Kiai Hilal, Ahli Tasawuf Pendiri PCNU Sukoharjo

 
Kiai Hilal, Ahli Tasawuf Pendiri PCNU Sukoharjo

LADUNI.ID, Jakarta - Tiap kali memperingati Hari Lahir Nahdlatul Ulama (Harlah-NU), termasuk pada Harlah ke-95 tahun ini. Biasanya kita banyak menemui gambar atau tulisan yang menceritakan sejarah lahirnya Nahdlatul Ulama, organisasi yang dibidani oleh tiga tokoh, yaitu Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Chasbullah, dan Kiai Bisri Syamsuri. Kelahiran organisasi persatuan ulama ahlussunnah wal jamaah ini diceritakan mendapat restu dari seorang ulama kharismatik, guru dari banyak ulama pada zamannya, termasuk guru dari tokoh sentral di atas, yaitu Kiai Cholil Bangkalan. Restu dari Kiai Cholil Bangkalan ini berupa pesan yang dibungkus dengan simbol berupa tasbih dan tongkat, yang dibawa atau dilantari oleh santri Kiai Cholil yang lain, yaitu Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo.

Cerita kelahiran NU ini tidak diragukan lagi, menjadi semacam pendorong semangat, serupa tenaga tambahan atau modal penting bagi semua pengurus NU dan Badan Otonom (Banom) di dalamnya, yang tersebar di tiap-tiap tingkatan di Indonesia, dari tingkat ranting, cabang, sampai dengan pusat. Selalu saja timbul perasaan bangga sekaligus haru, tiap kali mendengar atau membaca cerita-cerita perjuangan para pendiri ini. Apalagi belakangan ini muncul rekaman video Kiai As’ad di sosial media, waktu beliau menceritakan pengalamannya terlibat langsung dalam proses lahirnya organisasi yang menjadi simbol kebangkitan ulama pada tahun 1926 silam.

Namun seiring berjalannya waktu, ada sebagian pengurus NU, khususnya di daerah, yang merasa perlu untuk mengetahui sejarah perjalanan organisasi ini di lingkungannya masing-masing. Misalnya mereka akan merasa bangga jika kelahiran NU di daerahnya ternyata bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa penting, atau bersinggungan dengan tokoh-tokoh penting organisasi pada saat itu. Dari keinginan itulah, lalu sebagian pengurus mulai menggali informasi, menyusun catatan sejarahnya, menulis sejarahnya sendiri.

Sebagian upaya pencatatan sejarah itu sudah dimulai pengurus NU di berbagai daerah, termasuk yang diusahakan oleh Sahabat Ajie Najmuddin dari LTN-PCNU kota Surakarta. Usaha Ajie itu diwujudkan dalam sebuah buku, berjudul “Menyambut Satu Abad NU”. Berisi tentang informasi sejarah pembentukan sampai dengan pergerakan pengurus Pimpinan Cabang NU di Solo raya, dari sejak lahir sampai sekarang. Meski buku itu tidak tebal, tapi sudah cukup gamblang menjelaskan sejarah gerakan organisasi para ulama ahlussunnah wal jama’ah ini.

Ajie dalam bukunya mencatat sejarah pembentukan Pengurus Cabang NU (PCNU) dua kabupaten, yaitu Sukoharjo dan Klaten. Dari catatannya itu, ada satu nama tokoh yang disebut berulang-ulang, yaitu Kiai Hilal Tojayan dalam sejarah pergerakan PCNU Kabupaten Klaten, dan Kiai Ahmad Hilal, tokoh yang membidani lahirnya PCNU Kabupaten Sukoharjo. Tokoh yang namanya tidak asing bagi warga Nahdliyin di Kecamatan Kartasura, bagi jajaran Pengurus MWC Kartasura dan banom-banomnya, lebih khusus lagi bagi para murid pengamal tarekat Syadziliah di Kartasura.

