Shalat Jama untuk Mempelai di Hari Pernikahan

 
Shalat Jama untuk Mempelai di Hari Pernikahan
Sumber Gambar: Ilustrasi/Pixabay

Laduni.ID, Jakarta – Saya ingin menanggapi meme Wahabi/Salafi yang menuduh perempuan meninggalkan shalat supaya kosmetiknya tidak luntur. Saya tidak sepakat dengan pola pikir penghakiman seperti itu, seakan-akan tidak ada alternatif dari syariat untuk mempelai wanita bahkan pria pada momen seperti itu.

Pertama-tama jelas, shalat wajib dilaksanakan pada waktunya masing-masing berdasarkan firman Allah SWT:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

Artinya: “Selanjutnya, apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah ketika kamu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring. Kemudian, apabila kamu telah merasa aman, maka laksanakanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. an-Nisa: 103)

Hadis Riwayat Imam Muslim yang juga menyebutkan jawaban Rasulullah SAW saat beliau ditanya amal apa yang paling utama, Rasulullah saw menjawab,

الصلاة لوقتها

“Melaksanakan Shalat pada waktunya.”

Tapi ada kondisi di mana shalat dapat ditolelir atau tidak dilaksanakan pada waktunya, yaitu dengan dijama' (penggabungan), baik jama takqim dilaksanakan ke shalat yang lebih dahulu waktunya (Ashar dilaksanakan di Dzuhur atau Isya dilaksanakan di maghrib), atau jama takhir (shalat dilaksanakan pada waktu yang lebih akhir (dzuhur pada waktu ashar, maghrib pada waktu isya).

Apa ilat hukum yang memperbolehkan shalat dijama’, ulama berbeda pendapat. Pertama, ada yang mengatakan alasannya adalah المشقة (kesulitan).

Para ulama menstandarisasi kesulitan ini, ulama mahdzab Hanafi hanya memperbolehkan jama’ pada saat haji, yaitu wuquf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Ulama mahdzab Hanbali mengklasifikasi kesulitan atau masyaqah yang memperbolehkan jama shalat adalah masyaqah yang memperbolehkan tidak berjamaah dan shalat Jumat, yaitu safar, perjalanan, hujan, sakit dan kekhawatiran akan diri, harta atau yang lainnya.

Jika kelompok pertama mengatakan alasan boleh jama’ adalah Masyaqah, maka kelompok kedua alasan boleh jama’ bukan hanya masyaqah tapi juga لحاجة، ما لم يتخذه عادة [المغني “kebutuhan” selama tidak dijadikan kebiasaan.

Ulama yang berpendapat seperti ini diantaranya sebagian ulama Malikiyah, Ibn Mudzir dari Syafiiyah, Ibn Sirin, dan Ibn Subramah.

لحديث ابن عباس، رضي الله عنهما، قال: « صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ» [صحيح مسلم، كتاب صلاة المسافرين وقصرها، باب الجمع بين الصلاتين في الحضر]، وقيل لابن عباس عن جمع الرسول، صلى الله عليه وسلم، قال: حتى لا يحرج أمته.

Berdasarkan Hadis Ibn Abbas dalam Sahih Muslim, bahwa Rasulullah SAW menjama shalat Dzuhur, Ashar, Magrib, dan Isya tidak dalam keadaan bahaya juga tidak dalam perjalanan. Ketika ditanya kenapa beliau SAW menjama’ alasannya supaya tidak menyulitkan umat.

(Syarah Imam Nawawi atas hadis ini akan saya cantumkan dibawah supaya lebih fair)

Dengan mengacu pada pendapat jama boleh dilakukan karena hajat, kebutuhan, selama tidak dijadikan kebiasaan berulang-ulang, maka pengantin yang repot menerima tamu dengan segala pernak-perniknya, boleh menjama’ shalatnya.

وعليه؛ فيجوز للعروس الجمع بين صلاتي الظهر والعصر، وصلاتي المغرب والعشاء، يوم زفافها حسب رأي أشهب ومن وافقه، )) والله تعالى أعلم.

