Khutbah Jumat: Hakikat Akhlak dalam Kacamata Tasawuf

 
Khutbah Jumat: Hakikat Akhlak dalam Kacamata Tasawuf
Sumber Gambar: Dok Laduni.ID

KHUTBAH PERTAMA:


  للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذِي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، ذُواْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِه وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أَمَّا بَعْدُ: فَيَايُّهَا الإِخْوَان، أوْصُيْكُمْ وَ نَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ وَطَاعَتِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنْ، قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي اْلقُرْانِ اْلكَرِيمْ: أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الَّشيْطَانِ الرَّجِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. صَدَقَ اللهُ العَظِيمْ.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah,

Marilah di hari ini kita mempertebal ketaqwaan kita kepada Allah dengan menghindarkan diri dari kecurangan, kebohongan dan berbagai sifat tercela lainnya. Dan memulai hari-hari dengan amalan-amalan saleh yang nyata sebagai pembuktian kebenaran Iman. Sebab, segala perbuatan dan amal manusia, baik maupun buruk merupakan pencerminan imannya kepada Allah SWT.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Salah satu wujud dari ajaran pokok ajaran agama Islam adalah Akhlak. Akhlak pada wujudnya yang paling awal dalah teks-teks al-Qur’an dan al-Sunnah yang mengajarkan tentang budi pekerti yang luhur. Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan ijtihad para ahli, melahirkan Ilmu Tasawuf. Karena Ilmu Tasawuf merupakan hasil ijtihad para ahli, maka terdapat aliran-aliran sebagaimana disinggung dalam kajian di atas. Akhlak pengertiaanya menurut bahasa adalah perangai, adab, perbuatan, ‘urf, baik yang terpuji maupun yang tercela.

Pengertian akhlak secara sosiologi di Indonesia, maksudnya adalah perangai dan tingkah laku yang baik. Karena itu, apabila dikatakan bahwa Ahmad seorang yang berakhlak, maksudnya ia memiliki perangai yang baik. Apabila kata akhlak dikaitkan dengan kata Islam atau disebut al-Akhlak al-Islamiyah, berarti perbuatan dan tingkah laku yang terpuji sesuai dengan tuntunan al-Qur’an dan al-Sunnah. Akhlak secara garis besar terdiri dari dua bagian, yaitu (1) akhlak terhadap khaliq (pencipta) yaitu Allah s.w.t., dan (2) akhlak terhadap makhluk, yaitu segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah. Makhluk ini terdiri dari alam jamadi (benda mati) yang terdiri dari benda padat, benda cair, dan gas. Selanjutnya adalah alam Nabati (flora) yang terdiri dari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan. Alam hewani (fauna), dan alam insani (manusia) yang terdiri dari berbagai macam ras dan suku.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah,

Akhlak terhadap khaliq (Allah s.w.t.) adalah dengan jalan mentaati segala perintah-Nya, menjauhi segala larangan-Nya, berdoa kepada-Nya, bertaubat dan beristighfar. Akhlak terhadap makhluk (nyata) dibagi dua terdiri dari akhlak terhadap manusia dan selain manusia. Akhlak terhadap manusia terdiri dari akhlak terhadap Nabi dan Rasul, akhlak terhadap diri sendiri, akhlak terhadap keluarga, akhlak terhadap masyarakat, akhlak terhadap bangsa, dan hubungan antar bangsa. Akhlak terhadap Nabi dan Rasul misalnya adalah mentaati segala perintahnya, menjauhi segala larangannya, mengikuti sunnahnya, meneladani perilakunya, dan mencintai para Nabi dan Rasul, melebihi cintanya pada sesuatu termasuk kecintaannya terhadap dirinya sendiri. Akhlak kepada diri sendiri, misalnya berbuat kebajikan, menjauhi berbagai hal yang tercela, menjaga kesehatan, memanfaatkan usianya untuk berbuat baik agar bermanfaat bagi sebanyak mungkin umat manusia dan makhluk lain. Akhlak terhadap keluarga misalnya berbakati kepada orangtua baik ibu, ayah, kakek, nenek dan seterusnya, menyayangi dan membimbing anak-anak dan berbuat kebajikan secara umum untuk keluarga.

