Menjoblo, Menikah atau Menambah?

 
Menjoblo, Menikah atau Menambah?
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Manakah yang lebih utama, menjomblo, menikah ataukah menambah istri?. Jawabannya tergantung. Adakalanya menjomblo lebih utama daripada menikah, adakalanya menikahi satu istri lebih baik, dan adalakanya menambah istri lebih utama. Ukurannya, mana saja kondisi yang lebih memudahkan seseorang untuk mempersiapkan dan membangun kehidupan ukhrawinya, itulah yang lebih baik.

وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى

“Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 17)

Baca Juga: Dahsyatnya Pahala Menghidupkan Sunnah Rasul Malam Jumat untuk Jomblo dan Duda, Benarkah?

Menjomblo Lebih Utama

Bagi penuntut ‘ilmu atau orang yang ingin fokus mendalami ilmu menjomblo itu lebih baik. Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) menyatakan:

يُسْتَحَبُّ لِلطَّالِبِ أَنْ يَكُونَ عَزَبًا مَا أَمْكَنَهُ لِئَلَّا يَقْطَعَهُ الِاشْتِغَالُ بِحُقُوقِ الزَّوْجَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِالْمَعِيشَةِ عَنْ إكْمَالِ طَلَبِ الْعِلْمِ

“disukai seorang penuntut ilmu untuk menjomblo semampunya agar kesibukan dia dalam menunaikan hak-hak istri dan mencari nafkah tidak memutusnya dari kesempurnaan menuntut ‘ilmu. [1]

Beliau berhujjah dengan hadits

خَيْرُكُمْ بعد الـمِائتين خفيف الْحَاذِ وَهُوَ الَّذِي لَا أَهْلَ لَهُ وَلَا وَلَدَ

“Sebaik-baik kalian setelah dua ratus tahun adalah yang ringan kondisinya, yakni dia tidak punya keluarga dan tidak punya anak.” [2]

Imam an Nawawi mengatakan: “ini adalah keadaan manusia pada umumnya, dan ini semua sesuai dengan madzhab kami (Syafi’i), yakni orang yang tidak membutuhkan untuk menikah maka lebih disukai dia meninggalkan menikah.” [3]

Oleh karena itulah kita dapati orang-orang yang menghabiskan hidup mereka untuk ilmu dan dakwah. Diantaranya adalah Imam At-Thabari (w. 310 H), seorang ahli tafsir, ahli fikih, ahli atsar, ahli sejarah, ahli nahwu, ahli ‘arudh, ahli sya’ir, al muqri’, al mu’addib, al muhaqqiq dan al-mudaqqiq, hingga ajal menjemput saat beliau berusia 68 tahun, beliau tetaplah jomblo.

Kejombloan beliau bukanlah karena tidak laku, namun karena beliau lebih memilih menyibukkan diri dengan ‘ilmu, hingga ‘tidak sempat mikir’ untuk nikah. Seorang muridnya pernah menghitung berapa lembar karyanya. Jika dirata-rata sejak baligh hingga meninggal, beliau telah menulis 14 lembar perhari[4], itu beliau lakukan dengan tulisan tangan, bukan copy paste!.

Beliau pernah berkata kepada sahabat-sahabatnya: “Apakah kalian semangat untuk belajar tafsir Alquran?” Mereka menjawab: “berapa kadarnya?” Beliau jawab: “30 ribu lembar”. Mereka berkata: “ini akan menghabiskan umur sebelum sempat khatam”. Lalu Imam at Thabari meringkasnya menjadi 3 ribu lembar dan mengajarkan kepada mereka dalam tempo 7 tahun.[5]

Bahkan dalam kondisi payah saat menjelang meninggal, beliau masih semangat untuk menulis, beliau meminta tinta dan kertas. Ditanyakan pada beliau:

أفي هذه الحال؟

“Apakah dalam kondisi seperti ini (engkau masih mau menulis)?”

Beliau menjawab: “Hendaknya setiap manusia tidak meninggalkan mengambil faedah ilmu hingga dia mati”. (6)

Begitu juga ulama lain seperti Bisyri al-Hâfi al-Marwazi (w. 227 H), Abu Bakr al-Anbari (w. 328 H), Hannad bin as-Sariy (w. 243 H), Imam an Nawawi (w. 676 H), dan para ‘ulama lain yang hingga wafat ‘tidak sempat’ menikah.

Oleh karena itu, menjomblo full itu bagus jika memang sibuk sekali berdakwah dan menuntut ilmu, serta mampu menjaga diri dari mendekati zina. Namun jika aktivitas dakwahnya biasa saja, mengaji dan menulis juga sangat biasa, terlebih lagi banyak wanita yang ‘berharap’, sementara hati sering tergetar melihat ‘barang bagus’ maka lebih baik segera siapkan diri untuk menikah.

Baca Juga: Dalam Akad Nikah, Haruskah Mendahulukan Pihak Pria atau Perempuan?

Menikah Lebih Baik

Menikah itu menjadi hal baik jika seseorang memang membutuhkan untuk menikah dan (1) diawali dengan niat mempersiapkan diri membangun kehidupan akhirat yang lebih baik, (2) memiliki kemampuan untuk menafkahi istri, (3) mengetahui hukum syara’ terkait seluk-beluk rumah tangga, (4) menemukan calon istri shalihah yang bisa menyemangati dan membantunya untuk taat, dan (5) keluarga tidak menjadikannya lalai akan misi hidupnya di dunia.