Misalnya, resepsi dari pagi sampai waktu Ashar, maka shalat dijama takhir pada Ashar, atau resepsi sebelum Isya, maka bisa dijama ke waktu Magrib atau I               sya. Bukankah resepsi itu pada umumnya hanya terjadi satu kali dalam seumur hidup? Jadi bukan aktivitas yang menjadi kebiasaan berulang atau terus menerus.

Saya kira mengetengahkan pandangan ulama seperti ini lebih fair daripada menghakimi masyarakat dengan satu dua hadis. Hal lain yang harus dipahami, satu hadis tidak bisa dijadikan dasar untuk beragam aktivitas individu-individu, karena setiap tindakan ada dalilnya sendiri. Ini yang bermasalah.

Dalil kewajiban shalat pada waktunya ada pada wilayahnya, dan rukhsoh, atau kemudahan untuk menjama shalat ada pada wilayahnya. Bukan hanya dalil tentang shalat, semua aktivitas ada dalilnya mandiri, makanya kita butuh penjelasan ulama, jangan menghakimi masyarakat dengan satu hadits.

Bahkan lebih ekstrim dari itu, shalat jama tanpa udzur ini diamalkan juga oleh Syeikh Muhammad Abduh. Rasyid Rida dalam memoarnya mengatakan, “Saya mengagumi Imam Muhamma Abduh yang tidak pernah meninggalkan tahajud, shalat malam, sayang beliau sering mengamalkan shalat jama tanpa udzhur.”

Sekali lagi, jika memang sulit maka Anda para pengantin boleh menjama shalat.

Komentar Imam Nawawi atas hadis diatas:

هذه الروايات الثابتة في مسلم كما تراها ، وللعلماء فيها تأويلات ومذاهب ، وقد قال الترمذي في آخر كتابه : ليس في كتابي حديث أجمعت الأمة على ترك العمل به إلا حديث ابن عباس في الجمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر ، وحديث قتل شارب الخمر في المرة الرابعة . وهذا الذي قاله الترمذي في حديث شارب الخمر هو كما قال ، فهو حديث منسوخ دل الإجماع على نسخه .

وأما حديث ابن عباس فلم يجمعوا على ترك العمل به ، بل لهم أقوال . منهم من تأوله على أنه جمع بعذر المطر ، وهذا مشهور عن جماعة من الكبار المتقدمين ، وهو ضعيف بالرواية الأخرى من غير خوف ولا مطر . ومنهم من تأوله على أنه كان في غيم ، فصلى الظهر ثم انكشف الغيم وبان أن وقت العصر دخل فصلاها ، وهذا أيضا باطل ؛ لأنه وإن كان فيه أدنى احتمال في الظهر والعصر لا احتمال فيه في المغرب والعشاء .

ومنهم من تأوله على تأخير الأولى إلى آخر وقتها فصلاها فيه ، فلما فرغ منها دخلت الثانية فصلاها . فصارت صلاته صورة جمع . وهذا أيضا ضعيف أو باطل ؛ لأنه مخالف للظاهر مخالفة لا تحتمل ، وفعل ابن عباس الذي ذكرناه حين خطب ، واستدلاله بالحديث لتصويب فعله ، وتصديق أبي هريرة له وعدم إنكاره صريح في رد هذا التأويل ، [ ص: 335 ] ومنهم من قال : هو محمول على الجمع بعذر المرض أو نحوه مما هو في معناه من الأعذار ، وهذا قول أحمد بن حنبل والقاضي حسين من أصحابنا ، واختاره الخطابي والمتولي والروياني من أصحابنا ، وهو المختار في تأويله لظاهر الحديث ولفعل ابن عباس وموافقة أبي هريرة ، ولأن المشقة فيه أشد من المطر ، وذهب جماعة من الأئمة إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة ، وهو قول ابن سيرين وأشهب من أصحاب مالك ، وحكاه الخطابي عن القفال والشاشي الكبير من أصحاب الشافعي عن أبي إسحاق المروزي عن جماعة من أصحاب الحديث ، واختاره ابن المنذر ويؤيده ظاهر قول ابن عباس : أراد ألا يحرج أمته ، فلم يعلله بمرض ولا غيره والله أعلم .

Oleh: Ahmad Tsauri


Editor: Daniel Simatupang