Akhlak terhadap masyarakat diantaranya adalah saling berwasiat tentang kebenaran, keadilan, ketabahan dan kesabaran, saling tolong menolong dalam kebajikan, saling merajut silaturrahim dan cinta kasih antar sesama anggota masyarakat. Akhlak terhadap bangsa adalah kita harus mentaati keputusan-keputusan yang telah disepakati dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melakukan aktifitas terpuji yang dapat meningkatkan kualitas bangsa dan negara. Saling bersikap toleransi dalam berbagi perbedaan. Akhlak terhadap hubungan antar bangsa misalnya kita harus mengusahakan perdamaian dunia dan menolak segala bentuk kekerasan atau peperangan. Masing-masing negara tidak ikut campur tangan terhadap urusan negara lain.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah,

Akhlak selain manusia, seperti alam jamadi, hendaklah menjaga kelestariannya dan memanfaatkannya dengan baik demi kemaslahatan semua makhluk. Akhlak terhadap alam nabati adalah menjaga kelestariannya, memanfaatkannya untuk kebaikan bersama dan tidak merusaknya. Akhlak terhadap alam hewani adalah menyayangi hewan, tidak menyiksanya atau menyakitinya dan memanfaatkan hewan untuk kebaikan sesama makhluk dengan tanpa menyakiti. (Zakky Mubarak, 2014:166-171).

Dalam rangka mewujudkan akhlak sebagaimana disebutkan di atas dalam kehidupan sehari-hari, para ulama yang ahli di bidang ini melakukan berbagai macam ijtihad, dan menetapkan tatacara agar bisa diperaktikkan oleh setiap orang yang ingin memiliki akhlak yang luhur. Hasil ijtihad itu menjadi disiplin ilmu tersendiri yang disebut ilmu tasawuf. Tasawuf pengertiannya secara etimologis dijumpai banyak makna, diantaranya: (1) diambil dari kata ahlu shuffah, yaitu para sahabat Nabi yang tinggal disamping masjid Nabawi yang menghabiskan umurnya untuk mendalami ajaran Islam dari Nabi s.a.w. mereka hidupnya sangat sederhana. Makna yang ke (2) diambil dari al-Shaf barisan shalat yang paling depan, maksudnya orang-orang sufi itu memperoleh keutamaan bila dibandingkan dengan manusia muslim pada umumnya. Makna yang ke (3) diambil dari kata shafiyyun yang artinya jernih atau suci. Maksudnya seorang shufi adalah mereka yang telah dapat mensucikan dirinya dari penyakit rohani (kejiawaan), melalui latihan-latihan yang berat dan terstruktur.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah,

Makna yang ke (4) diambil dari kata shopos berasal dari kata yunani yang berarti hikmah. Dinamai demikian, karena orang-orang shufi memiliki hikmah yang tinggi, dan memiliki kebijaksanaan yang tulus. Makna berikutnya (5) berasal dari kata shauf yang artinya adalah bulu domba atau kain woll kasar yang terbuat dari bulu-bulu hewan. Dinamai demikian, karena orang-orang shufi sering mengenakan pakaian sederhana seperti ini, sebagai protes terhadap kemewahan yang berlebihan dan perbuatan-perbuatan maksiat yang sering dilakukan oleh para pejabat negara, keluarga dan antek-anteknya. Pakaian sederhana ini sebagai lawan dari pakaian mewah, seperti sutra dan sejenisnya yang sering dikenakan oleh para pemimpin dan keluarganya. Dari kelima istilah di atas, yang paling tepat secara bahasa adalah pengertian yang kelima. Kata itu apabila ditashrif, maka ketemulah kalimat tasawuf yang merupakan mashdar dari kata tasawwafa, yang artinya orang yang mengenakan pakaian dari bulu domba. (Mushtafa al-Suk’ah: 1972: 574-591).

Pengertian tasawuf secara terminologis, dalam pengertiannya yang sangat sederhana adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagi seoang muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. dengan sedekat-dekatnya. Jalan itu biasanya ditempuh melalui zuhud dan beberapa stasiun yang harus dilalui seperti (1) taubat, (2) al-Wara’, (3) faqir, (4) tawadhu, (5) takwa, (6) tawakkal, (7) ridha, (8) cinta, dan (9) al-Makrifat. Stasiun-stasiun ini ada sedikit perbedaan yang dikemukakan oleh ahli tasawuf yang satu dengan ahli tasawuf yang lain. Namun demikian, perbedaan itu tidak terlalu besar.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah,

Al-Zuhud maksudnya, bahwa seorang yang menuju jalan tasawuf atau sufi harus meninggalkan dunia dan hidup kebendaan. Seorang calon shufi harus terlebih dahulu menjadi zahid yang disebut juga asketik. Setelah menjadi seorang yang zahid, baru ia bisa mengikuti stasiun-stasiun berikutnya, sebagaimana disebutkan di atas. Stasiun (1) taubat, maksudnya seorang shufi atau tasawuf harus bertaubat dari segala kesalahanya. Dimulai tobat dari dosa-dosa besar, tobat dari dosa-dosa kecil dan meninggalkan segala sesuatu yang syubhat ataupun meragukan. Stasiun (2) al-Wara’ maksudnya, seorang calon sufi harus meninggalkan segala hal yang bersifat syubhat atau yang meragukan, misalnya ketika ia akan memakan daging hewan, sembelihannya benar atau tidak, sesuai dengan ajaran Islam atau tidak? Atau jika makanan lain dipertanyakan apakah diperoleh dengan cara yang halal atau tidak. Apabila hal itu tidak pasti dan timbul keraguan, maka segera ditinggalkan.

Stasiun (3) al-Faqr, maksudnya adalah tidak mengharap lebih dari apa yang dia peroleh, tidak ngoyo mencari rezeki, kecuali hanya untuk dapat menjalani kehidupan dan melaksanakan kewajiban-kewajiban. Pantangan meminta bantuan kepada orang lain, sungguhpun ia sangat membutuhkan. Stasiun (4) al-Shabr, yaitu bersikap tabah dalam melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Menerima secara tulus terhadap musibah yang menimpa dirinya. Hanya menunggu pertolongan yang datangnya dari Allah. Sabar dalam menjalani penderitaan dan tidak menunggu pertolongan dari siapapun kecuali dari Allah. Stasiun (5) tawadhu adalah bersilap rendah hati merendah dalam segala hal, meskipun ia memiliki kemampuan dan kesitimewaan-keistimewaan yang ada padanya. Stasiun (6) al-Takwa, pengertiannya secara bahasa adalah bersikap hati-hati, menjaga diri dan takut terhadap murka Allah, secara etimologis maksud dari takwa adalah menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya dengan keikhlasan yang murni dan ketulusan yang mendalam.

Stasiun (7) tawakkal, maksudnya adalah menyerahkan diri atau pasrah terhadap ketentuan dan ketetapa dari Allah s.w.t. terhadap dirinya dan terhadap makhluk lain pada umumNya. Dengan demikian, seorang yang bertawakkal akan selalu berada dalam keadaan tenang, dan tentram. Apabila mendapat karunia, ia bersyukur dan apabila kena musibah dia bersabar dan selalu menyerahkan diri kepada Allah s.w.t.. Mereka juga selalu mengalah tidak mau makan apabila ada orang lain yang lebih membutuhkan pada makanan itu. Tidak terlalu memikirkan terhadap hari esok atau masa depan dalam kehidupan dunia, ia merasa cukup dengan apa yang ada. Percaya kepada janji Allah, menyerahkan segalanya kepada Allah, dan karena Allah. Stasiun (8) a-Ridha maksudnya adalah menerima dengan tulus segala ketentuan dan ketetapan dari Allah s.w.t., menerima qada dan qadar-Nya dengan perasaan bahagia. Mengeluarkan perasaan benci dari dirinya sehingga yang tinggal di dalam dirinya hanya perasaan cinta, senang, dan bahagia. Merasa senang bila ditimpa malapetaka sebagaimana ia merasa senang ketika ia memperoleh nikmat. Tidak merasakan sedih terhadap qada dan qadarnya, malahan menyambutnya dengan perasaan cinta yang bergelora, ketika mendapat berbagai cobaan.

Stasiun (9) cinta, yang dimaksud dengan cinta di sini adalah cinta yang sangat mendalam kepada Allah s.w.t.. Mereka meraih dan memeluk kepatuhan yang sangat mendalam kepada perintah Tuhan dan membenci terhadap segala aktifitas yang membangkang terhadap-Nya. Menyerahkan diri sepenuh hati kepada yang dicintai, yaitu Allah s.w.t.. Mengosongkan hati dari segela sesuatu kecuali dari yang amat dicintainya yaitu Allah s.w.t.. Stasiun (10) makrifat (Gnosis), maksudnya adalah mengenal Allah secara mendalam sehingga dapat tergambarkan hubungan yang sangat erat antara manusia dengan Tuhannya dengan bentuk gnosis, pengenalan terhadap Tuhan dengan hati sanubari. Apabila seorang sufi telah mencapai tingkatan makrifat, maka ia akan memperoleh pengetahuan dari Allah s.w.t. yang tidak diperoleh orang lain melalui ilham. Dengan demikian, pengetahuan yang dimiliki seorang yang telah mencapai tingkatan ini, sangat luas dan mendalam dan banyak hal yang tidak bisa diketehaui oleh manusia pada umumnya.

Maasyiral Muslimin Rahimakumullah,

Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini. Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Amin.

 أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

KHUTBAH KEDUA:

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

DO’A KHUTBAH:

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ

 

___________________________
Oleh: Ustadz Mohammad Khoiron