Resolusi Jihad: Fakta Sejarah yang Pernah Dilupakan

 
Resolusi Jihad: Fakta Sejarah yang Pernah Dilupakan
Sumber Gambar: laduni.id

Laduni.ID, Jakarta – Beberapa tahun lalu masih banyak pihak yang belum mengakui peran santri, kiai, dan NU dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bahkan Resolusi jihad yang dicetuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak diakui dan dilupakan.

Banyak buku-buku tidak memuat fakta sejarah dan terkesan dengan sengaja melakukan ‘pengebirian sejarah’ atas peran para kiai, santri, dan NU. Pada 2014 lalu dalam sebuah seminar nasional yang bertajuk “Perjuangan Menegakkan Negara Republik Indonesia” di salah satu kampus negeri di Jakarta, mencuat sebuah kesimpulan yang terkesan seperti tuduhan, “Di antara elemen bangsa Indonesia yang tidak memiliki peran dan andil dalam usaha kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia itu hanya golongan pesantren, khususnya NU.”

Bahkan dengan sinis salah seorang menyatakan, “Organisasi PKI, itu saja pernah berjasa. Karena pernah melakukan pemberontakan tahun 1926 melawan Belanda. NU tidak pernah.”

Tidak sampai di situ, sebagian intelek LIPI juga meyakini jika NU tidak memiliki peran dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa. Nyai Sholihah, ibunda Gus Dur sampai-sampai mengatakan, “Itu ceritanya, 10 November yang berjasa itu harusnya Kyai Hasyim Asy'ari dan poro Kyai. Kok bisa yang jadi pahlawan itu wong-wong sosialis?” ketika melihat berita televisi yang menayangkan nama-nama dari golongan orang terpelajar dan berpendidikan tinggi yang menjadi pahlawan ketika pertempuran 10 November 1945.

Semenjak itulah Gus Dur menemui para penggedhe di kalangan kelompok sosialis untuk meminta klarifikasi atas hal tersebut. “Yang namanya sejarah dari dulu kan selalu berulang, Gus. Bahwa sejarah sudah mencatat, orang bodoh itu makanannya orang pintar. Yang berjasa orang bodoh, tapi yang jadi pahlawan wong pinter. Itu biasa, Gus,” kata mereka sambal tertawa.

Gus Dur geram perjuangan KH. Hasyim Asy’ari disia-siakan dan NU dianggap bodoh. Pada tahun 1991, Gus Dur melakukan kaderisasi besar-besaran, merekrut banyak anak muda NU dan para santri yang dibekali dengan pemahaman analisis sosial (ansos) dan teori sosial, filsafat, sejarah, geopolitik, dan geostrategi (salah satu anak muda itu ialah KH. Agus Sunyoto). Itu semata dilakukan agar NU tidak dicap sebagai kumpulan orang-orang bodoh, dan kaderisasi tersebut masih tetap bertahan hingga sekarang.

Ketika banyak orang tidak mengakui fatwa dan resolusi jihad, di sisi lain KH. Agus Sunyoto menemukan sebuah arsip dari sejarawan Amerika bernama Frederik Anderson. Isinya tidak lain adalah pernyataan Frederik tentang fatwa dan resolusi jihad di Surabaya. Dalam arsip tersebut juga dicantumkan media-media lokal yang memuat peristiwa bersejarah itu, seperti koran Kedaulatan Ratyat dan koran Suara Masyarakat.

Ditambah dengan dokumen-dokumen lama yang sebagian masih berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, dan Jepang turut dibongkar sebagai bukti pendukung bahwa fatwa dan resolusi jihad bukanlah karangan NU semata.

Peristiwa ini ada, sekalipun wong Indonesia tidak mau menulisnya, karena menganggap NU yang mengeluarkan fatwa sebagai golongan lapisan bawah. Sejarah dikebiri. Dokumen-dokumen lama yang sebagian besar berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jepang, dan sebagainya, dibongkar.

Ketika baru saja merdeka, Indonesia masih belum memiliki pasukan militer resmi. Akhirnya pada 5 Oktober dibentuklah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang tersebar di seluruh pulau Jawa. TKR memiliki 10 divisi.

Peran kiai tampak lebih dominan dalam penguatan pasukan, buktinya banyak para kiai yang memimpin divisi, resimen, dan batalyon di tiap-tiap daerah. Divisi satu dikomandani oleh Kolonel KH. Sam’un, pengasuh salah satu pondok pesantren di Banten. Komandan Divisi tiga adalah Kolonel KH. Arwiji Kartawinata asal Tasikmalaya. Resimen 17 dipimpin oleh Letkol KH. Iskandar Idris, resimen 8 dipimpin Letkol KH. Yunus Anis. TKR Batalyon Malang dipimpin oleh Mayor KH. Iskandar

Anehnya, data-data tersebut pernah tidak dicantumkan dalam buku sejarah dan ditetapkannya KH. Hasyim Asy’ari sebagai pahlawan nasional pun taka da, seolah KH. Hasyim Asy’ari dan NU tidak memeiliki peran.

Disadur dari kultweet dutaislam.com dari KH. Agus Sunyoto menghadiri bedah buku "Fatwa dan Resolusi Jihad" di Pondok Lirboyo 3 November 2017