Fenomena Seorang Penceramah

 
Fenomena Seorang Penceramah
Sumber Gambar: dok. pribadi

Laduni.ID, Jakarta – Terlebih di bulan Maulid dan acara-acara akhir sanah, banyak sekali para penceramah entah itu kiai gus atau ustadz ketika sedang berceramah terlebih di atas panggung, dengan mudahnya dan semangatnya mengutip hadits Nabi (hadits dha'if) yang berkaitan dengan "Targhib" dan "Tarhib" atau "Fadhailul A'mal" secara tanpa menjelaskan sanadnya. Meskipun ulama memang memperbolehkan jika hadits tersebut bukan soal hukum-hukum syariat atau halal haram.

Tapi masalahnya adalah terkadang hadits yang mereka kutip justru hanya membuat hadirin dan masyarakat salah paham. Sehingga masyarakat mengira dan yakin kalau itu memang benar-benar hadits dari Nabi. Lalu diamalkanlah hadits itu dengan dinisbatkan pada Rasulullah saw. Di sinilah banyak terjadi kesalahan seorang penceramah dalam menyampaikan hadits-hadits dha'if kepada hadirin. Ada aturan tersendiri dalam menyampaikan hadits-hadits dha'if.

"تحقيق القول في رواية الحديث الضعيف في الترغيب والترهيب"

وأعتقد أن سبب رواج هذا النوع من الأحاديث الواهية والمنكرة والموضوعة لدى جمهرة الخطباء وَالمُذَكِّرِينَ والواعظين هو إطلاق القول بأن جمهور العلماء يجيزون رواية الحديث الضعيف في فضائل الأعمال، والرقائق والزهد والترغيب والترهيب والقصص ونحوها، مما لا يتعلق به حكم شرعي من الأحكام الخمسة، من حل وحرمة، وكراهة، وإيجاب واستحباب

Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya "Kaifa Natamal Ma'a al-Sunnah al-Nabawiyyah" menjelaskan panjang lebar terkait fenomena seperti ini. Menurut beliau, “Saya yakin, sebab populernya masalah ini banyak terjadi pada seorang penceramah dan semacamnya di mana mereka banyak sekali meriwayatkan hadits dha'if bahkan munkar dan maudhu' karena ikut kemutlakan pendapat ulama yang memperbolehkan akan hal itu selama tidak berkaitan dengan hukum halal haram.”

Memang diperbolehkan menyampaikan hadits dha'if yang berkaitan dengan keutamaan-keutamaan amal misalnya, bahkan ber-"Tasahul" (mengambil mudah) dalam urusan sanadnya. Cuma dengan syarat-syarat tertentu. Imam Jalaludin al-Suyuthi menukil dari Ibnu Hajar dalam kitabnya "Tadrib al-Rawi Ala Taqrib al-Nawawi", beliau menjelaskan ada tiga syarat yang harus dipenuhi didalam diperbolehkannya meriwayatkan hadits-hadits dha'if secara tanpa menyebutkan sanadnya.

ولهذا ذكر الحافظ ابن حجر لقبول الضعف في الرقائق والترغيب شروطا ثلاثة نقلها عنه الحافظ السيوطي في تدريب الراوي الأول متفق عليه وهو أن يكون الضعف غير شديد فيخرج من انفرد من الكذابين والمتهمين بالكذب ومن فحش غلطه الثاني أن يكون مندرجا تحت أصل عام فيخرج ما يخترع بحيث لا يكون له أصل أصلا الثالث أن لا يعتقد عند العمل به ثبوته لئلا ينسب إلى النبي صلى الله عليه وسلم

1. Kelemahan hadis itu tidak parah. Sehingga perawi yang kesalahannya parah dan sejenisnya, tidak dapat diterima, dan syarat ini muttafaq dikalangan muhaddist.

2. Hadits itu harus mempunyai dalil asal secara umum. Maka jika tidak mempunyai dalil asal sama sekali, tidak dapat diterima.

