatnya sendiri, sejak masa primordialnyas selalu mencari dan merindukan keberadaan Tuhan. Inilah sebuah bentuk fitrah dan dorongan alaminya untuk senantiasa merindukan, mencari dan menemukan Tuhan.

Sebagai bentuk kesadaran manusia akan adanya “Kesadaran Ketuhanan” tersebut, maka manusia menginternalisasi konsepsi tauhid sebagai perwujudan kemerdekaan yang ada. Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, manusia pula disebut berharkat dan bermartabat itu merupakan sebuah bentuk adanya hak dasar manusia untuk memilih dan menentukan perilaku moral dan etisnya diri sendiri.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa manusia senantiasa memberi makna pada hidupnya, berusaha memahami dan mengetahui wawasan keilmuan sebagai tujuan untuk menembus pengetahuan ilmu-ilmu duniawi (teretrial), menembus tujuan tujuan hidup ukhrawi (celestial). Islam berpandangan bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT.

Tauhid adalah sumber sekaligus muara segala tata hukum syari’at, dari tauhid syariat bermuara dan kepada tauhid syariat kembali. Artinya, ilmu tauhid merupakan sebuah hasil dari pencarian dan kerinduan manusia untuk menembus ukhrawi dan mengetahui keberadaan Tuhan dan sifat-sifat yang dimiliki oleh Tuhan.

Agama telah menempuh alur sejarah yang sangat panjang, bertahan dari generasi ke generasi dan membentuk mimik kehidupan manusia. Dalam ilmu kalam, pencarian dan memahami Tuhan telah melewati berapa fase dan generasi dari para tokoh ilmu kalam. Penafsiran tentang Tuhan telah banyak ditafsrikan berbagai aliran-aliran yang ada di muka bumi dengan segala cara pandang nya.

Mengenai sifat-sifat Tuhan, Al-Asy’ari secara garis besar berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Qadim sebagaimana dzat yang disifatkan. Pemahaman tentang Tuhan menggunakan konsep antrophotisme Imam Abu Mansyur Al-Maturidi, Tuhan sebagai sumber sekaligus muara sebagai dasar untuk mengenal Tuhan.

Abu Mansyur Al-Maturidi atau lengkapnya Abu Mansyur Muhammad bin Muhamad bin Mahmud Al-Maturidi As-Samarqandi Al-hanafi merupakan seorang imam aliran Aqidah Al-Maturidiyyah. Beliau dilahirkan pada tahun 238 H (853 M) di kota Samarkand (sekarang termasuk wilayah Uzbekistan) yang terletak di seberang sungai.

Abu Mansyur Al-Maturidi selalu disandingkan dengan Abu Hasan Al-Asy’ary sebagai dua tokoh manhaj Ahlussunnah Wal Jama’ah. Secara, jejak kehidupannya tak banyak dikenal luas oleh para sejarawan, akan tetapi, seluruh kehebatan murid-muridnya serta karya tulisnya telah menunjukan betapa kharismatik beliau. Para Ulama’ sepakat bahwa beliau wafat pada tahun 333 H (944 M). Abu Manshur Al Maturidi wafat di usia 100 tahun dan dimakamkan di daerah Samarkand.

Pengertian Anthropomorphisme

Anthropomorphisme berasal dari kata “Antropos” (manusia) “morphe’’ (bentuk, wujud) dalam bentuk manusia, sedangkan “Isme” adalah faham. Secara pengertian etimologi adalah teologi Islam yang di artikan memberikan gambaran bahwa tuhan bersifat atau berbentuk seperti Manusia.

Pribadi Allah tidak dapat dikenali oleh manusia, karena Dia sama sekali berbeda dengan Manusia. Tetapi, Allah berkenan menciptakan manusia menurut gambar dan rupanya. Gambar dan rupa yang diciptakan ini lah yang di pakai Tuhan untuk menyatakan diri-Nya kepada Manusia.

Anthropomorf yang menjadikan manusia mengenal tuhan secara pribadi, di mana pribadi Allah sebenarnya secara tepat tidak akan kita mengerti. Jika Tuhan tidak nyata, sebagai suatu pribadi, maka konsep kerohanian akan sulit untuk dijelaskan. Jika Tuhan sungguh mulia tapi tidak berbentuk, maka sulit bagi Manusia untuk memanifestasikan dalam kehidupan Manusia.

Dalam masalah sifat-sifat Tuhan, Al-Maturidy sependapat dengan pengertian yang dicetuskan oleh Imam Al Asy’ary, bahwa Tuhan memiliki sifat, namun bukan sebagai dzat Tuhan, tetapi juga tidak lain dari Tuhan. Misalnya Tuhan maha mengetahui, maka bukanlah dzat-Nya melainkan mengetahui dengan pengetahuan-Nya.

Tentang kejisiman Tuhan, Al-Maturuidy tidak sependapat dengan Al-Asy’ary yang mengatakan, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai bentuk jasmani tidak dapat memberi interpretasi atau takwil. Namun, Al-Maturidy berpendapat bahwa Tuhan sama sekali tidak mempunyai badan dan jasmani.

Al-Maturidy menambahkan bahwa, tenaga, wajah, dan sebagainya walau diberi arti majazi atau kiasan, seperti tangan Tuhan, harus ditakwilkan dengan kekuasaan Tuhan. Imam Abu Manshur Al-Maturidi dalam keyakinannya, untuk mengenal Tuhan perlu menggunakan takwil dan interpretasi dalam memahami nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadis, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat jasmaniyah pada Tuhan. Namun, mereka lebih berhati-hati dalam pendapatnya untuk mengenali Tuhan.

Keyakinan mengetahui Tuhan menurut Al-Maturidy, bahwa iman mesti lebih sekedar Tasdiq, karena baginya akal dapat sebagai kewajiban mengetahui Tuhan. Capaian untuk mengenal Tuhan di tingkatan Ma’rifah bukan hanya sekedar tahu dan sebutan Tuhan-Nya, tetapi memahami, mengetahui, Tuhan dengan sifatnya, dan Tauhid adalah mengenal Tuhan dengan segala Keesaanya.

Refrensi:

Nawawi, Saifurrahman, Ilmu Kalam Jus III, Prenduan: Al Amien, 2011

Prof. Dr. Nur Cholis Madjid, Dkk, Islam Universal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Oleh: M. Wahyudin Aziz, Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang