Kisah Bung Karno Saat Nyantri di Habib Ali Kwitang

 
Kisah Bung Karno Saat Nyantri di Habib Ali Kwitang

LADUNI.ID, Jakarta - Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi atau yang populer dengan panggilan Habib Ali Kwitang (1870–1968) adalah salah seorang ulama kharismatik yang sangat dihormati dan disegani. Beliau juga seorang penulis produktif, penceramah hebat, pendidik handal, tokoh dermawan, dan seorang sayyid atau syarif (keturunan Nabi Muhammad) yang sangat alim dan saleh. Beliau lahir di Jakarta dan wafat pada usia 98.

Ayahnya, populer dengan panggilan Habib Cikini, juga seorang pendakwah dan sarjana Islam mumpuni. Sementara ibunya adalah putri dari seorang kiai Betawi dari Kampung Melayu, Jakarta Timur. Habib Ali beserta keluarga dan keturunannya adalah pengikut madzhab Sunni-Syafi’i.

Habib Ali Kwitang adalah pendiri Islamic Center Indonesia dan Majelis Taklim Kwitang (pada 1911), sebuah forum untuk diskusi, mengajar dan ceramah mengenai masalah sosial-kemasyarakatan-keagamaan. Habib Ali juga mendirikan Rabithah Alawiyah pada 1928.

Selain membangun masjid, Habib Ali juga mendirikan sebuah madrasah Unwanul Falah. Murid-murid beliau tidak hanya dari Indonesia saja tetapi juga dari berbagai negara yang kelak mendirikan madrasah atau majelis taklim di masyarakat atau negara masing-masing.

Penting juga untuk diketahui di sini adalah beliau juga teman dekat sekaligus guru Sang Proklamator Bung Karno. Dengan kata lain Bung Karno ini adalah “auliya”-nya Habib Ali. Sebelum proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Bung Karno sempat tinggal dan nyantri di Habib Ali Kwitang selama 4 bulan atas usulan M. Husni Thamrin. Tujuannya adalah untuk menghindari ancaman Jepang dan juga Belanda.

Kalau Bung Karno tinggal di kediaman Habib Ali jelas aman karena Habib Ali adalah tokoh Muslim kharismatik yang sangat dihormati oleh lawan maupun kawan, termasuk Belanda. Pemerintah Belanda dulu pernah menganugerahi “Medali Kehormatan” kepada Habib Ali atas jasa-jasanya dalam mendamaikan kemarahan warga Periyangan. Selama tinggal di rumah Habib Ali, Bung Karno menghadiri berbagai aktivitas keagamaan dan keislaman yang diprakarsasi sang habib legendaris ini.

Bahkan uniknya, konon sebelum Soekarno bertemu Habib Ali Kwitang adalah orang yang tidak suka (anti) terhadap Tahlil dan Maulid Nabi Saw. Namun berkat didikan Habib Ali Kwitang itulah Bung Karno kembali menjadi santri, yang senang Tahlilan, Maulidan dan memakai sarung.

Habib Ali tidak sendirian. Ada banyak habib dan tokoh Arab dulu seperti Syaikh Salim bin Sumair, Habib Husain Alattas, Abdurrahman Baswedan dan Habib Hamid al-Qadri yang ikut berjuang bersama tokoh-tokoh Indonesia melawan penjajah (Belanda maupun Jepang), ikut merumusan dasar-dasar dan falsafah kenegaraan, serta ikut mendirikan NKRI.

Jadi NKRI ini juga hasil kerja keras dari perjuangan para tokoh Arab di Indonesia. Karena itu tidak heran jika ulama kharismatik Habib Luthfi Bin Yahya, misalnya, sangat patriotik dan nasionalis dan sangat mencintai Indonesia.

Yang mengherankan justru kalau ada habaib atau tokoh Arab ataupun “Arab KW” kontemporer yang tidak menghormati Bung Karno serta tidak mengindahkan konstitusi dan dasar-dasar negara, anti-Indonesia, dan seterusnya. Apalagi membenci para pejuang bangsa. Kelompok ini sama saja tidak menghargai perjuangan dan jerih payah kakek-nenek moyang mereka sendiri.(*)

***

*) Dimoderasi dari catatan Prof. Sumanto Al Qurtuby