Epistemologi dalam Wacana Ilmu Kalam

 
Epistemologi dalam Wacana Ilmu Kalam
Sumber Gambar: Ilustrasi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Kajian epistemologi dalam Islam adalah sesuatu yang unik, ini karena jika ditarik pada filsafat ilmu maka epistemologi adalah sebagaimana yang dikaji di dunia Barat diskursus yang dikaji secara filosofis-spekulatif.

Sementara dalam Islam karena telah bersentuhan dengan doktrin-doktrin agama, maka terjadi tarik menarik antara ilmiah-pra ilmiah-non ilmiah. Karena itu, terjadi problem ketika sudah menjadi sebuah produk ilmu, misalnya meski sama-sama memakai pola deduktif sebagaimana Plato. Akan tetapi, imbasnya jika pola hasil pemikiran Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia sesudahnya tanpa rasa takut dan segan, maka pola pikir deduktif keagamaan nyaris tidak dapat dipertanyakan, dikritik atau ditelaah ulang.

Hal ini karena bahan deduksi tadi yang digunakan dalam kalam adalah teks-teks keagamaan. Karena itu, dalam wacana epistemologi kalam semuanya bertolak dari relasi erat antara tiga hal yaitu ilmu pengetahuan (ma’rifah, ilm), keyakinan (iman), dan kebebasan manusia.

Sejarah kalam menunjukkan bahwa epistemologi (kalam) menjadi problematika teologis yang kemudian berkembang secara evolutif menjadi objek kajian yang mendalam, baik secara langsung maupun tidak. Adanya interaksi doktrin-filsafat, isu epistemologi model kalam mengalami perkembangan ekstensif dan elaboratif di kalangan Asy’ariyah dan Mu’tazilah.

1. Masa Murji’ah

Persoalan epistemologi sudah ada sejak munculnya aliran-aliran teologi Islam awal, termasuk Murji’ah. Secara garis besar aliran ini terbagi menjadi dua kubu, yaitu kubu pengikut Jahm ibn Safwan (Jabariyah) dan kubu pengikut Ghailan al-Dimasyqi (Qadariyah). Meski sama-sama sepakat mengenai definisi iman sebagai pengetahuan tentang Allah (ma’rifat Allah) dan kafir sebagai ketidaktahuan tentang Allah (al-jahl billah).

Perbedaan terjadi pada pada konsep kemampuan manusia untuk memperoleh pengetahuan, hal ini disebabkan perbedaan konsep tentang kebebasan manusia. Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, pada saat Ghaylan menyatakan bahwa keimanan pada Allah adalah pengetahuan kedua, sebenarnya ia telah memunculkan problematika epistemologi dalam kalam yang merupakan hasil relasi pengetahuan-iman-kebebasan.

Pengetahuan kedua yang dimaksud adalah pengetahuan yang diperoleh melalui nalar diskursif yang disebut juga dengan pengetahuan perolehan. Sedangkan pengetahuan pertama adalah pengetahuan dharuri. Kajian kajian ini menunjukkan bahwa isu epistemologi kalam telah muncul sejak awal yang merupakan relasi dari tiga persoalan di atas.

2. Masa Mu’tazilah

Menurut Seyyed Hossein Nasr, Mu’tazilah yang didirikan oleh Washil bin Ata’ (w. 131 H/748 M) adalah mazhab kalam sistematik pertama yang muncul dalam sejarah Islam. Aliran ini menjadi terkenal karena telah memiliki lima prinsip sistematis yang menjadi dasar ajaran mereka. Yaitu ke-Esa-an Tuhan, keadilan, janji dan ancaman, posisi di antara dua posisi, dan perintah melaksanakan yang baik mencegah keburukan.

Kaitannya dengan epistemologi dan relasi ilmu, iman, dan kebebasan, Abu Hudzail al-Allaf (seorang tokoh Mu’tazilah) menyatakan bahwa ada hal yang berada dalam batas kemampuan manusia dan berada di luar kemampuan manusia. Pembedaan tersebut didasarkan pada pengetahuan yang dapat diperoleh manusia, kemampuan manusia sendiri sebetulnya berasal dari Allah. Dengan begitu maksud pembedaan tersebut sebetulnya ingin memberi solusi bagi dikotomisasi kemampuan manusia dan kekuasaan Allah.

Meski demikian, al-Allaf selalu menyatakan bahwa pengetahuan adalah produk dari aktifitas manusia dan kekuaaan Allah yang dianugerahkan kepada manusia. Pandangan al-Allaf ini terlihat kontradiktif dari doktrin umum Mu’tazilah, karena itu untuk keluar dari problem ini ia mengajukan distingsi pengetahuan kepada dua kategori yaitu pengetahuan dharuri, yaitu pengetahuan tentang Allah dan argumen-argumennya, dan pengetahuan ilmiah (ilm al-ikhtiyar wa al-iktisab) yang sebenarnya jalan tengah dari Ghaylan dan Jahm ibn Shafwan. Ia mengatakan:

المعارف رضبان أحدهما باضطرار وهو معرفة االله عز وجل ومعرفة

الدلیل الدعی الیه وبعدهما من العلوم الواقعة عن احلواس أو القياس فهو علم اختيار واكتساب

Akan tetapi al-Allaf tetap memberikan posisi yang lebih tinggi kepada akal sebagaimana Mu’tazili lainnya, karena itu menurutnya akal dapat mengetahui dan wajib mengetahui Tuhan, jika manusia mengetahui Tuhan ia harus diberikan ganjaran baik, sementara kalau lalai untuk mengetahui Tuhan maka ia pun harus mendapat ganjaran yang buruk.

Isu di atas semakin dipertajam dan dibahas secara elaboratif oleh generasi Mu’tazilah berikutnya seperti al-Nazham dan Al-Jahiz. Pembelaan terhadap doktrin keadilan Tuhan memaksa al-Nazham “menarik dan menundukkan” perbuatan Tuhan di bawah kategori-kategori etika, terutama jika dikaitkan dengan prinsip al-shalah wa al-ashlah.

Penafian kekuasaan Tuhan atas apa yang dianggap menodai tauhid diberikan justifikasi oleh al-Nazam dengan apa yang ia sebut sebagai kebaikan absolut. Epistemologi al-Jahiz sebagai murid dari Al-Nazham tidak berbeda jauh dari gurunya. Akan tetapi al-Jahiz memberi penekanan sebagai berikut:

1. Kemampuan manusia sebagai conditio sine qua non bagi aktivitas nalar yang menjadi salah satu sumber pengetahuan (pengetahuan, akal, kemampuan).

2. Al-Jahiz mengkaitkan akal dan pengetahuan sebagai tuntutan eksistensi manusia.

3. Semua jenis pengetahuan bersifat dharuri dengan pendasaran atas fikrah al-thab’ dan konsep al-salah wa al-aslah. Di samping itu yang penting dari al-Jahiz adalah ia membuat gradasi pengetahuan dari objeknya yang inderawi-empiris atas tujuan utilitas ke pengetahuan yang objeknya abstrak-rasional transendental atas dasar tujuan kebahagiaan abadi (Nahr Hamid Abu Zayd).

3. Masa Asy’ariyah

Asy’ariyah adalah teologi yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Abu Hasan al-Asy’ari (w. 330/941). Waktu muda ia adalah murid dari pentolan Mu’tazili dari Basrah, al-Juba’i. Tetapi saat berusia 40 tahun ia berbalik melawan ajaran-ajaran Mu’tazilah dan mencoba kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang murni (Sayyed Hossein Nasr).

Perumusan dogma Al-Asy’ari pada intinya menyuguhkan suatu usaha untuk membuat sintesa antara pandangan ortodoks yang waktu itu belum dirumuskan, dengan pandangan Mu'tazilah. Namun, perumusan teologi al-Asy’ari kadang merupakan reaksi atas Mu'tazilah. Karenanya, hasilnya setengah sintesa setengah reaksi.

Dalam usahanya untuk menengahi antara pandangan ortodoksi dan Mu’tazilah itu terlihat dalam bidang metodologi. Ia telah menengahi antara kaum Hanbali yang sangat naqli (hanya berdasarkan teks-teks suci dengan pemahaman harfiyah) dan kaum Mu’tazili yang sangat aqli. Dan dalam usahanya menengahi antara Jabariyah dan Qadariyah, al-Asy'ari tampil dengan konsep kasb (perolehan, acquisition) yang cukup rumit (Nurcholish Madjid).

