Pekik Cinta Nusantara

 
Pekik Cinta Nusantara
Sumber Gambar: Facebook Alvian Fachrurrozi

Laduni.ID, Jakarta – Untukmu wahai kawan-kawanku muda-mudi milenial, yang merasa mendapatkan prestise ketika maniak dan tahu banyak soal Korea, soal Jepang, atau soal seluk beluk peradaban Timur Tengah dan peradaban Barat.

Apakah kemarin-kemarin ketika membaca berita mengenai anak-anak TPA di Solo yang merusak makam-makam berlambang salib itu tidak ada rasa ‘amuk murka’ di dalam dirimu?

Atau bahkan engkau saking terlelapnya dengan maniakmu terhadap negeri-negeri asing itu, engkau jadi ‘bodo amat’ dan juga tidak tahu menahu soal berita vandalisme keberagamaan yang dilakukan oleh adik-adik kita itu?

Oh, kalau saya yang ‘ndeso’ ini kawan-kawanku, saya yang tidak banyak tahu detail soal negeri-negeri asing itu. Darah bersenyawa "Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa" warisan Majapahit yang mengalir dalam diri saya ini serasa benar-benar ‘mendidih’.

Anak-anak bangsa atau lebih tepatnya adik-adik kita yang seharusnya masih berjiwa polos dan murni itu ternyata jiwanya telah diperkosa dengan sadis oleh ajaran iblis berkedok agama. Sehingga mereka merasa melakukan perbuatan terpuji dan merasa tidak bersalah sama sekali ketika merusak makam-makam saudara kita yang berbeda agama.

Ajaran iblis benar-benar telah menjungkirbalikkan definisi norma dan kebenaran luhur dalam palung jiwa adik-adik kita.

Untuk itulah menurut saya perlunya kita sebagai anak bangsa yang waras, terutama kalangan anak muda yang punya tanggung jawab moral untuk mensosialisasikan beragam akar budaya bangsa kita yang pluralis, inklusif, sejuk, tepo seliro, tidak merasa paling benar sendiri, tidak berwatak buto ‘adigang adigung adiguno’ lalu merasa paling berhak semena-mena bersikap ‘dzalim’ terhadap yang berbeda.

Kiranya kita tidak perlu harus menunggu dulu menjadi duta pemuda, duta budaya, duta seni dan semacamnya. Jika kita bangga pada bangsa kita, bangga pada sejarah peradaban kita, bangga sebagai manusia yang punya adat dan budaya, bangga sebagai manusia yang memanusiakan manusia, bahkan bangga menyembah Tuhan Yang Maha Welas Asih, seharusnya kita punya kesadaran moral untuk setotal-totalnya berjihad melawan ajaran setan yang anti keragaman, anti pluralisme itu.

Anak muda yang progresif itu tidak hanya berpikir dan berbicara tentang masa kini dan masa depan bangsanya tetapi berpikir, menelisik, dan mempelajari juga masa lalu bangsanya.

Mungkin iya, di Ibukota atau di kota-kota metropolitan sana banyak anak-anak muda yang progresif dan benar-benar ‘terdidik’ dalam kampus-kampus elit. Namun sayangnya kebanyakan dari mereka enggan atau lupa menengok kejayaan dan peradaban cerdas masa lalu bangsanya. Mereka memang muda-mudi yang punya potensi unggul berupa kecerdasan di atas rata-rata, inovatif, dan progresif namun sayangnya ya itu, kiblat intelektual dan kiblat politik mereka hanya saklek menengok dari Barat.

Itulah sebabnya mereka lebih kenal dan lebih fasih ketika menyebut tokoh politik asing seperti mantan presiden Amerika Serikat ke-16 “Abraham Lincoln”, namun asing dengan “Mpu Tantular” sang intelektual besar dan konseptor politik pluralis bangsa kita sendiri.

Sudah saatnya kita sebagai pemuda, sebagai generasi penerus bangsa melek dengan keagungan masa lalu bangsa kita sendiri. Dan menjadikan itu sebagai batu loncatan atau kompas intelektual untuk berperan memperbaiki masa kini dan merencanakan hal-hal yang lebih baik lagi di masa depan.

Maka mau tidak mau, kita sebagai muda-mudi trah Nusantara ini harus punya nyali ‘cancut taliwondo’ melawan bajingan-bajingan tengik pengusung halusinasi khilafah atau ‘negara satu agama’ yang terus bergerilya masif memberangus keragaman luhur kebudayaan bangsa kita.

