Pilih Qadariyah atau Jabariyah? Begini Penjelasan KH Buya Syakur Yasin

 
Pilih Qadariyah atau Jabariyah? Begini Penjelasan KH Buya Syakur Yasin

LADUNI.ID, Jakarta - “Apapun yang menimpa dirimu, baik yang terjadi di bumi ataupun yang terjadi pada dirimu sendiri, kecuali sudah ada catatannya sebelum kehidupan ini Kami gulirkan. Pena sudah habis tintanya, buku-buku sudah ditutup semuanya, semua persoalan sudah diselesaikan. Semua takaran-takaran sudah diatur. Katakanlah, tidak akan menimpa diri kami kecuali sudah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Apapun yang menimpa dirimu, tidak ada tujuan untuk mempersalahkan kamu. Dan apapun kesalahan yang engkau lakukan bukan sebagai musibah atas dirimu.”

Itulah petikan materi kajian yang disampaikan oleh KH Buya Syakur Yasin dan dijadikan dasar bagi pembahasan mengenai qada dan qadar. Mengenai hal ini, beberapa kelompok besar belum memiliki kesepakatan yang baku. Antara Muktazilah atau Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, Ahlussunnah wal Jamaah sampai sekarang masih tetap pada pendiriannya masing-masing.

Menurut Buya Syakur, karena kita baru lahir pada zaman akhir ini, kita memandang bahwa mereka semua hanya melihat sebuah persoalan di dalam pendirian tentang qada dan qadar itu. Sampai akhirnya, mereka saling bertengkar bahkan sampai saling bunuh hingga ribuah orang telah menjadi korban, padahal sebenarnya hanya persoalan perbedaan persepsi saja. Hanya karena beda sudut pandang, seseorang melihat sesuatu pasti tidak akan sama karena masing-masing melihat sudut pandang yang berbeda.

Dalam berdialog, menurut Buya Syakur, yang paling penting sebenarnya adalah bukan membangun argumentasi yang membenarkan pandangan kita sendiri, tetapi menggali bagaimana orang memiliki pandangan itu. Hal yang demikian ini nanti akan bermuara pada kesepahaman. Sebab, bagaimana pun juga sulit bagi kita melihat sesuatu jika hanya dari sudut pandang. Yang namanya muhitum bi kulli kafirin, muhiytum bi kulli syai', itu hanya Allah.

Nah, dalam konteks qada dan qadar ini, pemahamannya bahwa qada itu adalah sebagai planning sementara qadar adalah pelaksanaannya. Jadi, ada pelita, ada repelita, ada pelita. Kalau masih berencana, maka itu namanya rencana. Nanti pelitanya itu pelaksanaannya.

Oleh sebab itulah, sejak awal mestinya kita perlu memahami artinya bahwa, qada dan qadar itu kita harus runut dulu bahwa hidup yang kita jalani ini adalah panggung sandiwara. Seperti yang Allah firmankan sebagai berikut,

وَمَا هٰذِهِ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَهْوٌ وَّلَعِبٌۗ وَاِنَّ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ (٦٤)

Wamaa haadzihi alhayaatu alddunyaa illaa lahwun wala'ibun wa-inna alddaara al-aakhirata lahiya alhayawaanu law kaanuu ya'lamuuna

Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut [29] ayat 64).

Dari ayat inilah sebenarnya hidup di dunia ini adalah sandiwara. Ketika kehidupan sudah menjadi sandiwara, maka tentu dalam realitanya tidak mungkin semua orang yang bermain akan main dan mengambil peran masing-masing sesuai kehendaknya. Bukan begitu. Melainkan, perlu ada plot dulu, kemudian ada skenarionya, lalu dibikin sinopsisnya. Jika memang ada lakon, maka harus berapa bab, kemudian sang sutradara mencari pemain-pemain wataknya, sehingga dapat dipelajari karakteristik yang seperti apa, perannya apa, dan sebagainya.

Tidak mungkin orang naik ke panggung ingin menjadi raja semua. Maka itulah, kita hadir di bumi itu adalah plot dari Allah subhanahu wa ta’ala semuanya, kita tinggal melaksanakan. Jadi artinya, sebelum ini terjadi, sudah ada program terlebih dahulu. Jadi sudah diinstal oleh kita nanti berjalan seperti apa.

Sekarang, yang jadi masalah adalah ketika kita beragama, maka di situ Allah memberikan perintah dan larangan kepada kita. Kalau kita melaksanakan perintah Allah, maka Allah kasih bayaran berupa pahala. Kalau kita meninggalkan larangan Allah, maka Allah juga kasih bayaran. Begitupun kalau kita meninggalkan perintah Allah, maka kita dapat dosa. Dan, jika kita melaksanakan larangan, maka akan mendapat dosa juga.

Namun demikian, ketika itu semua sudah ditentukan dan ditetapkan, maka apalah arti perintah dari Allah itu. Ini yang jadi persoalan diangkat sejak awal mula oleh kaum Mu’tazilah. Menurut kaum Muktazilah, tidak mungkin qada dan qadar itu ada, sebab nanti bertentangan dengan kehadiran Tuhan. Jika orang sudah ditentukan menjadi orang jahat, maka bagaimana mungkin menjadi orang baik. Inilah yang menjadi landasan pemikiran dari kaum Mu’tazilah bahwa, sekali Allah menciptakan manusia maka Allah harus memberikan kebebasan sebebas-bebasnya untuk memilih.

Sementara itu, kelompok Jabariyah menilai bahwa semuanya sudah ditentukan, bahkan sampai hal yang paling kecil pun sudah ditentukan. Misalnya, daun jatuh itu sudah tercatat jam berapa, menit keberapa, detik ke berapa dan sebagainya.

Sehingga seseorang memiliih akidah dalam hal qada dan qadar ini akan ada kecenderungan psikologis. Kalau orang usahanya selalu berhasil, itu lebih memilih Muktazilah, tapi kalau bangkrut terus maka lebih memilih Jabariyah. “Tapi, kalu kadang berhasil kadang bangkrut lebih memilih NU,” canda Buya Syakur Yasin.

Namun demikian, menurut Buya Syakur, terserah akan memilih akidah yang mana. Beliau pun tidak merekomendasikan apakah harus memilih Jabariyah atau memilih Qadariyah atau Muktazilah. Yang jelas, hingga saat ini, kita tidak berani mengkafirkan atau memurtadkan Muktazilah karena mereka juga orang Islam.