Ketika Kiai Abdul Hamid Merasa Tidak Enak dengan Kemasyhurannya

 
Ketika Kiai Abdul Hamid Merasa Tidak Enak dengan Kemasyhurannya

LADUNI.ID, Jakarta - KH Abdul Hamid pernah berkata: “Saya ingin sekali seperti kiai Syarwani Abdan. Dia itu alim tapi Mastur (tertutup) tidak Masyhur (terkenal) kalau saya ini sudah terlanjur Masyhur, jadi saya ini sering kerepotan karena harus menemui banyak orang. Menjadi orang masyhur itu tidak lah  mudah, bebannya itu berat, kalau Kiai Syarwani itu enak, jadinya tidak banyak didatangi orang orang."

Kisah ini sangat terkenal bagi para murid dan jamaah dari KH Syarwani Abdan (Guru Bangil) sebuah foto kenangan tentang pertemuan 2 Wali agung yang saling mencintai. Beruntung… Masih ada pihak yang menjadi bagian dari sejarah foto ini yang bisa menceritakannya, yakni cerita ini didapat dari Mas Muhammad Baihaqi beliau adalah putra dari Haji Muhdor Maksum (Ampel Surabaya).

Haji Muhdor Maksum adalah tuan rumah tempat pertemuan bersejarah tersebut  sekaligus  juru potret fotonya. Mas Baihaqi bercerita yang didapat dari ayahnya, Haji Muhdor.

KH Syarwani Abdan kebiasaannya kalau Haul Kanjeng Sunan Ampel di bulan Sya'ban, maka beliau ziarahnya di pagi hari, sebelum acara puncak haul yaitu ba’da asar, sedangkan KH. Abdul Hamid datangnya sebelum waktu sholat asar.

Pada waktu itu KH. Abdul Hamid datang ke Masjid Ampel untuk menghadiri Haul Agung Kanjeng Sunan Ampel, dan beliau datangnya bertepatan dengan waktu orang-orang mau sholat asar dan rencananya  setelah itu mau hadir di makam Sunan Ampel.  Kenyataannya justru tidak bisa, karena sejak Kiai Hamid masuk wilayah Masjid Ampel, sudah banyak orang-orang berebut minta salaman karena ke masyhuran-nya, sehingga untuk menghindari orang-orang salaman, maka sama Kiai Hamid beliau buat sholat sunnah 2 rokaat, kalo ada yang mau salaman beliau sholat sunnah 2 rokaat lagi, sambil terus menunggu sholat asar dimulai.

Ketika sholat Asar dimulai dan jamaah pada mengisi shof-shof sholat, ketika itu Kiai Hamid bersiasat  bergegas keluar dari Masjid Ampel untuk pulang dan memutuskan tidak jadi menghadiri Haul Kanjeng Sunan Ampel.

Di dalam perjalanan beliau pulang dari masjid Ampel ke jalan Raya Ampel, mau menuju mobil, ketika itu  Haji Hasan (adik dari Haji Muhdor) berhasil salaman dan memberui tahukan ke Kiai Hamid bahwa Guru  Syarwani ada di rumah kakaknya (Haji Muhdor) yang dekat saja dari Ampel. Dan langsung seketika Kiai Hamid minta ke Haji Hasan agar diantarkan menemui Guru  Syarwani Bangil.

Pertemuan KH Abdul Hamid dan KH Syarwani Abdan

Masuklah KH. Abdul Hamid masuk ke rumah kakak dari Haji Hasan yakni Haji  Muhdor dengan diikuti beberapa ulama yaitu Al Hafizh KH Dahlan Peneleh, KH Abdurrahim bin KH Syadzily (kiai pendem) Malang, KH Busthomi bin KH Husnan Surabaya, dll.

Seketika itu Haji Muhdor segera memberitahukan ke Guru Syarwani bahwa sekarang ada Kiai Hamid di ruang tamu depan, maka langsung lah Guru  Syarwani Bangil bergegas menemui Kiai Hamid yang sedang menunggu beliau (KH. Syarwani).

Maka terjadilah pertemuan kedua ulama tersebut di  rumah Haji Muhdor. Saat itu Kiai Hamid dan Guru Syarwani Bangil mereka saling merangkul dan mencium tangan.

