Tumpengan: Tradisi Petani untuk Merekatkan Ikatan Sosial

 
Tumpengan: Tradisi Petani untuk Merekatkan Ikatan Sosial

LADUNI.ID, Jakarta - Kata orang dulu, melaksanakan acara tasyakkuran berbentuk tumpengan bukan hanya merupakan bentuk rasa syukur kita terhadap apa yang telah diberikan oleh Allah SWT Yang Maha Kasih. Lebih dari itu, tumpengan juga merupakan tradisi yang menjadi sarana merekatkan kembali ikatan sosial yang sempat renggang.

Sudah biasa kita temui dalam masyarakat desa yang aktivitas kesehariannya bekerja di sawah atau kebun, sering mengalami gesekan-gesekan antarwarga masyarakat. Entah itu disebabkan oleh hal-hal remeh, seperti rebutan air untuk pengairan sawah, mengambil hak orang lain, dan berbagai persoalan yang kadang membikin ikatan sosial menjadi renggang.

Melalui adanya kegiatan tumpengan itulah, masyarakat desa mulai kembali dipersatukan dalam sebuah ritual ikatan sosial, makan bersama-sama dalam satu tempat, bertegur sapa dan ramah tamah lainnya.

Biasanya, acara tumpengan ini dilakukan tepat pada waktu panen raya. Sehingga dengan kondisi demikian, hal-hal negatif dapat berangsur hilang karena perasaan tenang dan bahagia saat sudah menuai hasil panen.

Pranata sosial semacam inilah yang banyak kita temui di dalam masyarakat, terutama masyarakat pedesaan yang kental dengan adat istiadat lokal. Dalam perspektif Gillin dan Gillin bahwa, salah satu karakteristik pranata sosial yakni adanya "nilai tertentu" yang berlaku dalam masyarakat dan diatur oleh kebiasaan, tata kelakuan, adat istiadat maupun hukum, (Agus Santoso, 2009: 5-6).

Dalam konteks tradisi tumpengan, merupakan suatu tradisi yang lahir dan dilaksanakan untuk mencapai suatu norma dan peraturan di dalam lingkungan sosial yang dicita-citakan, termasuk lingkungan sosial yang mempunyai ikatan kekeluargaan antarwarga masyarakat. Hal itu hanya bisa dicapai dengan pelaksanaan tradisi atau adat yang telah disepakati.

Kesepakatan mengenai suatu norma dan peraturan inilah yang nantinya bisa menyelesaikan segala persoalan horizontal semacam rengganggnya ikatan sosial itu tadi. Sebab, melalui kesepakatan inilah akan timbul saling kesatuan, persahabatan, rasa saling percaya yang muncul akibat tanggung jawab bersama, dan kepentingan bersama di antara para anggotanya. Inilah yang oleh Doyle Paul (1994) disebut dengan “solidaritas”.

Tradisi tumpengan jika dianalasis dengan teori solidaritas ini juga akan menemukan relevansinya. Doyle Paul mendefinisikan solidaritas sebagai suatu hubungan antara individu dan atau kelompok yang berdasar pada moral dan kepercayaan yang dianut bersama, serta pengalaman emosional bersama. Sehingga, tradisi tumpengan yang dijelaskan pada awal tulisan ini akan menjadi perangkat untuk kembali mengingat rasa emosional yang sama untuk meraih kepentingan bersama.

Segala perselisihan dan gesekan antar individu seperti royokan banyu (rebutan air), papras-paprasan galengan (mengambil hak orang lain), akan mencair dengan cara makan-makan bersama, bertegur sapa bersama, dalam sebuah tradisi yang disebut tumpengan. Sebab, di dalam tradisi itulah, meniscayakan adanya ikatan sosial yang kembali terbangun demi kepentingan bersama.

Barangkali itulah yang disebut dengan orang-orang dulu, para nenek moyang kita bahwa, tradisi tumpengan tidak hanya dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur akan kelimpahan panen yang telah kita tuai, akan tetapi juga untuk menciptakan kembali rasa kemesraan sosial dan menghilangkan sekat-sekat yang timbul akibat gesekan-gesekan yang tentu tidak diinginkan.(*)

***

Editor: Muhammad Mihrob