Kerancuan Badrusalam Lagi: Tentang Imam Baihaqi, Ibnu Kullab dan Penafian Kaifiyah

 
Kerancuan Badrusalam Lagi: Tentang Imam Baihaqi, Ibnu Kullab dan Penafian Kaifiyah
Sumber Gambar: Kiai Abdul Wahab Ahmad

Laduni.ID, Jakarta – Saya betul-betul tidak habis pikir dengan Ustadz satu ini. Sudah dua kali saya menulis khusus tentang bagaimana dia sengaja berbohong, mengarang redaksi sendiri lalu dinisbatkan pada para Imam. Silakan cek tulisan saya sebelumnya. Saya sebenarnya betul-betul berharap dia sadar, tapi hidayah memang hanya milik Allah. Hanya video kebohongannya yang dihapus setelah dikritik, tetapi sifat suka menyelewengnya masih saja dipertahankan.

Kali ini dia kembali mengulangi kesalahan yang sama, lagi dan lagi. Seperti dapat anda lihat di SS, ada tiga poin kerancuan (kalau tak mau dibilang kebohongan) yang dia lakukan, yakni:

1. Di bagian komentar dia berkata bahwa Imam Baihaqi termasuk ulama yang terpengaruh Kullabiyah, mengingkari sifat Fi'liyah Allah.

Ini ada kebohongan yang nyata, atau kita bisa memakai istilah jahil murakkab bila masih husnudzon bahwa dia tidak bohong. Dalam kitabnya, al-Asma' was-Shifat, Imam Baihaqi menjelaskan bahwa sifat-sifat Allah dibagi menjadi dua, yakni sifat Dzatiyah dan Sifat Fi'liyah. Saya pernah mengulas keterangan Imam Baihaqi ini di NU Online, bisa dicek di sana selengkapnya. Dalam hal sifat fi'liyah, Imam Baihaqi berkata:

وَأَمَّا صِفَاتُ فِعْلِهِ: فَهِيَ تَسْمِيَاتٌ مُشْتَقَّةٌ مَنْ أَفْعَالِهِ وَرَدَ السَّمْعُ بِهَا مُسْتَحَقَّةٌ لَهُ فِيمَا لَا يَزَالُ دُونَ الْأَزَلِ؛ لِأَنَّ الْأَفْعَالَ الَّتِي اشْتُقَّتْ مِنْهَا لَمْ تَكُنْ فِي الْأَزَلِ، وَهُوَ كَوَصْفِ الْوَاصِفِ لَهُ بِأَنَّهُ خَالِقٌ، رَازِقٌ، مُحْيٍ، مُمِيتٌ، مُنْعِمٌ، مُفَضِّلٌ

“Ada pun sifat fi'l (perbuatan) Allah, maka adalah istilah yang berasal dari perbuatan-perbuatan Allah yang dinyatakan oleh Nash al-Qur'an/hadis yang melekat pada Allah dalam konteks waktu yang terus, bukan dalam konteks azali (masa keabadian sebelum waktu dimulai). Hal itu karena perbuatan-perbuatan Allah yang menjadi asal sifat tersebut tidak ada di masa azali. Sifat Fi'l tersebut seperti penyifatan bahwa Allah adalah Yang Mencipta, Yang Memberi rizki, Yang Memberi nikmat dan Yang Memberi Anugerah.”

Dari kutipan di atas jelas terlihat bahwa Imam Baihaqi menetapkan sifat fi'liyah. Tak ada satu pun dari seluruh pernyataan beliau atau imam Asya'rah lainnya yang dapat dikatakan sebagai penafian terhadap sifat fi'liyah, justru sebaliknya menetapkan adanya sifat fi'liyah. Dalam pemetaan sifat ala Aya'irah di mana sifat Allah dipetakan menjadi sifat yang pasti ada (wajib). Tidak mungkin ada (mustahil), dan boleh ada boleh tidak (jaiz), sifat fi'liyah masuk dalam kategori sifat jaiz yang artinya dapat Allah lakukan sesuai kehendak-Nya dan dapat pula tidak dilakukan.

Namun demikian, kelompok wahabi memang sering secara tidak amanah mempropaganda bahwa siapa pun yang menolak penafsiran mereka terhadap suatu sifat maka artinya menolak sifat itu sendiri. Ini propaganda murahan yang dipertahankan turun temurun. Anda bisa cek di berbagai video atau artikel mereka soal narasi menyesatkan ini. Ketika Asy'ariyah menolak tafsiran wahabi yang berkeyakinan bahwa istawa artinya berada secara fisik di atas Arasy atau bahwa nuzul artinya turun secara fisik dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, maka disebarlah provokasi bahwa Asy'ariyah menolak sifat fi'liyah yang berupa istawa dan nuzul. Padahal yang ditolak hanyalah penafsiran mereka yang bernuansa tajsim itu, bukan sifat istawa atau nuzul itu sendiri.

2. Di kolom komentar yang sama, dia mengatakan bahwa penolakan al-Baihaqi pada sifat fi'liyah karena Imam Baihaqi terpengaruh Kullabiyah (paham yang mengikuti Imam Ibnu Kullab).

