Pilih Mana, Hadis Nabi Apa Pendapat Ulama?

 
Pilih Mana, Hadis Nabi Apa Pendapat Ulama?

LADUNI.ID, Surabaya - Slogan yang ada di zaman kita: "Pilih ikut Nabi apa Kiai?" atau klaim "Saya langsung ikut Mazhab Nabi bukan Mazhab Syafi'I", atau propaganda lainnya, ternyata juga sudah ada di zaman Al-Hafidz Adz-Dzahabi, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, yang beliau tulis saat menjelaskan biografi Syekh Ad-Daraki:

ﻭاﻷﺧﺬ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﻭﻟﻰ ﻣﻦ اﻷﺧﺬ ﺑﻘﻮﻝ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ.

"Mengambil hadis lebih baik dari pada pendapat Syafi'i dan Abu Hanifah."

ﻗﻠﺖ: ﻫﺬا ﺟﻴﺪ, ﻟﻜﻦ ﺑﺸﺮﻁ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺑﺬﻟﻚ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺇﻣﺎﻡ ﻣﻦ ﻧﻈﺮاء اﻹﻣﺎﻣﻴﻦ ﻣﺜﻞ ﻣﺎﻟﻚ، ﺃﻭ ﺳﻔﻴﺎﻥ, ﺃﻭ اﻷﻭﺯاﻋﻲ, ﻭﺑﺄﻥ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﺛﺎﺑﺘﺎ ﺳﺎﻟﻤﺎ ﻣﻦ ﻋﻠﺔ، ﻭﺑﺄﻥ ﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﺣﺠﺔ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ﻭاﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﻣﻌﺎﺭﺿﺎ ﻟﻵﺧﺮ

Adz-Dzahabi menjawab: "Ini bagus sekali. Dengan syarat orang yang mengambil itu adalah seorang imam yang selevel Syafi'i dan Hanafi, seperti Malik, Sufyan atau Auza'i. Dan syaratnya lagi hadis tersebut sahih dan tidak ada illat/cacatnya. Dan syaratnya pula hujjahnya Abu Hanifah dan Syafi'i bukan hadis yang bertentangan dengan hadis lain."

ﺃﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﺧﺬ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﺻﺤﻴﺢ ﻭﻗﺪ ﺗﻨﻜﺒﻪ ﺳﺎﺋﺮ ﺃﺋﻤﺔ اﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻓﻼ, ﻛﺨﺒﺮ: "ﻓﺈﻥ ﺷﺮﺏ ﻓﻲ اﻟﺮاﺑﻌﺔ ﻓﺎﻗﺘﻠﻮﻩ" , ﻭﻛﺤﺪﻳﺚ "ﻟﻌﻦ اﻟﻠﻪ اﻟﺴﺎﺭﻕ؛ ﻳﺴﺮﻕ اﻟﺒﻴﻀﺔ ﻓﺘﻘﻄﻊ ﻳﺪﻩ".

Sementara orang yang mengambil dengan hadis sahih padahal ditolak oleh para imam Mujtahid maka tidak boleh, seperti hadis: "Jika ada orang mabuk yang keempat kalinya maka bunuhlah, (HR Tirmidzi)", dan hadis: "Allah melaknat pencuri yang mencuri telur, lalu dipotong tangannya, [HR Bukhari]" (Siyar A'lam An-Nubala' 12/385).

***

Tulisan tersebut adalah tulisan dari Ustadz Ma’ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur, dalam salah satu postingan di facebook pribadi beliau. Dari tulisan ini jelas bahwa zaman sekarang memang banyak kalangan yang melontarkan pendapat lebih baik memilih hadis daripada pendapat ulama. Pendapat ini mungkin terkesan baik, tetapi sangat berbahaya jika tidak paham ilmu.

Untuk langsung melaksanakan hadis yang belum jelas kesahihannya, diperlukan tingkat kealiman dan pemahaman mendalam. Artinya, hadis-hadis yang bertebaran tidak boleh dimaknai hanya dengan terjemahan dari Arab ke Indonesia, melainkan diperlukan berbagai kajian keilmuan, terkhusus dalam ilmu fikih dan pemahaman ilmu keagamaan lainnya.

Tidak bisa seorang yang tampa landasan keilmuan dan kealiman mengklaim diri bisa ikut hadis Nabi. Sebagaimana disampaikan Adz-Dzahabi dalam tulisan itu bahwa, untuk melaksanakan apa yang ada di dalam hadis haruslah memiliki ilmu selevel Imam Syaf’I atau Imam Hanafi. Sedangkan hadis yang ingin dilaksanakan itu tidak boleh ada cacat sedikitpun. Wallahu a’lam.(*)

***

Sumber: Ustadz Ma’ruf Khozin
Editor: Muhammad Mihrob


Aktifkan NSP Tausiyah Ustadz Makruf Khozin "Dzikir Solusi Musibah"
Ketik DSMUA Kirim SMS ke 1212
Tarif: Rp. 9.900/bulan