Hukum Memakai Cadar Menurut 4 Imam Madzhab

 
Hukum Memakai Cadar Menurut 4 Imam Madzhab
Sumber Gambar: Ilustrasi Laduni.ID

LADUNI.ID, Jakarta - Apa sih cadar itu? Cadar adalah penutup kepala atau wajah berupa kain yang bertali untuk mempermudah pemakaiannya. Cadar juga biasa dikenal dengan niqob sebagai istilah syarinya. Gambarannya mungkin terdengar seperti masker namun keduanya memiliki model yang berbeda.Ukuran cadar lebih panjang dan identik digunakan oleh wanita muslimah.

Mungkin beberapa kalangan sudah tak asing lagi dengan yang namanya cadar. Sebagian muslimah Indonesia pun sudah banyak yang menggunakan cadar. Namun, tak sedikit juga yang mengklaim buruk orang yang bercadar. Dan adanya cadar ini menimbulkan problematika di kalangan masyarakat bahkan di kalangan ulama’.

Berbagai argumen masyarakat mengenai cadar, mulai dari cadar identik dengan aliran keras, teroris, dan radikalisme, sampai cadar merupakan budaya Arab. Sehingga, kurang tepat jika diterapkan di Indonesia. Hingga kurangnya interaksi para pemakai cadar dengan masyarakat serta lingkungan sekitarnya.

Dalam hukum pemakaian cadar, terdapat silang pendapat di antara para ulama juga para pakar hukum Islam. Hal ini terjadi dikarenakan tidak adanya dalil yang menjelaskan tentang cadar secara jelas. Perbedaan pendapat ini menghasilkan beberapa hukum juga, ada yang menghukumi boleh (mubah), sunnah, dan bahkan mewajibkan untuk bercadar.

Berikut ini hukum memakai niqab atau cadar dari pendapat para Imam 4 mazhab:

1. Madzhab Hanafi

Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.

Syaikh Hasan bin Amar Asy-Syarnablali berkata:

وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَيْهَا بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِي الْأَصَحِّ ، وَهُوَ الْمُخْتَارُ

 “Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“.  (Kitab Matan Nurul Idhoh wa Najatul Arwah)

2. Madzhab Maliki

Madzhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.

Az-Zarqaani berkata:

وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ مَعَ رَجُلٍ أَجْنَبِيٍّ مُسْلِمٍ غَيْرُ الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ مِنْ جَمِيْعِ جَسَدِهَا، حَتَّى دَلَالِيْهَا وقِصَّتِهَا. وَأَمَّا الْوَجْهُ وَالْكَفَّانِ ظَاهِرُهُمَا وَبَاطِنُهُمَا، فَلَهُ رُؤْيَتُهُمَا مَكْشُوْفَيْنِ وَلَوْ شَابَةً بِلَا عُذْرٍ مِنْ شَهَادَةٍ أَوْ طِبٍّ، إِلَّا لِخَوْفِ فِتْنَةٍ أَوْ قَصْدِ لَذَّةٍ فَيَحْرُمُ، كَنَظَرٍ لِأَمْرَدٍ، كَمَا لِلْفَاكِهَانِي وَالْقَلْشَانِي

 “Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” .(Syarh Mukhtashar Khalil, 176).

Imam Al-Qurthubi berkata:

قَالَ اِبْنُ خُوَيْزَ مَنْدَادَ ــ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ عُلَمَاءِ الْمَالِكِيَّةِ ـ: إِنَّ الْمَرْأَةَ اِذَا كَانَتْ جَمِيْلَةً وَخِيْفَ مِنْ وَجْهِهَا وَكَفَّيْهَا اَلْفِتْنَةَ، فَعَلَيْهَا سَتْرُ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَتْ عَجُوْزًا أَوْ مُقْبِحَةً جَازَ أَنْ تَكْشِفَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا

 “Ibnu khuwaiz Mandad, beliau adalah ulama besar Maliki  berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya”. ( Kitab Tafsir Al-Qurthubi, 12/229).

3. Madzhab Syafi’i

Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.

