Antara Fakta dan Khurafat

 
Antara Fakta dan Khurafat
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – "Jika ada yang ngaku-ngaku bisa melihat Rasulullah secara kasat mata (yaqdah), maka ketahuilah, sungguh ia telah berdusta!"

Petikan kalimat yang terucap dari salah seorang yang dianggap sebagai dai (ustadz). Kalimat yang menjadi upaya untuk memecah belah umat, serta mencuci otak mereka agar membenci ulama, khususnya para ulama dan habaib yang dikaruniakan oleh Allah SWT berupa memandang Rasulullah SAW secara kasat mata.

Lantas, apakah mungkin salah seorang dari kita dapat melihat Rasulullah SAW secara kasat mata?

Hal pertama yang wajib diketahui ialah kemampuan memandang Rasulullah SAW secara kasat mata (yaqdah) ialah karunia yang dimiliki oleh Allah SWT. Maka, Allah SWT dengan sifat Iradah (keinginanNya) bebas untuk memberikan kemampuan tersebut kepada hamba yang dikehendaki-Nya.

Allah SWT berfirman,

يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Artinya: “Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Ali-Imran: 74)

Kemudian, memandang Rasulullah SAW secara kasat mata bukanlah hal yang asing di kalangan orang-orang yang hatinya dipenuhi cinta dan rindu kepada Rasulullah SAW. Maka, seseorang yang ingkar akan hal tersebut, masih perlu mengintrospeksi hatinya terlebih dahulu, akankah kerinduan kepada Rasulullah SAW masih bersemayam di hatinya?

Riwayat yang menguatkan bahwa melihat Rasulullah SAW secara kasat mata bukanlah termasuk khurafat atau dongeng belaka,

أن عبد الله بن عباس رأى النبي في النوم فتذكر هذا الحديث وبقي يفكر فيه ثم دخل على بعض أزواج النبي (ميمونة) فقص عليها قصته فقامت وأخرجت له مرآته صلى الله عليه وسلم، قال: فنظرت في المرآة فرأيت صورة النبي ولم أر لنفسي صورة.

Suatu ketika Sayyidina Abdullah bin Abbas bermimpi Rasulullah SAW hingga hal tersebut terus terngiang-ngiang di benaknya. Hingga ia menceritakan hal tersebut kepada Sayyidah Maimunah (salah seorang istri dari Rasulullah SAW).

Berniat untuk sedikit mengobati kerinduannya kepada Rasulullah SAW, Sayyidah Maimunah pun mengambil sebuah cermin peninggalan Rasulullah SAW dan memberikan cermin tersebut kepadanya.

Sayyidina Abdullah bin Abbas bersaksi dalam tuturnya, “Ketika aku bercermin, bukan malah wajahku yang muncul, tetapi malah wajah kekasihku; Rasulullah SAW.” (Risalah Tanwir Al-Halk, 2/245)

Menguatkan riwayat tersebut, hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidina Abu Hurairah; Rasulullah SAW bersabda,

من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي

"Barangsiapa yang telah memandangku di dalam mimpinya, maka ia akan melihatku secara kasat mata, karena Syaitan tak mampu menyerupai aku." (H.R Bukhari, Muslim dan Abu Dawud; Hadis Shohih)

 

Al-Imam Jalal Ad-Diin As-Suyuti menjelaskan maksud dari hadis ini, dalam petikan kalamnya:

“Seorang yang pernah bermimpi Rasulullah semasa hidupnya (walau sekali) seakan ia telah mendapat janji dari Rasulullah SAW berupa; pandangan atau melihat Rasulullah SAW sebelum dia wafat. Umumnya hal tersebut akan terjadi ketika detik-detik dicabut ruhnya. Maka Rasulullah SAW lah yang menjadi penuntun baginya untuk menutup usia dengan lantunan dua kalimat syahadat.” (lihat: “Risalah Tanwir Al-Halk lis- Suyuti” 2:243, dan Fath Al-Bari).

Jika mereka masih mengelak, dan berkata, “Bagaimana mungkin hal itu terjadi, bukankah Rasulullah SAW telah dikubur ratusan tahun yang lalu? Mana mungkin bisa menemui seseorang yang masih hidup?”

Al-Imam Ibnul Jauzi mematahkan pernyataan tersebut dalam tuturnya,

 أنه من ظن أن جسد رسول الله -صلى الله عليه وسلم- المودع في المدينة خرج من القبر، وحضر في المكان الذي رآه فيه؛ فهذا جهل لا جهل يشبهه، فقد يراه في وقت واحد؟! وإنما الذي يرى مثاله لا شخصه، فيبقى "من رآني. فقد رآني"، معناه: قد رأى مثالي، الذي يعرفه الصواب، وتحصل به الفائدة المطلوبة2.

“Barangsiapa yang mengira bahwa (maksud hadis; bahwa ia akan memandang Rasulullah secara kasat mata) jasad Rasul yang dikubur di Madinah, akan keluar untuk menemuinya, maka inilah suatu pemahaman yang menunjukkan kebodohan orang tersebut. Akan tetapi maksud dari hadis ialah; ia akan memandang suatu gambaran yang menunjukkan bahwa seperti itulah dzat dari Rasulullah SAW bukan jasad maupun tubuhnya secara hakiki. Maka dengan maksud ini, hadis dapat diterima dengan akal sehat.” (lihat: Shoid Al-Khotir)

Al-Imam Izzuddin bin Abdussalam pun membenarkan hal tersebut dalam ucapnya, “Tingkatan untuk mampu melihat Nabi secara langsung bak jalan berliku, sedikit yang berhasil mencapainya. Tetapi tidak bisa kita pungkiri atas kejadian yang telah dilalui oleh para ulama yang telah mencapai tingkatan ini.” (al-Hawi Lil Fatawy, 2:245)

Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad pun mengungkapkan hal yang senada, dalam tuturnya, “Tidak perlu heran, sungguh Rasulullah masih hidup di alam yang berbeda, tetapi tidaklah bisa menjabarkan serta merasakan kehadiran darinya, melainkan ulama yang telah mencapai tingkatan tersebut.” (Al-Fushul Al-Ilmiyah, hal:106)

Hingga tersisa orang mengabaikan suara hatinya, serta menuruti nafsu untuk ingkar akan hal tersebut.

Wallahu A'lam bis Showab.

Referensi:

1. Tanwir Al-Halk, karya; al-Imam Jalal ad-Diin as-Suyuti.

2. Fath Al-Bary, karya; Al-Imam Ibn Hajar Al-A'sqolany.

3. Soyd Al-Khotir, karya; Al-Imam Ibn al-Jawzy.

4. Al-Fushul Al-Ilmiyah, karya; Al-Habib Abdullah bin A'lawy Al-Haddad.

Oleh: Sibt Umar


Editor: Daniel Simatupang