Perkataan ini blunder sebab di kitab Maqalatul Islamiyin yang ia bahas sendiri dalam statusnya tersebut, Imam Abul Hasan al-Asy'ari menekankan bahwa Ibnu Kullab menetapkan banyak sekali sifat-sifat Allah. Berikut pertanyaan beliau:

قال عبد الله بن كلاب: لم يزل الله عالماً قادراً حياً سميعاً بصيراً عزيزاً عظيماً جليلاً متكبراً جباراً كريماً جواداً واحداً صمداً فرداً باقياً أولاً رباً إلهاً مريداً كارهاً راضياً عمن يعلم أنه يموت مؤمناً وإن كان أكثر عمره كافراً، ساخطاً على من يعلم أنه يموت كافراً وإن كان أكثر عمره مؤمناً، محباً مبغضاً موالياً معادياً قائلاً متكلماً رحماناً بعلم وقدرة وحياة وسمع وبصر وعزة وعظمة وجلال وكبرياء وجود وكرم وبقاء وإرادة وكراهة ورضىً وسخط وحب وبغض ومولاة ومعاداة وقول وكلام ورحمة وأنه قديم لم يزل بأسمائه وصفاته

“Abdullah bin Kullab berkata: ‘Allah senantiasa Maha Mengetahui, Maha Berkuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mulia, Maha Agung, Maha Mulia, Maha Sombong, Maha Berkuasa Mutlak, Maha Mulia, Maha Pemurah, Maha Esa, Maha Dibutuhkan Maha Sendiri, Maha Kekal, Tak berawal, Sebagai Pencipta (Rabb), Sebagai Tuhan yang disembah (Ilah), Maha berkehendak, Tidak suka, Ridha terhadap orang yang diketahuinya akan mati sebagai mukmin meskipun kebanyakan umurnya sebagai orang kafir, Marah terhadap orang yang diketahuinya akan mati kafir meskipun kebanyakan umurnya sebagai orang mukmin, Maha Mencintai, Memarahi, Mengasihi, Memusuhi, Maha Berfirman, Maha berkalam. Maha Rahman dengan sifat Ilmu, sifat Kekuasaan, sifat Hidup, sifat Mendengar, sifat Melihat, Mulia, Agung, Mulia, Sombong, Pengasih, Terhormat, Kekal, Kehendak, Ketidaksukaan, Kerelaan, Kemarahan, Cinta, Kemarahan, Kasih, Permusuhan, Firman, Kalam, Rahmat dan bahwasanya Allah Qadim selalu bersama sifat-sifat dan nama-nama-Nya.’”

Kalau dia betul-betul membaca Maqalatul Islamiyyin, maka dari sebelah mana dia bisa menyimpulkan darinya bahwa Kullabiyah adalah penafi sifat Allah? Baik itu sifat dzatiyah mau pun sifat fi'liyah, bisa dilihat sendiri dalam kutipan di atas seluruhnya ditetapkan oleh Abdullah Ibnu Kullab. Bahkan Ibnu Taymiyah, guru besar para Taymiyun pun, dalam Majmu' Fatawanya pernah mengkategorikan Asy'ariyah dan Kullabiyah sebagai kelompok yang menetapkan sifat (mutsbitah), bukan kelompok penafi sifat seperti dikatakan Badrusalam. Syaikh Ibnu Taymiyah berkata:

لا رَيْبَ أَنَّ قَوْلَ ابْنِ كُلَّابٍ وَالْأَشْعَرِيِّ وَنَحْوِهِمَا مِنْ الْمُثْبِتَةِ لِلصِّفَاتِ لَيْسَ هُوَ قَوْلَ الْجَهْمِيَّة بَلْ وَلَا الْمُعْتَزِلَةِ بَلْ هَؤُلَاءِ لَهُمْ مُصَنَّفَاتٌ فِي الرَّدِّ عَلَى الْجَهْمِيَّة وَالْمُعْتَزِلَةِ وَبَيَانِ تَضْلِيلِ مَنْ نَفَاهَا

“Tak diragukan bahwa pendapat Ibnu kullab dan Al-Asy'ari dan orang yang seperti keduanya dari golongan Mutsbit (orang yang menetapkan sifat bagi Allah) bukanlah pendapat Jahmiyah dan bukan juga Muktazilah, bahkan mereka ini mengarang berbagai kitab untuk menolak Jahmiyah dan Muktazilah dan menerangkan kesesatan orang yang menafikan adanya sifat Allah (mu'atthilah).”

Dari poin ini, kita tahu betul bahwa propaganda para Wahabi seperti Badrusalam dan kawan-kawannya bahwa Ibnu Kullab menafikan sifat-sifat Allah dan bahwa Asy'ariyah muta'akhirin mengikuti langkah itu, tidak lebih hanyalah hoax belaka.

