KH. Cholil Bisri dalam Catatan Seorang Santri

 
KH. Cholil Bisri dalam Catatan Seorang Santri

LADUNI.ID, Papua Barat - 24 Agustus 2004 silam, Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, hujan air mata. Berduyun-duyun tangis serta sesenggukan terus kian menumpah sejak selepas waktu Isya' di hari Senin malam Selasa itu.

Syaikhina KH. Cholil Bisri, nama inilah yang telah membuat air mata para santri yang diikuti oleh masyarakat Rembang terkuras. Kepergiannya ke haribaan Yang Maha Pencipta waktu itu, sungguh membuat para santri terpukul. Juga menggodamkan kesedihan yang sangat mendalam bagi masyarakat Rembang.

Abah, begitu para santri memanggil kiai Cholil, merupakan sosok kiai yang sangat mencintai santrinya. Beliau tidak pernah ridha bila ada santri yang diperlakukan dengan kekerasan. Tidak boleh ada santri yang karena suatu kesalahan, kemudian dihukum dengan cara dipukul atau sejenisnya. Dengan demikian, beliau menekankan kepada para pengurus pondok untuk senantiasa memupuk kesabaran.

Mbah Cholil, demikian beliau dikenal luas, juga sosok kiai yang sangat menghormati kemerdekaan. Hal itu dapat dilihat dalam sistem yang diberlakukan di pondok yang beliau asuh. Karena pondok tidak memiliki sekolah formal, para santri yang ingin sekolah formal pun diberi keleluasaan untuk memilih sekolah yang diinginkan di luar pondok. Baik sekolah model MTs/MA ataupun sekolah model SMP/SMA/SMK. Tentu saja dengan catatan tidak boleh sampai mengganggu peraturan dan kegiatan yang telah ditetapkan dan berlaku di pondok.

"Kamu boleh melakukan apa saja, yang penting ngaji," begitu kurang-lebih dawuh kiai yang hingga akhir hayatnya masih mengemban sebagai Wakil Ketua MPR RI.

Sepintas, dawuh beliau di atas memang terbaca sangat sederhana. Namun, apabila kita "angen-angen", dawuh itu mengandung makna yang sangat dalam. Setidaknya bagi saya.

Pertama, beliau ingin santrinya supaya tidak berhenti ngaji atau belajar. Walaupun dalam keadaan apapun. Kedua, beliau menginginkan santrinya jangan takut untuk melakukan apa saja. Walaupun kemudian ternyata salah. Dan kesalahan itu adalah bagian dari proses belajar. Ketiga, beliau menginginkan santrinya supaya ketika melakukan apa saja jangan sampai tidak didasari dengan ilmu. Karena itu, harus belajar atau ngaji.

Selain itu, kiai yang juga kakak dari Syaikhina KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus) dan juga ayah dari KH. Yahya Cholil Staquf (Katib 'Aam PBNU) juga Gus Yaqut Cholil Qoumas (Ketum GP. Ansor) ini, tawadlu'-nya sangat luar biasa. Contohnya, pernah beliau tidak sepakat dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam suatu hal, namun beliau tidak menyampaikannya secara langsung. Bukan pula kemudian diumumkan dipublik. Melainkan beliau menyampaikan kepada kiai lain yang menurut beliau "setaraf" atau punya "maqom" lebih tinggi dari Gus Dur. Pendek kata, meski kealiman beliau tidak ada yang meragukan, namun karena ketawadluan beliau, beliau masih merasa ada kiai lain yang melebihi beliau.

Sebagai kiai, tentu saja Mbah Cholil punya rutinitas mengaji. Di antaranya yaitu ngaji Tafsir Jalalain setiap habis Sholat Shubuh. Dan bagi para santri, benturan sandal "teklek" dengan lantai, yang mencipta nada-nada khas, adalah pertanda bahwa ngaji akan segera dimulai. Meskipun nada-nada itu masih di luar, tapi di dalam aula, santri-santri yang semula menghafal nandhom kitab atau "nderes" seketika berhenti. Aula yang semula "gembrembeng" oleh suara-suara nderes pun menjadi senyap. Semua diam dan menata diri sembari membuka kitab Tafsir Jalalain yang akan di-ji. Itulah suasana selepas shubuh di aula Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh setiap akan mengaji Tafsir Jalalain yang diampu oleh beliau.

Tafsir Jalalain adalah kitab tafsir karangan dua Jalal. Yaitu Syaikh Jalaluddin Al-Mahalli dan Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi. Kitab Tafsir ini di Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin diampu langsung oleh beliau. Semua santri wajib mengikutinya.

Sebagai santri kecil waktu itu, saya kurang bisa mengikuti kajian ini sebenarnya. Bagaimana tidak, maknani kitab saja belum nyandak. Jenis-jenis kalimat saja belum bisa membedakan. Walau demikian, hampir saya tidak pernah absen mengikuti ngaji ini. Terlebih saya sangat menikmati suara beliau ketika melantunkan ayat-ayat Qur'an sebelum memaknainya. Sungguh saya belum menemukan suara muballigh atau da'i semerdu suara beliau hingga saat ini. Entah cengkok apa yang beliau terapkan ketika menyenandungkan ayat-ayat suci itu.

Tak hanya itu. Penjelasan-penjelasan beliau selalu terdengar segar dan gamblang sehingga sangat mudah ditangkap, bahkan oleh santri kecil seperti saya. Dalam bahasan yang serius dan njlimet, beliau dengan rasa humor yang tinggi mampu menyulap bahasan tersebut tidak "spaneng" dan tegang. Istilah yang konon ilmiah seperti "religius-humanistis" pun pertamakali saya dengar dari beliau.

Satu lagi yang hingga sekarang tak bisa terlupa ialah ketika acara khataman ngaji pasan. Tiap kali beliau berdo'a dalam acara khataman kitab, satu aula seperti terhipnotis untuk sesenggukan. Air mata tak terasa berjatuhan mengiringi lafadh-lafadh do'a yang beliau lantunkan. Bahkan, ada yang sampai histeris. Ada juga beberapa orang yang tangisnya masih berbunyi walau do'a yang beliau panjatkan sudah usai dan berhenti.

Syaikhina KH. Cholil Bisri meneruskan mengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin Leteh dari ayahnya, KH. Bisri Mustofa. Dan setelah Mbah Cholil, kini dilanjutkan oleh KH. Mustofa Bisri dan KH. Yahya Cholil Staquf. Untuk beliau berdua, semoga Allah SWT. memberi panjang umur dan kesehatan serta ke'afiyatan. Amin.

Kagem Mbah Bisri Mustofa dan Mbah Cholil Bisri, Al-Fatihah... (*)

***

Penulis: Ustadz Agus Setyabudi, Pengajar Madrasah Diniyah Al-Ibriz Iru Nigeiyeh, Papua Barat.
Editor: Muhammad Mihrob