Adapun pemikirannya yang merupakan reaksi terhadap Mu’tazilah, terlihat dalam pemikirannya yang merupakan antitesis paham-paham keagamaan yang dikembangkan oleh kelompok Mu’tazilah. Penolakan al-Asy'ari pada paham Mu’tazilah itu dikemukakan dalam pendahuluan kitab al-Ibanah sebagaimana yang dikutip oleh Abu Zahrah sebagai berikut:

“Sebenarnya kebanyakan Mu’tazilah dan Qadariyah bertaklid kepada para pemimpin dan pendahulu mereka. Mereka mentakwilkan al-Qur'an berdasarkan pendapat para pendahulu tersebut. Padahal Allah sama sekali tidak memberikan otoritas kepada mereka untuk melakukannya dan tidak menjelaskan dalilnya.

Mereka tidak mengutip Hadits Rasulullah maupun pernyataan ulama salaf. Mereka menentang riwayat sahabat dari Nabi mengenai melihat Allah dengan indera penglihatan kelak pada hari kiamat, padahal ada sejumlah Hadis dari sanad yang berlainan dan mutawatir mengenai masalah ini. Mereka juga mengingkari siksa kubur dan masalah orang-orang kafir yang disiksa di dalam kubur. Padahal persoalan itu telah disepakati oleh para sahabat dan tabiin.

Pendapat mereka bahwa al-Qur'an itu adalah makhluk sesungguhnya dekat dengan pandangan orang musyrik yang mengatakan bahwa al-Qur'an ini tidak lain hanyalah perkataan manusia. Mereka beranggapan bahwa al-Qur'an adalah seperti perkataan manusia. Mereka juga menetapkan dan meyakini bahwa hamba menciptakan kejahatannya; suatu penetapan yang serupa dengan pendapat majusi yang menetapkan adanya dua pencipta, yaitu pencipta kebaikan dan pencipta kejahatan.

Antitesis al-Asy'ari terhadap pandangan Mu’tazilah itu terlihat dalam pandangannya tentang sifat Tuhan, melihat Tuhan di akhirat, fungsi akal dan wahyu, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tentang al-Qur'an, serta tentang keadilan Tuhan.

Salah satu tokoh Asy’ariyah yang memiliki perhatian besar dalam epistemologi kalam adalah al-Baqillani yang disebut A.J. Wensinck sebagai “Immanuel Kant-nya filsafat Islam” (the Kant of Muslim Philosophy). Baqillani hendak menyelaraskan voluntarisme kasb Asy’ariyah dengan ide kebebasan manusia (qudrah) Mu’tazilah dengan menyatakan adanya qudrah yang diberikan kepada hamba (al-quwwah al-haditsah).

Di samping itu dalam hal epistemology, tindakan moral (baik-buruk) memandang adanya keterkaitan kebaikan dengan nilai-nilai intrinsik atau objektif yang dikandungnya. Dengan pendasaran ini, Baqillani mendefinisikan ilmu sebagai mengetahui suatu objek menurut realitas objektifnya (ma’rifah al-ulum ‘ala ma huwa bih). Baqillani mengklasifikasikan ilmu berdasarkan objeknya kepada dua kategori:

Pertama, pengetahuan yang objeknya abadi (eternal), yaitu pengetahuan tentang Tuhan.

Kedua, pengetahuan yang objeknya baru (muhdats), yang mencakup dua hal, yang bersifat dharuri melalui “enam indera” dan yang bersifat kasbi atau nazhari.

Dalam konteks relasi isu epistemologi dengan teologi, istilah kasb yang digunakan al-Baqillani sebenarnya adalah penguatan doktrin Asy’ariyah tentang kasb yang titik tolaknya adalah konsep nalar termonologi umum para teolog sebagai perbuatan hati (af’al al-qulub). Hanya saja menurut al-Baqillani daya dalam kasb itu mempunyai efek sementara menurut al-Asy’ari tidak mempunyai efek.

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi (Pengamat Ilmu Kalam)


Editor: Daniel Simatupang