Syaikh Muhammad bin Qaasim Al-Ghazzi, penulis Kitab Fathul Qarib, berkata:

وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلَّا وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا، وَهَذِهِ عَوْرَتُهَا فِي الصَّلَاةِ، أَمَّا خَارِجَ الصَّلَاةِ فَعَوْرَتُهَا جَمِيْعُ بَدَنِهَا

 “Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan”. (Kitab Fathul Qarib).

Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:

فَيَجِبُ مَا سُتِرَ مِنَ الْأُنْثَى وَلَوْ رَقِيْقَةً مَا عَدَا الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ، وَوُجُوْبُ سَتْرِهِمَا فِي الْحَيَاةِ لَيْسَ لِكَوْنِهِمَا عَوْرَةً، بَلْ لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ غَالِبًا

 “Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”. (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)

Asy-Syarwani berkata:

 أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ :عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ. أى كل بدنها ما سوى الوجه والكفين. وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا : جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل >> اهـ ـ أى ما بين السرة والركبة

“Wanita memiliki tiga jenis aurat. Pertama, aurat dalam shalat – sebagaimana telah dijelaskan – yaitu seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Kedua, aurat terhadap pandangan lelaki (ajnabi), yaitu seluruh tubuhnya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang mu’tamad. Ketiga, Aurat ketika bersama yang mahram, sama seperti laki-laki yaitu antara pusar dan paha.” (Abdul Hamid Asy-Syarwani, Kitab Hasyiyah Asy-Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)”

4. Madzhab Hambali

Imam Ahmad bin Hambal berkata:

كُلُّ شَيْءٍ مِنْهَا ــ أَيْ مِنَ الْمَرْأَةِ الْحُرَّةِ ــ عَوْرَةٌ حَتَّى الظَّفْرِ

 “Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya”. (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31).

Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al-Bahuti, ketika menjelaskan matan Al-Iqna’ , Beliau berkata:

(وَهُمَا) أي: اَلْكَفَّانِ، وَالْوَجْهُ مِنَ الْحُرَّةِ الْبَالِغَةِ (عَوْرَةٌ خَارِجُهَا) أَيْ اَلصَّلَاةُ، بِاعْتِبَارِ النَّظَرِ كَبَقِيَّةِ بَدَنِهَا

“Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya”. (Kasyful Qanaa’, 309).Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja.

Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj.
Allah SWT  berfirman dalam QS. Al-Ahzab 33:33

وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى وَاَقِمْنَ الصَّلٰوةَ وَاٰتِيْنَ الزَّكٰوةَ وَاَطِعْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاِنَّمَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًاۚ (٣٣)

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu [1] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu [2] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait [3] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”


[1] Maksudnya: Isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara. Perintah ini juga meliputi segenap muminat.
[2] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad SAW Dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[3] Ahlul bait di sini, yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah SAW
. (QS. Al-Ahzab 33:33).

Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’Alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.

Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’Alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.
Sayyidah ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:

مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An- Nur 24:31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya” (HR. Imam Bukhari, No. 4387).

Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.

Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.

Jadi, perkara memakai cadar bukanlah pada wilayah syariat murni, tetapi lebih pada pengamanan terhadap syariat agama. Untuk itu, seseorang tak boleh mengklaim yang tak bercadar dihukumi berdosa dan yang bercadar merasa lebih suci dari yang lain.

Marilah kita jadikan perbedaan pendapat ini sebagai rahmat dari Allah SWT yang patut disyukuri dan beragamalah sesuai dengan apa yang dipahami dan diyakini kebenarannya.

 

Sumber : 1. Kitab Tafsir Al-Qurthubi (Karya Imam Al-Qurthubi)
                 2. Kitab Fathul Qarib (Karya Syaikh Muhammad bin Qaasim Al-Ghazzi)
                 3. Kitab Matan Nurul Idhoh wa Najatul Arwah (Karya Syaikh Hasan bin Amar Asy-Syarnablali)

___________
Catatan: Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Lisanto
Jum’at Kliwon, 19 Mei 2023