Apa yang dimaksud Ajie Najmuddin dalam bukunya dengan Kiai Hilal Tojayan dan Kiai Ahmad Hilal, sebenarnya satu tokoh yang sama dengan sesepuh NU di daerah kami, yang dikenal sebagai mursyid Syadiliah dan penulis kasidah “Al-Hilaliyah”, kasidah yang kerap dibacakan pada acara-acara penting di kampung kami, Sedahrama Kartasura. Kami lebih mengenalnya dengan nama Mbah Hilal atau Kiai Walid Agus Hilal bin Kiai Ahmad Basrowi Sedahrama Kartasura. Sejarah Kiai Hilal melekat sekali dalam ingatan kami, sebab manakib atau sejarah perjalanan hidupnya dibacakan pada tiap haul peringatan hari wafat beliau.

Kiai Hilal dilahirkan di dukuh Tojayan, Desa Karang Duren, Kecamatan Kebonarum, Kabupaten Klaten pada tahun 1328 H/1910 M. Seperti tradisi pada masa itu, beliau memiliki dua nama, nama kecil adalah Ahmad Hilal, sedangkan di masa tuanya berganti nama dengan Walid Agus Hilal. Ahmad Hilal kecil belajar agama pada ayahnya sendiri, yaitu pada Kiai Ahmad Basrowi di dukuh Tojayan. Beliau belajar membaca al-Qur’an, belajar Fiqih, serta tata cara shalat pada ayahnya sampai khatam.

Setelah dianggap cukup mengaji kepada ayahnya, Ahmad Hilal kemudian melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren Singo Manjat Tempursari, Klaten, yang saat itu diasuh oleh Kiai Abdul Mu’id bin Muhammad Thohir. Di Pondok Tempursari, Ahmad Hilal belajar bersama banyak santri, yang sebagian di antaranya menjadi tokoh penting dalam penyebaran paham ahlussunnah wal jama’ah di wilayah Surakarta dan sekitarnya.

Para santri yang bersama-sama mengaji pada Kiai Abdul Muid saat itu di antaranya adalah, Kiai Mudatsir Jaten, Jimus, Polanharjo Klaten, Kiai Ahmad Shodiq bin Raji Musthofa Pasiraja, Purwokerto, Kiai Ali Syuhudi, Nalan Candirejo Ngawen Klaten, Kiai Nawawi Badean, Rogojampi Banyuwangi, Kiai Abu Su’ud Polanharjo Klaten, Kiai Muhammad Idris Kacangan Boyolali, Kiai Ahmad Shofawi, pendiri Ponpes Al Muayyad Mangkuyudan dan masjid Tegalsari Surakarta, dan Kiai Ma’ruf Mangunwijata bin Kiai Abdul Muid Jenengan Surakarta. Kepada Kiai Abdul Muid, Ahmad Hilal muda mengaji beberapa kitab, di antaranya dalam bidang fiqih adalah kitab “I’anah al-Thalibin”, di bidang tauhid kitab “al-Dasuqi”, di bidang tasawuf kitab “Ihya’ al-Ulumiddin”, serta di bidang tafsir kitab “Tafsir Jalalayn”. 

Setelah mesantren di Tempursari, selanjutnya Ahmad Hilal hijrah ke daerah asal leluhurnya, yaitu ke Purbalingga Banyumas. Di Purbalingga ia tinggal di rumah saudaranya, yaitu Kiai Taftazani. Setelah tinggal beberapa tahun di Banyumas, kemudian Ahmad Hilal memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Tojayan, Klaten. Tidak selang lama setelah kepulangannya dari Banyumas, kemudian atas saran ayahnya, Kiai Basrowi, ia dipanggil oleh Kiai Abdul Mu’id untuk menyertai putranya pergi berguru kepada Kiai Dimyati di pondok Tremas Pacitan, Jawa Timur. Di sinilah awal keakraban Ahmad Hilal dengan putra gurunya, Kiai Ma’ruf Mangunwijata. Di Tremas keduanya tinggal dalam satu kamar yang sama. 