3. Dalam uraian statusnya (lihat di sini), dia menukil pernyataan Imam Asy'ari di Maqalatul Islamiyin yang berkata bahwa akidah Ahlul Hadis adalah:

وأن له يدين بلا كيف ... وأن له عينين بلا كيف

Kutipan ini benar, bukan karangan palsu seperti dilakukan oleh Badrusalam dalam kesempatan sebelumnya yang telah saya bahas. Tetapi yang dipalsukan kali ini adalah terjemahnya. Kalimat di atas seharusnya bermakna:

“Dan bahwasanya Allah mempunyai dua yad tanpa kaifiyah ... dan bahwa Allah mempunyai dua 'ain tanpa kaifiyah.”

Yad dan 'ain bagi makhluk adalah organ tangan dan organ mata. Seluruh organ tangan dan mata mempunyai kaifiyah tertentu sehingga dengan mudah bisa dikenali sebagai tangan atau mata. Apabila anda melihat hewan yang tidak pernah anda lihat sebelumnya, dalam sekejap anda akan mengetahui mana organ tangan dan matanya sebab kita semua tahu kaifiyah mata dan tangan. Demikian juga ketika anda melihat karakter monster atau alien di film yang betul-betul tidak pernah ada di alam nyata, maka dengan sekejap anda bisa tahu sebelah mana tangannya dan sebelah mana matanya.

Pengetahuan ini timbul sebab dalam benak manusia sudah tertanam bagaimana kaifiyah tangan atau pun mata. Mau seaneh dan seberbeda apa pun bentuknya, yang disebut tangan atau mata pasti karakter atau bentuknya seperti itu. Karakter dan bentuk pakem itulah yang dimaksud sebagai kaifiyah. Jadi, setiap organ mempunyai kaifiyahnya sendiri-sendiri.

Ada pun Allah, karena dalam akidah Ahlussunnah Wal Jama'ah Allah bukanlah jisim, maka secara otomatis Allah tidak mempunyai organ apa pun. Jisim (badan) saja tidak punya, apalagi organ atau anggota badan. Dengan demikian, maka otomatis Allah tidak mempunyai kaifiyah. Inilah yang dimaksud Imam Asy'ari bahwa yad Allah tanpa kaifiyah dan 'ain-Nya pun tanpa kaifiyah. Penafian kaifiyah dalam frase بلا كيف secara otomatis menafikan penafsiran kata yad dan 'ain sebagai organ tubuh sebab sebagaimana maklum bahwa seluruh organ tubuh pasti mempunyai kaifiyah. Dengan kata lain, akidah Ahlul Hadis adalah meyakini bahwa yad Allah dan 'ain-Nya bukanlah organ/jisim. Silakan baca tulisan saya di NU Online yang berjudul "Definisi Kaifiyah Dalam Pembahasan Sifat Allah" bila hendak memperdalam soal makna kaifiyah ini.

Namun dengan cerdik (baca: culas), Badrusalam memplintir arti بلا كيف yang seharusnya "tanpa kaifiyah" menjadi:

“tanpa boleh bertanya bagaimana bentuknya.”

Ini kecurangan penerjemahan yang fatal yang sayang sekali tidak disadari oleh para awam Taymiyun yang menjadi pengikutnya. Akhirnya muncullah terjemah tak berdasar: “Dan bahwa Dia memiliki dua tangan tanpa boleh bertanya bagaimana bentuknya.” Dalam terjemah palsu ini, siapa pun dapat memahami bahwa kata tangan di sana adalah organ tubuh dan bahwasanya ia mempunyai kaifiyah berupa bentuk tertentu tetapi tidak boleh ditanyakan. Ini adalah pendapat sekte mujassimah yang disepakati kesesatannya.

Bila ada yang merasa pernah belajar bahasa Arab dengan benar, mulai kapankah kata بلا artinya adalah “tidak boleh ditanyakan?” Kata بلا terdiri dari huruf ب yang artinya "dengan" dan huruf لا nafi yang artinya "tanpa". Kata بلا berarti “dengan tanpa” atau bisa disingkat “tanpa” saja.

Kalimat بلا زوج artinya dengan tanpa pasangan alias jomblo; Jangan sampai diartikan dengan mempunyai pasangan tetapi tidak boleh ditanya siapa namanya.

Kalimat بلا مكان artinya tanpa tempat; Jangan sampai diartikan sebagai bertempat tetapi tidak boleh ditanyakan di mana.

Aneh bin ajaib para Wahabi memahami betul makna ucapan ulama Asya'irah الله موجود بلا مكان yang artinya Allah wujud tanpa tempat. Mereka tahu bahwa kata بلا di sana artinya “tanpa” sehingga mereka protes dan secara gegabah membid'ahkan Asya'irah sebab dalam khayalan mereka Allah itu bertempat di atas Arasy. Namun lucunya mereka tidak dapat memahami kata بلا كيف sehingga memunculkan sisipan kata yang berupa “jangan ditanyakan”. Sisipan ini tak lebih dari wujud ketidak amanahan mereka dan khayalan bathil mereka tentang Allah.

Semoga bermanfaat.

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad 


Editor: Daniel Simatupang