Diskusi Gender dan Reinterpretasi Tafsir Agama

 
Diskusi Gender dan Reinterpretasi Tafsir Agama
Sumber Gambar: domesticshelters.org, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Para aktivis yang bekerja dan berjuang untuk kesetaraan dan keadilan gender masih menghadapi tantangan besar dari banyak pihak. Tetapi tantangan paling sensitif justru muncul dari “agama” atau lebih tepatnya “tafsir atau pikiran keagamaan”.

Di dalam pandangan para aktivis, wacana keagamaan (Islam) mainstream masih menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan marginal. Sumber-sumber pengetahuan agama yang dijadikan rujukan masih belum berubah dari produk lama yang dipahami secara tekstual. Misalnya laki-laki adalah makhluk superior dan hanya laki-laki yang berhak menduduki posisi puncak, baik dalam ranah domestik maupun publik. Sementara perempuan adalah makhluk inferior dan domestik. Mereka meyakini posisi subordinat perempuan dan superioritas laki-laki adalah "kodrat", kehendak Tuhan.

Wacana keagamaan seperti ini seakan-akan telah menjadi kebenaran yang tidak bisa diganggu dan dikritik. Upaya-upaya untuk melancarkan kritik terhadap wacana ini dalam banyak kasus menimbulkan resistensi yang tinggi dan keras. Masyarakat hanya memahami bahwa pandangan keagamaan yang selama ini mereka jalani adalah benar adanya dan berlaku final. Itulah cara pandang kebudayaan patriarkisme. Yakni kebudayaan yang nenempatkan manusia jenis kelamin laki-laki sebagai pengarah dan penentu kehidupan.

Para aktivis sangat sadar bahwa pandangan keagamaan seperti itu dapat dimaklumi untuk zaman lampau yang jauh. Akan tetapi tidak lagi menguntungkan, baik untuk perempuan sendiri maupun untuk masyarakat luas dalam konteks zaman ini dan mendatang. Oleh karena itu, menurut mereka reinterpretasi atasnya secara kontekstual bukan hanya perlu, tetapi adalah niscaya dan keharusan. Upaya reinterpretasi harus dilakukan untuk mendapatkan pandangan baru yang lebih adil terhadap perempuan.

Cara pandang ini bukan hanya sebagai cara menegakkan keadilan yang menjadi prinsip dalam agama. Ia juga akan membawa kebaikan bagi kaum perempuan, melainkan juga akan memberikan keuntungan bagi semua orang, bangsa dan negara. Relasi kuasa yang tidak setara di mana pun dan dalam sistem apa pun termasuk relasi jenis kelamin, berpotensi melahirkan ketidakadilan dan kekerasan yang mendapatkan legitimasi sosial.

Dari  titik ini mereka memandang bahwa sudah saatnya kita mencari dan memproduksi buku-buku bacaan yang berperspektif keadilan dan lebih-lebih jika ditulis oleh perempuan sendiri dalam porsi yang lebih banyak dan dengan kajian yang lebih mendalam. Begitulah. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: KH. Husein Muhammad

Editor: Hakim