Ayahnya, Kiai Basrowi adalah kawan akrab Kiai Manshur Popongan, dan Kiai Abdul Muid Tempursari. Kiai Manshur adalah putra Kiai Hadi Girikusumo, yang meneruskan estafet tugas sebagai mursyid tarekat Naqshabandiyyah Khalidiyyah dari ayahnya. Sedangkan Kiai Abdul Muid Tempursari adalah putra dari Kiai Muhammad Thohir, atau keponakan dari Kiai Idris Jamsaren, penerus kemursyidan tarekat syadziliah dari jalur Kiai Idris Jamsaren. Ibu Kiai Abdul Muid yang bernama Nyai Muhammad Thohir adalah kakak tertua Kiai Idris Jamsaren, sebagian dari putra putri Kiai Zahid bin Kiai Jayan Iman Al Haddad.

Dari kedekatan Kiai Ahmad Basrowi dengan Kiai Abdul Muid inilah, lalu Kiai Hilal muda diberangkatkan belajar ke pesantren Tremas Pacitan bersama Kiai Ma’ruf Mangunwijata bin Kiai Abdul Muid, untuk mesantren, berguru kepada Kiai Dimyati Tremas. Dalam manakib Kiai Hilal yang kami dengar, guru beliau Kiai Dimyati tidak menerima setoran ngaji Kiai Hilal. Dulu sistem mengajar ialah dengan metode “sorogan”,  yaitu seorang santri mengaji pada kiai dengan cara menghadap satu-persatu.

Nah, pada saat mengaji, Ahmad Hilal selalu ditempatkan dibarisan paling akhir. Lalu tiap kali tiba giliran Kiai Hilal, pengajian diakhiri, ditutup oleh Kiai Dimyati. Keadaan ini berlangsung cukup lama, sampai membuat Kiai Hilal tidak enak hati, takut kalau gurunya tidak senang, sehingga memutuskan untuk pamit boyong, pulang kembali ke rumah.

Sampai di rumah, Ahmad Hilal ditanya tentang alasan kepulangannya: “Kenapa pulang, apa sudah bisa mengaji?” Kiai Hilal hanya menjawab, bahwa di Tremas tidak pernah diajar mengaji, sebab tiap kali ‘sorogan’ tidak pernah diterima oleh Kiai Dimyati. Mendapat keterangan ini, kemudian Kiai Ahmad Basrowi segera mendatangi Kiai Abdul Muid Tempursari, mengadukan persoalan anaknya. Tidak menunggu waktu lama, Kiai Abdul Muid lalu kembali mengajak Kiai Hilal untuk berangkat ke Tremas.

Sampai di Tremas, Kiai Abdul Muid menghadap kepada Kiai Dimyati, lalu bertanya: “Kiai, mengapa santri saja tidak boleh mengaji?”. Kemudian Kiai Dimyathi menjawab dan balik bertanya: “Dia sudah bisa mengaji. Mengapa saya harus mengajarnya? Jika mau, dia bisa membantu mengajar di sini.” Akhirnya Ahmad Hilal diperintah oleh Kiai Dimyathi untuk mengajar ilmu alat atau gramatika bahas Arab, ilmu Nahwu dan Sharaf. Di Tremas Ahmad Hilal mengajar kitab Alfiyah.

Sejak itu, selain mengaji kepada Kiai Dimyati, Ahmad Hilal juga ikut membantu mengajar di pesantren Tremas. Sampai kemudian pada suatu hari ada utusan dari Kiai Dalhar datang meminta bantuan tenaga pengajar kepada Kiai Dimyati, untuk membantu mengajar di pesantren Watucongol Magelang. Sebagai santri yang dianggap mumpuni untuk memenuhi permintaan bantuan itu, Ahmad Hilal lalu diutus oleh Kiai Dimyati untuk mengajar di Watucongol.

Diceritakan di dalam manakib Kiai Hilal, perjalanan dari Tremas Pacitan menuju Watucongol Magelang ditempuh dengan menggunakan sepeda kayuh. Di Watucongol Kiai Hilal juga mengajar pelajaran yang sama, yaitu ilmu alat sebagaimana di Tremas. Yang menarik dan membedakan dengan guru madrasah lain, Ahmad Hilal yang berpostur tinggi dan besar itu, pada saat pertama kali datang ke Watucongol, tidak mengenakan sarung atau jarik batik yang lazim dikenakan oleh guru agama pada masa itu, tetapi Ahmad Hilal datang dengan bersepeda, mengenakan kemeja, celana vantolan dan bersepatu. Hal ini membuat santri heran, mengira Ahmad Hilal bukan datang sebagai guru, sampai kemudian Kiai Dalhar menjelaskan bahwa beliau yang akan membantu mengajar di pesantren.