Kita harus siap dan mampu bertarung baik itu secara ide maupun dalam pengertian yang paling primitive, baku hantam secara langsung.

DNA bangsa kita adalah DNA “bangsa pemikir dan petarung ulung” yang punya harga diri sangat tinggi!

Jauh sebelum Sang Mahapatih Gajahmada menjalankan politik sumpah palapa, pada abad ke-13 Sri Maharaja Kertanegara dari kerajaan Singhasari sudah mengkonsep mengenai “Cakrawala Mandala Dwipantara”, politik penyatuan kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara.

Juga bahkan dalam beberapa catatan sejarah diceritakan pada tahun 1289 datang utusan kaisar Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Sri Maharaja Kertanagara dan Singhasari tunduk kepada kekaisaran Mongolia serta wajib menyerahkan upeti setiap tahunnya. Sri Maharaja Kertanagara yang merupakan keturunan dari Ken Arok ini seketika langsung naik pitam mendengar permintaan utusan imperialis Mongolia ini, bahkan beliau langsung memotong salah satu telinga Meng Khi.

Berkaca dari itulah kita bisa mengambil spirit keteladanan dan keberanian dari Sri Maharaja Kertanegara itu dalam melawan militansi sengit para pengusung khilafah yang anti kebudayaan Nusantara.

Tanamkan kuat-kuat dalam palung jiwa kita, bahwasanya kita adalah bangsa yang pemberani dan punya harga diri yang teramat tinggi.

Kita bukan bangsa pengekor mentah-mentah ideologi asing, apalagi kacung rendahan yang tidak kreatif yang hanya membebek buta pada tatanan peradaban lain yang dicekokkan pada kita.

Secara sederhana dan pada tahap awal kita bisa melawan mereka dengan dimulai dari secara pribadi melek literasi terhadap keagungan sejarah peradaban bangsa kita, kemewahan beragam warisan seni dan budaya kita, lalu selanjutnyu kita bisa mensosialisasikan itu lewat sosial media dengan cara kita masing-masing.

Percayalah, jika generasi muda-mudi bangsa kita benar-benar melek terhadap sejarah keagungan bangsa kita, kemewahan beragam seni budaya bangsa kita, mereka tak akan pernah kepincut dongeng sampah ala khilafah, juga dongengan omong kosong soal surga yang tiketnya adalah mengebom banyak nyawa itu.

Memang sejauh ini saya amati vaksin yang terkuat dalam menghabisi ide sampah khilafah adalah spirit kebanggaan terhadap estetika dan keluhuran budaya kita sendiri. Mungkin ya memang bisa kita mendapatkan antibodi racun khilafah itu lewat jalur menjadi aktivis pada ormas yang kontra terhadap ajaran teroris pengusung khilafah atau menjadi intelektual freethinker yang tekun dan getol pada diskursus-diskursus filsafat Barat.

Namun sejauh pengamatan saya, vaksin tiada bandingan dan paling sederhana dalam mengahalau sihir hitam khilafah itu adalah kebanggaan melekat terhadap keunikan dan jatidiri bangsa kita sendiri, terlepas apapun agama dan pandangan politik kita.

Dan menyimak bahasa tulisan saya ini wahai kawan-kawanku, mengapa disitu penuh dengan bahasa amarah yang menyambar-nyambar?

Ya itulah bentuk kecamuk muak dan kegerahan batiniah saya melihat tatanan indah di bumi surga Nusantara ini selalu diricuhi oleh pembual-pembual tengik yang hanya bisa mendongeng soal surga dan neraka semata, lalu memonopoli kebenaran dengan semangat intoleran.

Bahkan corong radikalisme intoleran barbarian ini sudah massif meracuni generasi bangsa kita lewat  pendidikan paling dini dan paling dasar, seperti PAUD, TK, atau seperti lembaga TPA di Solo yang illegal tanpa izin dari aparat dan masyarakat setempat itu.

Oleh sebab itu perlunya juga kita secara massif menghalau ideologi idiot barbarian mereka dengan jalan mensosialisasikan secara massif keluhuran dan keragaman kebudayaan kita yang sangat indah estetik dan bercita rasa seni tinggi.

Ngawi, 23 Juni 2021

Oleh: Alvian Fachrurrozi


Editor: Daniel Simatupang