Empat Serangkai Ulama Nusantara

 
Empat Serangkai Ulama Nusantara

LADUNI.ID, Jakarta - Gambar ini memperlihatnkan waliyullah dan ulama besar Indonesia yang menuntut ilmu agama di Mekkah, sedang mengkaji kitab, yaitu: Syekh Abdurrahman Mashri (Tanah Jawa), Syekh Abdul Wahab Bugis (Sulawesi), Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Kalimantan), Syekh Abdussamad Al-Palembani (Sumatera). Keempat ulama dan waliyullah ini adalah bukti peradaban Nusantara yang amat tinggi. Berikut ini penjelasan tentang empat serangkai ulama Nusantara.

Pertama, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812), merupakan seorang dai yang termasyhur dari daerah tersebut. Kala berusia 30 tahun, Arsyad menikah dengan Bajut, seorang perempuan lokal. Pasangan muda ini dikaruniai seorang anak perempuan. Sementara itu, keinginan Arsyad kian besar untuk belajar ke Tanah Suci. Sang istri pun mendukungnya. Pihak istana kemudian membiayai Arsyad untuk naik haji pada tahun 1739. Pada saat itu dia banyak belajar dari para syekh di Mekkah.

Kitab karya Syekh Muhammad Arsyad yang paling terkenal ialah Kitab Sabilal Muhtadin, atau selengkapnya adalah Kitab Sabilal Muhtadin lit-tafaqquh fi amriddin, yang artinya dalam terjemahan bebas adalah "Jalan bagi orang-orang yang mendapat petunjuk untuk mendalami urusan-urusan agama".

Syekh Muhammad Arsyad telah menulis untuk keperluan pengajaran serta pendidikan, beberapa kitab serta risalah lainnya, diantaranya ialah: kitab Ushuluddin yang biasa disebut “Kitab Sifat Duapuluh”, kitab Tuhfatur Raghibin, yaitu kitab yang membahas soal-soal itikad serta perbuatan yang sesat. Kemudian kitab Nuqtatul Ajlan, yaitu kitab tentang wanita serta tertib suami-isteri, serta Kitabul Fara-idl, semacam hukum-perdata.

Di Masjid al-Haram, dia belajar pada sejumlah guru besar. Mereka antara lain, Syekh Ahmad bin Abdul Mun’im ad-Damanhuri, Syekh Muhammad Murtadha bin Muhammad az-Zabidi, dan Syekh Hasan bin Ahmad al-Yamani. Syekh Muhammad Arsyad juga giat menulis. Beberapa karyanya membicarakan masalah-masalah fiqih mazhab Syafii dan tasawuf.

Kedua, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani (Sumatera). Abdus Samad Al-Palimbani dilahirkan pada 1116 H/1704 M di Palembang. Beliau mendapatakan pendidikan dasar dari ayahnya sendiri. Nama ayahnya adalah Syeikh Abdul Jalil. Kemudian ayahnya tersebut mengantarkan semua anaknya untuk mondok di Negeri Patani. Pada zaman itu negeri Patanilah yang dijadikan tempat untuk menimpa ilmu-ilmu keislaman sistem pondok yang lebih mendalam lagi.

Dia selalu mengingatkan akan bahaya kesesatan yang diakibatkan oleh aliran-aliran tarekat tersebut, khususnya tarekat Wujudiyah Mulhid yang terbukti telah membawa banyak kesesatan di Aceh. Untuk mencegah apa yang diperingatkannya itu, Syeikh Al-Palembani menulis intisari dua kitab karangan ulama dan ahli falsafah agung abad pertengahan, Imam Al-Ghazali, yaitu: kitab Lubab Ihya´ Ulumud Diin (Intisari Ihya´ Ulumud Diin) dan Bidayah Al-Hidayah (Awal Bagi Suatu Hidayah).

Ketiga, Syekh Abdurrahman Mashri (Tanah Jawa). Pada abad ke-18 dan 19 sudah banyak orang Betawi yang melakukan ibadah haji ke Mekkah. Jumlah jama’ah haji dari Betawi cukup besar jumlahnya di antara seluruh jama’ah haji yang datang dari Jawa.  Tidak sedikit di antara jama’ah haji itu yang akhirnya bermukim dan belajar bertahun-tahun di Makkah dan bahkan ada yang wafat di sana. Jama’ah haji yang bermukim di Makkah memakai nama famili yang mengacu kepada daerah asalnya, seperti Al-Minangkabawi (Minangkabau), Al-Singkili (Ningkel), Al-Jawi (Jawa), Al-Bantani (Banten) dan Al-Batawi (Betawi).

Sebelum kembali ke Betawi, karena merasa belum mendapat pengetahuan yang memadai, Abdurahman Al-Batawi bersama dengan Muhammad Arsyad dan Abdul Shamad meminta idzin kepada gurunya, ‘Atha’ Allah Al-Mashri untuk menambah pengetahuan di Kairo. Kendati menghargai niat baik mereka, ‘Atha’ Allah menyarankan agar mereka lebih baik kembali ke Nusantara sebab mereka sudah dianggap memiliki pengetahuan yang lebih dari cukup dan dapat mereka manfaatkan untuk mengajar di tanah air mereka.

Keempat, Syekh Abdul Wahab Bugis (Sulawesi). Abdul Wahab dilahirkan antara tahun 1725-1735 M, mengingat usianya yang lebih muda dibandingkan dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang dilahirkan pada tahun 1710 M. Abdul Wahab dikenal sebagai salah seorang dari tokoh “empat serangkai”, yakni Syekh Abdurrahman al-Misri, Syekh Abdus Samad al-Palimbani, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yang memiliki akhlak dan kepribadian sebagaimana akhlak dan kepribadian yang dimiliki oleh tokoh empat serangkai lainnya.

Menurut riwayat, selama di kota Madinah, “empat serangkai” juga belajar Ilmu Tasawuf kepada Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani, seorang ulama besar dan Wali Quthub di Madinah, sehingga akhirnya mereka berempat mendapat gelar dan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah Khalwatiyah.  Syekh Abdul Wahab dianggap sebagai tokoh penting dalam jaringan ulama Nusantara pada abad ke-18 dan ke-19 karena keterlibatannya secara sosial maupun intelektual dalam jaringan ulama tersebut. Ketokohannya diakui dan dapat dilihat dari gelar syekh yang beliau sandang.

Di samping Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari sebagai motor penggerak utama kegiatan dakwah Islam di Tanah Banjar, Abdul Wahab juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan Islam di Tanah Banjar, mengingat kedudukan dan figur Abdul Wahab sebagai seorang ulama yang dikenal alim dan sekian lama menuntut ilmu di Mesir dan daerah Timur Tengah.(*)

***

Sumber foto: Dokumentasi Perpustakaan Mekkah