3. Ketika mengamalkan hadits itu tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa ini dari Nabi. Sehingga tidak boleh dinisbatkan (disandarkan) pada Rasulullah saw.

Sehingga dari kesalahan semacam ini, saya pribadi dulu ketika masih SD sering ikut hadir dalam pengajian-pengajian umum, terlebih saat acara akhir sanah (Haflatul Imtihan) atau maulid-maulid Nabi, dan saya yakin sekali kalau Hadits-Hadits yang disampaikannya itu dari Rasulullah SAW. Bahkan Saya mengira tidak ada yang namanya hadits dha'if. Pokoknya kalau sudah disebut "Qola Rasulullah" ya udah itu berarti hadits Nabi.

Orang tua sayapun kadang bilang, "Amalaki cong. Areah hadits kanjeng Nabi. Ngiding kan debunah keaeh kellek epangaciyen," (Amalkan ini nak. Ini hadits Nabi. Dengar kan kata kiai tadi di pengajian). Atau kadang bilang, "Nkok ngamalaki reah polan hadits. Mon la caan keaeh fulan reah hadits, sapah se kik bengal alabenah," (Saya mengamalkan ini karena hadits. Kalau sudah kiai fulan yang bilang, siapa yang masih berani melawan). Padahal setelah beranjak dewasa, saya tau hadits yang dimaksud orang tua saya itu adalah hadits dha'if.

Diantara kesalahan mereka (penceramah) sering sekali dalam menyampaikan hadits dha'if menggunakan sighat-sighat "al-Jazm" (pasti). Seperti mereka berkata, "Qola Rasulullah SAW" Yang artinya ini memang menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW. Padahal pengutipan semacam ini tidak boleh ketika meriwayatkan tanpa sanadnya. Karena pengutipan semacam ini akan membuat salah paham masyarakat. Sehingga hadits akan menjadi "Mukhtalath".

قال ابن الصلاح في النوع الثاني والعشرين من علوم الحديث

«إِذَا أَرَدْتَ رِوَايَةَ الحَدِيث الضَّعِيفِ بِغَيْرِ إِسْنَادٍ فَلاَ تَقُلْ فِيهِ: " قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَذَا وَكَذَا " وَمَا أَشْبَهَ هَذَا مِنَ الأَلْفَاظِ الجَازِمَةِ بِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ذَلِكَ، وما قاله ابن الصلاح وافقه عليه النووي , وابن كثير , والعراقي , وابن حجر , وكل من كتب في مصطلح الحديث

Imam Ibnu Shalah dalam kitabnya "Muqaddimah Ibnu Shalah Wamahasin al-Ishthilah" menjelaskan bahwa ketika ingin meriwayatkan hadits dha'if tanpa menyebutkan sanadnya maka tidak boleh menggunakan sighat-sighat "al-Jazm" (pasti). Seperti berkata, "Qola Rasulullah SAW Kadza Wakadza" (Rasulullah saw berkata begini-begini). Pendapat beliau ini disepakati oleh Imam Nawawi, Ibnu Kastir, al-'Iraqi, Ibnu Hajar dan ulama-ulama lainnya.

Sebenarnya masih banyak penjelasan-penjelasan para ulama hadits dalam masalah ini. Ada yang ketat, ada yang cukup longgar. Berhati-hatilah didalam urusan Hadits-hadis Nabi. Maka saya tidak heran jika Hadhratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari pendiri Nahdhatul Ulama ini, melarang anak-anak kecil berpidato. Ntah itu hanya dalam rangka perlombaan atau yang lainnya. Karena apapun bentuknya jika bukan bidangnya, maka yang ada hanyalah mafsadab yang ditimbulkan.

Wallahu A'lam.

Jombang, 25 Agustus 2021
Oleh: Ahmad Mo'afi Jazuli


Editor: Daniel Simatupang