Jika tidak terpenuhi salah satunya maka nikah tidak akan membawa barokah, namun justru akan memberatkan hisab di akhirat kelak. Seseorang bisa teralihkan fokus mencari kehidupan akhiratnya jika dia menikahi orang yang lebih dominan memikirkan dunia semata. Rasulullah saw bersabda:

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ

“Tidaklah aku melihat orang yang kurang akal dan agamanya yang dapat menghilangkankan akal laki-laki yang teguh selain salah satu di antara kalian (para wanita).” [7]

Tentang hadits ini, Imam Ibnu Baththal (w. 449 H) berkata: Artinya: “Jika wanita-wanita (fitnahnya) bisa menguasai laki-laki yang teguh beragama, bagaimana kira-kira (kondisi) laki-laki yang tidak teguh agamanya.”[8]

Jika suami yang punya fondasi agama yang teguh saja bisa ‘hilang akalnya’ ketika menghadapi istri yang lalai, apalagi jika suami tersebut juga orang yang lalai, maka hancurlah keluarga tersebut. Jika suami yang teguh saja bisa hilang akalnya menghadapi istri yang lalai, tentu anak-anaknya akan lebih rusak lagi jika diasuh oleh istri seperti itu. Begitu juga jika suami yang merupakan kepala keluarga saja bisa ‘hilang akalnya’ disebabkan istri yang lalai, maka seorang istri akan lebih memungkinkan ‘hilang akalnya’ jika dipimpin oleh seorang suami yang lalai.

Poligami Lebih Baik

Seseorang yang membutuhkan nikah dan memenuhi semua hal pada (2), jika dia menduga kuat akan bisa berlaku adil terhadap beberapa wanita, punya kemampuan ‘multi tasking’, sehingga menuntut ilmu, dakwah, mencari nafkah, mengelola semua istri, dll semua bisa berjalan dengan baik secara bersamaan maka menambah istri tentu lebih utama. Dalam Shahih al-Bukhari, Ibnu Abbas r.a berkata:“Sesungguhnya sebaik-baik orang dari umat ini adalah yang paling banyak istrinya”.[9]

Baca Juga: Suami yang Poligami dan Kewajiban Terhadap Para Istrinya

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani ketika menjelaskan hal ini mengatakan: “maknanya adalah bahwa sebaik-baik umat Muhammad adalah yang paling banyak istrinya[10] yakni jika mereka dalam semua hal –selain jumlah istri – memiliki keutamaan yang sama.” [11]

Jika si A dan si B memiliki tingkat iman, ilmu, amal dan ketaqwaan yang sama, namun si A istrinya lebih banyak dari si B, maka si A lebih baik dari si B. Namun jika banyaknya istri si A justru menjadikan amal ibadah, dakwah dan nuntut ilmunya berkurang; pekan I izin kajian karena mengurus istri pertama yang sakit, pekan II izin karena istri kedua melahirkan, pekan III izin karena menemani istri yang sedang safar, pekan IV izin karena kelelahan mengurus empat orang istri, walaupun semua izin tersebut karena udzur syar’i, maka tetaplah tidaklah bisa diterapkan ucapan Ibnu Abbas tersebut.

Adapun Rasulullah, sungguh luar biasa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan banyaknya istri beliau, banyaknya tanggungan anak yatim dan anak kandung beliau, sibuknya beliau mengurus negara dan umat, beliau tidak pernah berkurang amal ibadah dan perjuangannya, selama di Madinah beliau 27 kali memimpin sendiri pasukan dalam ghazwah, beliau mengorganisir 35 kali sariyyah, dan senantiasa membina umat bahkan melakukan inspeksi pasar.

Terus bagaimana sebaiknya? Tinggal melihat kapasitas diri masing-masing. Setiap orang memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Yang memilih menikahpun masih bisa ‘menjomblo part time’ -mengalokasikan waktu dan membebaskan pikiran dari memikirkan keluarga pada alokasi waktu tersebut –untuk beraktivitas sesemangat kaum jomblowan, apalagi jika usia sudah melewati 40 tahun, harusnya sudah lebih fokus untuk belajar ‘menjomblokan diri’ sebelum benar-benar menjadi jomblo di liang kubur. Usia 40 tahun keatas, dengan dikuranginya berbagai kenikmatan yang bersifat material ini, seolah-olah Allah ingin mengingatkan dan menyuruh kita untuk berusaha menggapai kenikmatan yang lebih tinggi: kenikmatan spiritual. Allâhu A’lam.

---------
Sumber: [1] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Ma’a Takmilah al-Subki Wa al-Muthi’i) (Beirut: Dâr al-Fikr (dalam al-Maktabah al-Syamilah), tt), Juz 1, hlm. 35. [3] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Ma’a Takmilah al-Subki Wa al-Muthi’i), Juz 1, hlm. 35. [4] Abd al-Fattâh Abu Ghuddah, Al-’Ulamâ al-’Uzzâb (Beirut: Maktab al-Mathbû’ât al-Islamiyyah, 1982), hlm. 39. [5] Ibid., hlm. 78. [6] Ibid., hlm. 46-47. [7] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dâr Tuq al-Najah, 1422), Juz 2, hlm. 120. [8] Ibnu Baththal, Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Baththal, Cet. II. (Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003), Juz 1, hlm. 420. [9] Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Dâr Tuq al-Najah, 1422), Juz 7, hlm. 3. [10] maksimal 4 dalam satu waktu. [11] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath Al-Bâri (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1379), Juz 9, hlm. 114.

Editor: Nasirudin Latif