Momen-monen indah saat itu antara lain:

1. Kiai Hamid meminta agar Guru Syarwani bersedia bertukar selendang surban. Surban putih yang dipakai Guru Syarwani ditukar sama surban beliau Kiai Hamid, maka bertukarlah surban kedua ulama tersebut.
Surban bekas Guru Syarwani  oleh  kiai Hamid d pakai imamah di atas  kepala), dan sedangkan surban bekas Kiai  Hamid  oleh Guru Syarwani di selempangkan diletakkan  di pundak  leher. Setelah itu dibawa lah Kiai  Abdul Hamid dan Gurub Syarwani menuju ke dalam... ruang keluarga Haji Muhdor.

2. Setelah itu Kiai Abdul Hamid meminta siwak bekas yang baru saja dipakai Guru Syarwani bangil agar diberikan kepada beliau (KH. Hamid).

3. Kiai Hamid tidak mau minum kopi yang  baru, malahan justru  meminum bekas kopinya Guru Syarwani, setelah tahu kopinya diminum, Guru  Syarwani meminum kembali kopi yang  bekas diminum KH. Hamid.

Di saat perbincangan kedua wali tersebut, Haji Muhdor mengabadikan momen tersebut dengan difoto-foto, tapi alangkah terkejutnya kamera tidak bisa dipencet (seperti macet). Melihat Haji Muhdor  kebingungan, maka Kiai Hamid berkata, “kenapa? Apakah kameranya rusak ya? Dijawab sama Haji Muhdor, “iya macet kiai”.

Lalu Guru  Syarwani bilang ke Kiai Hamid buat kenang-kenangan foto, lalu beliau Kiai Hamid menyuruh Haji Muhdor untuk menyerahkan kamera agar bisa dipegang sama Kiai Hamid, lalu  sambil dipegang dan diputar-putar, kamera yang ada di tangan beliau Kiai Hamid. Setelah itu baru menyerahkan kembali kamera kepada Haji Muhdor. Dan Haji Muhdor  menyuruh keponakan nya untuk mencoba kembali foto dan ternyata kamera tidak macet lagi, lalu sambil berkata Kiai Hamid-nya: "gawe kenangan ya ..."

Ketika Kiai Hamid mau pamit pulang, maka guru Syarwani minta doa kepada kiai Hamid dan bilang kepada Haji Muhdor saudara dan keluarganya yang hadir di rumah itu, bahwa kiai Hamid ini waliyyullah, mendengar ucapan tersebut dibalas langsung sama Kiai Hamid bahwa, “yang Wali itu ya yang ada di  sampingku ini”, sambil menunjuk ke guru. Syarwani Abdan, jadinya minta doanya sama beliau aja (kiai Syarwani).

Karena kedua ulama ini saling tawadhu dan tidak mau berdoa. Akhirnya Haji Muhdor memberanikan diri  menengahi, dengan bilang kalau gitu bergantian saja yang mendoakan, kita-kita yang di sini ikut mengamini saja.

Akhirnya Mereka berdua bersedia berdoa bergantian.

Kemudian Kiai Hamid minta kalau ada pintu keluar yang lain, maka beliau maunya  keluar dari selain pintu masuk yang awal, maka  oleh Haji Muhdor, Kiai Hamid diantarkan keluar rumah bersama guru  Syarwani dari pintu belakang rumah sesuai permintaan kiai Hamid, karena di pintu depan sudah penuh orang-orang menunggu kiai Hamid keluar rumah hanya untuk sekedar bersalaman.

Di tengah perjalanan mengantarkan Kiai Abdul Hamid menuju mobil, beliau kiai Hamid   memberitahukan kepada Kiai. Busthomi bahwa  Guru Syarwani ini bagaikan “Rumah yang pagarnya terbuka lebar".

Maka Kiai Busthomi bertanya, apa maksudnya yai berkata itu? Maka Kiai Hamid menjawab kalau maqam atau derajatnya Guru Syarwani itu tinggi tetapi  tidak mau dikenal orang, tapi siap menerima tamu kapan saja.

Akhirnya  berpuluh tahun kemudian, ketika kedua wali besar ini telah wafat, terjadi ikatan kekerabatan (besanan) antara kedua wali ini. Yakni Cucunya Kiai Hamid (putranya Gus Nasih) menikahi cucunya Guru Syarwani (Putrinya guru Kasyful Anwar).

Semoga Allah menjadikan kita sebagai penerus, pengamal  ajaran ajaran Kiai Abdul Hamid Pasuruan dan Guru Syarwani Abdan Bangil.

 

(Shodiqul RN)