Sebagian murid Kiai Hilal di Watucongol yang kemudian menjadi tokoh penting adalah Kiai Abut Thoyib, yang lalu menjadi menantunya, lalu Kiai Masyhudi, mursyid Syadiliah asal Prambon Madiun, dan Kiai Muhammad Ridwan, yang kemudian menjadi adik iparnya.

Setelah menempuh pendidikan dari Tremas dan Watocongol, Ahmad Hilal pulang untuk mengamalkan ilmuny. Sebelum benar-benar terjuan ke masyarakat, beliau dan kakaknya diberangkatkan haji oleh ayahnya terlebih dahulu. Sehingga sudah sejak belia Kiai Hilal sudah menyandang gelar haji. Setelah cukup matang dan sudah berkeluarga, ia mengabdikan diri sepenuhnya untuk mengajar dan aktif di dalam organisasi Nahdlatul Ulama, sebagaimana yang dilampahi oleh guru-gurunya.

Seperti tokoh atau kiai zaman lampau, selain menulis kitab, Kiai Hilal juga rajin menulis buku harian, sehingga kejadian-kejadian penting dalam hidupnya terekam dengan baik dalam catatan buku harian beliau. Naskah buku harian itu masih disimpan oleh salah seorang cucunya, yang bernama Arifin bin Agus bin Kiai Walid Agus Hilal, yang sampai sekarang menempati rumah peninggalan Kiai Ahmad Basrowi di Tojayan, Klaten.

Dari catatan Kiai Hilal, NU Sukoharjo baru terbentuk setelah diadakan rapat pada tanggal 22/23 Agustus 1954 di rumah H. Ahmad Saleh Sedahrama, Kartasura. Haji Ahmad Saleh adalah besan dari Kiai Hilal sendiri. Dalam catatan harian itu dijelaskan, bahwa Kiai Hilal sangat senang dengan terbentuknya PCNU Sukoharjo, sekaligus bersedih, sebab selang 1 atau 2 hari sebelum acara pertemuan itu, Hj. Siti Wardiah binti Haji Ahmad Saleh wafat. Hj. Siti Wardiah adalah isteri dari Kiai Shofwan Cholid bin H. Ahmad Saleh.

Saat itu, Nahdlatul Ulama masih menjadi salah satu partai politik yang bertarung dengan partai-partai lainnya. Dalam pertemuan tersebut disusun calon pengurus PCNU Sukoharjo, dengan susunan pengurus; Kiai Walid Agus Hilal sebagai Rais Syuriah merangkap Wakil Tanfidziyah, Bapak Dirjosuroto sebagai Ketua Tanfidziyah, Bapak Masjkuri sebagai Penulis (Sekretaris) dan Kiai Dasuki Tajib sebagai Bendahara. Nama-nama tersebut di atas bisa dikatakan sebagai pendiri Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sukoharjo.

Pembentukan Pengurus Cabang itu dihadiri para kiai dari Surakarta raya, termasuk Kiai Ma’ruf Mangunwijata dan yang lainnya. Dalam bukunya, Ajie Najmuddin juga menulis tentang Kiai Hilal dalam sejarah perjalan PCNU Kab. Klaten, daerah kelahirannya. Disebutkan dalam buku itu, bahwa Kiai Hilal juga merintis pembentukan ranting-ranting NU di wilayah Kabupaten Klaten.

Selain aktif di dalam mengurus organisasi Nahdlatul Ulama, Kiai Walid Agus Hilal juga aktif di dalam perkumpulan tarekat Syadziliah. Bersama dengan sahabat lamanya, Kiai Ma’ruf Mangunwijata bin Kiai Abdul Muid Tempursari, beliau aktif menyebarkan tarekat syadziliah di Surakarta dan sekitarnya. Kiai Ma’ruf adalah kiai pengajar di Madrasah Mambaul Ulum Surakarta, sekaligus mursyid syadziliah dari jalur ayahnya Kiai Abdul Muid. Kiai Abdul Muid bin Kiai Muh. Thohir meneruskan kemursyidan dari paman sekaligus gurunya, yakni Kiai Idris Jamsaren. Dari jalur yang sama, yakni dari Kiai Abdul Muid, Kiai Hilal berbaiat syadziliah.

