Kiai Abdul Wahab Ahmad: Perbedaan Sifat Dzatiyah dan Sifat Jismiyah

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Perbedaan Sifat Dzatiyah dan Sifat Jismiyah
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Para Taymiyun (wahabi) seringkali menyamakan dan menyamarkan antara sifat Dzatiyah Allah dan Sifat Jismiyah. Agar tidak rancu, saya membuat poin-poin singkat sebagai berikut:

Dzat itu ada macam-macam kategorinya:

1. Jauhar (entitas tunggal terkecil)

2. Jisim (entitas multi jauhar)

3.  Aradl (aksiden)

4.  Bukan jisim, jauhar atau pun Aradl

Allah adalah kategori keempat sebab laisa kamitslihi syai'un. Seluruh semesta (makhluk) masuk dalam salah satu dari ketiga kategori pertama.

Kemudian, sifat Allah ada dua kategori:

1. Sifat yang melekat pada Dzat Allah, tak terpisah darinya. Karena itu, maka sifat-sifat ini seluruhnya mempunyai karakter sebagai qadim (tanpa awalan), baqa' (tanpa akhiran), wahdaniyah (tunggal dan satu-satunya), mukhalafah Lil hawadits (berbeda secara mutlak dengan atribut makhluk). Inilah yang disebut sifat Dzatiyah, contoh: Mendengar, melihat, mengetahui, dsb. Semuanya selalu ada dalam diri Allah tidak ada berhentinya.

2. Sifat yang dinisbatkan pada Allah tetapi ia melekat pada makhluk dalam arti perubahannya terjadi pada diri makhluk, bukan pada diri Allah. Misalkan, menciptakan (makhluknya yang jadi tercipta), mematikan (Makhluknya yang mati), menghidupkan (Makhluknya yang hidup), merahmati (Makhluknya yang diberi rahmat), dan seterusnya. Inilah yang disebut sifat fi'liyah.

Yad, ain, wajh dan sebagainya masuk mana? Tergantung dimaknai apa. Kalau misalnya yad disamakan dengan kuasa Allah untuk melakukan sesuatu, maka masuk pada sifat dzatiyah, baik dianggap bagian dari sifat qudrah atau dianggap berlainan dengan qudrah (ada ikhtilaf soal ini). Kalau diartikan perlindungan atau pertolongan Allah, maka masuk ke fi'liyah. Sifat lainnya qiyaskan sendiri.

Istawa dan nuzul masuk mana? Tergantung juga dimaknai apa. Kalau misalnya istawa dimaknai penguasaan mutlak atas semesta, maka masuk dzatiyah. Kalau dimaknai sebagai perbuatan Allah yang khusus pada Arasy, maka masuk fi'liyah. Adapun nuzul, bila dimaknai sebagai sifat tersedianya pintu maghfirah dan pintu Rahmah di sepertiga malam terakhir, maka masuk sifat fi'liyah.

Lalu bagaimana bila istawa dan nuzul dimaknai sebagai perpindahan posisi Allah antara ada di atas Arasy dan ada di atas langit dunia? Cek poin selanjutnya.

Semua Ahlussunnah wal Jamaah sepakat bahwa yadullah dan sebagainya bukan anggota tubuh Allah atau bagian yang menyusun Dzat Allah. Dengan kata lain Allah bukan sosok 3D yang berada di suatu tempat di arah atasnya Arasy. Makna yang dinafikan ini bukanlah sifat dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Ini yang sering disamarkan oleh banyak Taymiyun (wahabi) sebagai sifat Dzatiyah, padahal bukan dzatiyah tetapi sifat jismiyah. Bukti-buktinya banyak, silakan baca buku saya.

Memaknai istawa sebagai keberadaan Allah di atas Arasy dan terbatas di sana saja dengan ukuran tertentu (baik dianggap menempel atau melayang di atas Arasy) adalah sifat jismiyah, bukan sifat dzatiyah. Demikian memaknai nuzul sebagai perpindahan posisi Allah dari lokasi di atas Arasy ke lokasi di bawahnya hingga berhenti di atas langit dunia (baik dianggap Arasy jadi kosong atau tidak) adalah juga sifat jismiyah. Keduanya adalah atribut khusus jisim, bukan atribut bagi Dzat sebab Dzat yang bukan jisim, jauhar atau pun Aradl mustahil demikian.

Sebagian Taymiyun tidak mengikuti akidah Ibnu Taymiyah secara total tetapi hanya membaca secara global saja sehingga tidak sampai menetapkan sifat jismiyah bagi Allah. Karena masih pemula, mereka hanya sekedar menetapkan istilah yang ada dalam al-Qur'an dan hadis tanpa kepikiran ada sosok 3D di atas Arasy yang naik turun bergerak setiap sepertiga malam terakhir. Mereka ini sejatinya sama seperti Asy'ariyah hanya saja karena mendapat misinformasi tentang Asya'irah akhirnya ikut-ikutan menganggap Asya'irah sesat, padahal hanya karena menjadi korban hoax.

Bila kesulitan mencerna, maka silakan buat skemanya dan dibaca ulang pelan-pelan. Semoga bermanfaat.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang