Cara Benar Mencintai Produk Dalam Negeri Menurut Sosiolog

 
Cara Benar Mencintai Produk Dalam Negeri Menurut Sosiolog

LADUNI.ID, Jakarta - Saat membuka rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan tahun 2021, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (4/3/2021) kemarin, Presiden Jokowi meminta agar kampanye cinta produk-produk dalam negeri Indonesia turut digaungkan. Saat yang bersamaan, Jokowi menyampaikan agar membenci produk luar negeri juga disuarakan.

Ajakan presiden ini mengundang pertanyaan dari sebagian masyarakat, apa benar mencintai produk dalam negeri harus dibarengi dengan keharusan membenci produk-produk luar negeri? Seperti apa seharusnya kita menyikapi? Berikut ini adalah ulasan sosiolog, Imam B. Prasodjo, tentang cara yang benar dalam mencintai produk dalam negeri Indonesia. Selamat membaca.

***

Para pembeli produk di pasar selalu memiliki beragam cara dalam menentukan pilihan, antara lain pilihan yang bersifat rasional, pilihan karena keterpaksaan (karena nggak ada yang lain ibarat tak ada rotan akar pun jadi), dan pilihan karena dorongan emosional. Selain itu, ada beragam pertimbangan yang juga ikut mempengaruhi, seperti pertimbangan ekonomi, kegunaan, selera, status sosial, dan solidaritas.

Nah, himbauan untuk cinta produk dalam negeri (mendorong tumbuhnya pilihan emosional?) agaknya akan berhadapan dengan perilaku pembeli yang didasarkan pada pilihan rasional. Barang lebih bagus, lebih memberi kenyamanan dan keamanan, atau terkadang lebih murah, seringkali lebih menjadi dasar pilihan.

Pilihan pembeli barang atas dasar solidaritas sebangsa atau spirit nasionalisme, tentu tak akan mudah menjadi pilihan, betapa pun bagus himbauan ini. Oleh karena itu, dorongan yang sifatnya membangkitkan emosional harus diimbangi dengan upaya membangun produk yang siap berkompetisi di arena konsumen rasional. Artinya, kita perlu membuat kebijakan yang memberikan fasilitas baik agar produk-produk lokal mampu tumbuh berkembang menjadi produk berkualitas.

Dorongan untuk para entrepreneurs Indonesia agar berkembang dengan memberi berbagai kemudahan, baik modal, perizinan, lokasi strategis dan seterusnya, sangat dibutuhkan. Pemerintah perlu jeli membuat pemetaan di mana para champions produsen produk lokal unggulan itu berada, dan menjadikan mereka barisan magnet penggerak produk-produk lokal yang berkualitas, siap bersaing dalam menarik pembeli.

Emosi solidaritas harus dibarengi dengan kualitas. Produk perlu dikemas sedemikian rupa agar derajatnya meningkat sehingga "match" dengan gengsi sosial sebagian pembeli Indonesia yang seringkali sangat peduli pada soal gengsi.

Saya yakin, produk kita siap bersaing karena tak saja memiliki kualitas, atau setidaknya potensi kualitas, namun keunikan. Masa depan produk kita, tak hanya maju karena memiliki competitive adventage, namun juga comparative adventage. Artinya, keunikan produk yang kita miliki memang tak bisa dibandingkan dengan barang manapun. Lihatlah beragam jenis makanan, kue atau cemilan yang kita miliki sebagaimana ditayangkan dalam video ini, sungguh luar biasa. Nyem..nyem..nyem. Apa mau dibandingkan dan dipertandingkan jenis makanan yang kita miliki dengan produk lain? Tentu tidak bisa karena memang tidak "apple to apple". Enaknya klepon tak bisa dibandingkan dengan lezatnya brownies.

Karena itu, yang kini dibutuhkan adalah memberi kesempatan agar beragam produk lokal seperti makanan dalam video ini viral dan mandapat kesempatan tersaji di setiap meja dan restauran di seluruh di dunia. Insya Allah, bila produk makanan ala Indonesia ini mampu merambah ke banyak negara, mereka akan menyintai produk kita, walaupun bagi mereka, serabi, klepon, onde-onde dan lainnya adalah produk asing bagi mereka.(*)

***

Penulis: Imam B. Prasodjo (Sosiolog)
Editor: Muhammad Mihrob