Sebelum wafatnya, Kiai Abdul Muid pada tahun 1941 M, beliau membaiat empat orang muridnya, yaitu Kiai Muhammad Ma’ruf Mangunwijata, putranya sendiri, lalu Kiai Ahmad Hilal bin Ahmad Basrowi, Kiai Muhammad Idris bin Amir Hasan Kacangan Boyolali, dan yang terakhir adalah Kiai Ahmad Shodiq Pasiraja, Purwokerto. Selain kepada ayahnya, Kiai Hilal juga mendapat baiat mursyid sydziliah dari Kiai Ma’ruf Mangunwijata, sahabatnya.

Berikut silsilah tarekat Syadziliah Kiai Hilal yang ditulis dalam kitabnya yang berjudul “al-Du’a wal Awrad wal ‘Azimat”: Dari Syekh Muhammad Ma’ruf, Syekh Abdul Mu’id, Syekh Muhammad Idris Jamsaren, Syekh Muhammad Shalih, Syekh Sayyid Ali ibn Thahir, Syekh Alamah Mannatullah al-Azhar, Syekh Muhammad al-Bahiti, Syekh Yusuf al-Syabbasi, Syekh Ma’ruf as-Sakandari, Syekh Sayyid Muhammad al-Zurqani, Syekh Sayyid Ali al-Ujhuri, Syekh al-Alamah Nur al-Qarafi, Syekh al-Alamah Al-Midumi, Syekh Sayyid Abil Abbas al Mursi, Syekh Sayyid Abil Hassan as-Syadzili, Syekh Abdus Salam ibn Masyisy, Syekh Syarif Abdurrahman al-Hasani, Syekh Taqiyyudin al-Fuqair al Shufi, Syekh Fakhruddin, Syekh Nuruddin Abi al Hasan Ali, Syekh Muhammad Tajuddin, Syekh Muhammad Syamsuddin, Syekh Zainuddin al Qazwini, Syekh Ibrahim al-Bashri, Syekh Ahmad al-Marwani, Syekh Sa’ad, Syekh Abi Muhammad Fatkhus Su’udi, Syekh Said al-Ghazwani, Syekh Abi Muhammad Jabir, Syekh Sayyid Hasan bin Ali, Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, Sayyidina Muhammad Ibn Abdullah Saw.

Sebenarnya masih banyak riwayat tentang perjuangan Kiai Walid Agus Hilal untuk dituliskan. Setiap murid dan generasi memiliki kesan masing-masing tentang sosok Kiai Hilal sebagai guru, ulama, dan aktivis Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Hilal mempunyai dua isteri, isteri beliau yang pertama menetap di Tojayan Klaten, melahirkan dua orang puteri dan satu putera. Sedangkan isteri kedua menetap di Kartasura, menurunkan satu orang putera dan satu puteri.

Kiai Hilal wafat pada tahun 1966, setahun sebelum Kiai Ma’ruf sahabatnya wafat pada 1967. Kiai Hilal dimakamkan di pemakaman Hastana Kendal Sedahrama Kartasura Kabupaten Sukoharjo, daerah di mana PCNU Sukoharjo  lahir. Semoga dalam harlah NU ke- 95 ini, kita bisa melanjutkan perjuangan Kiai Hilal dan muassis lainnya, untuk membesarkan Nahdlatul Ulama di Kabupaten Sukoharjo. Aamiin.

*) Keterangan foto: Pengurus MWC NU dan Banom NU Kecamatan Kartasura, berziarah ke makam Kiai Hilal dan Masyayikh NU lainnya, di pemakaman Hastana Kendal Sedahrama Kartasura.(*)

***

Penulis: Bagus Sigit Setiawan, Bendahara MWC NU Kecamatan Kartasura.
Editor: Muhammad Mihrob