Meniru Akhlak KH Abdul Karim kepada Sang Guru

 
Meniru Akhlak KH Abdul Karim kepada Sang Guru
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Hubungan yang terjalin antara guru murid adalah hubungan yang sakral, hubungan batin dan rasa yang memungkinkan seorang murid menerima sebuah wahyu. Namun, akan ada satu dari sekian banyak murid yang memiliki akhlak kurang baik pada gurunya.

Jika saja seluruh wali, mursyid, atau gurunya para wali Allah ingin memperbaiki keadaan murid yang tak menjaga akhlaknya kepada sang guru, niscaya todak akan bisa dilakukan kecuali gurunya telah ridha.

Diriwayatkan, KH Abdul Karim, pendiri Pondok Pesan Lirboyo saat menimba ilmu kepada Syaikhona Kholil Bangkalan merupakan seorang santri yang sangat takdhim dan khidmat kepada sang guru. Tidak pernah sekalipun Abdul Karim kecil membantah perintah sang guru, ataupun melakukan perbuatan durhaka kepadanya.

Pernah suatu ketika, saat Mbah Abdul karim bekerja memanen padi di sawah milik warga sekitar, beliau mendapatkan upah berupa beberapa ikat padi yang akan dijadikan sebagai biaya hidup dan bekal selama di pesantren. Sesampainya di ndalem (kediaman) sang guru, Mbah Kholil justru meminta padi yang dibawa oleh Mbah Abdul Karim untuk diberikan kepada ayam-ayam milik Mbah Kholil.

Karena itu adalah perintah sang guru, Mbah Abdul Karim lalu memberikan padi itu. Mbah Kholil juga memberi dawuh untuk tetap memakan daun pace (mengkudu) selama berada di pesantren. Karena rasa takdhim dan demi mengharap keberkahan ilmu, Mbah Abdul Karim menuruti semua perintah sang guru.

Setelah menerima ilmu dari Syaikhona Kholil, Mbah Abdul Karim dizinkan untuk boyong (keluar dari pesantren). Lalu beliau mendirikan majelis taklim di kampung halamannya yang menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri.

Mbah Abdul Karim memiliki metode belajar yang unik, salah satunya saat membacakan kitab di depan para santri. Ketika Mbah Abdul Karim bertemu ruju’ (tempat kembalinya maksud dari sebuah kata), beliau tidak pernah menyebutkan ruju’nya secara jelas. Mbah Abdul Karim selalu menggunakan istilah “iku mau” atau “mengkono mau” (yang tadi atau sebagaimana tadi) dalam menyebutkan ruju’nya.

Hal tersebut tentu membuat para santri bingung, hingga pada suatu ketika saat pengajian bulan Ramadhan ada seorang santri dari luar daerah yang ikut mengajian Mbah Abdul Karim. Karena metobe belajar Mbah Abdul Karim adalah salah satunya tidak menjelaskan ruju’nya secara jelas, santri baru tersebut mengeluhkan, “Ini bagaimana, katanya seorang kiai alim, kok setiap ada ruju’an tidak pernah dijelaskan?” gumamnya dalam hati.

Dengan izin Allah, Mbah Abdul Karim dapat mengetahui apa yang dikeluhkan oleh santri tersebut. Lalu Mbah Abdul Karim dawuh, “Laa ya’rifu al dhomir illa al dhomir, fa man lam ya’rif al dhomir fa laisa lahu al dhomir, tidak akan pernah mengetahui makna dhomir kecuali menggunakan hati, maka apabila seseorang tidak mengetahui dhomir, itu artinya dia tidak punya hati.”

Mbah Abdul Karim juga menjelaskan perihal metode belajarnya yang tidak menjelaskan tentang ruju’nya, sebab hal tersebut sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan. Mbah Abdul Karim tidak berani merubah apa yang telah diajarkan oleh sang guru kepadanya.

Wallahua'lam

Disadur dari tulisan Siti Mudrikah


Editor: Daniel Simatupang