Jaringan Intertekstualitas Islam Nusantara Bugis dan Jawa

 
Jaringan Intertekstualitas Islam Nusantara Bugis dan Jawa

LADUNI.ID, Jakarta - Nusantara adalah tanda sebuah peradaban yang sangat besar. Pada peradaban itulah segala perkembangan kebudayaan tercatat. Begitupun dalam segi ilmu pengetahuan dan keagamaan yang berkembang, yang kemudian membentuk sebuah jaringan naskah intertekstualitas keilmuan yang begitu luas.

Baca juga: Kiai Bagus Sarodin Sudah Menulis Islam Nusantara Sejak Era 1820-an

Segala suku-bangsa pada masa ke-Nusantara-an benar-benar terakumulasi ke dalam sebuah wadah bernama bumi Nusantara. Peradaban Jawa, Sunda, Melayu, Batak, Bugis dan berbagai bangsa membentuk jaringan peradaban intertekstualitas yang kaya.

Hal ini tercatat dalam sebuah tulisan yang diunggah oleh Ahmad Baso tentang bagaimana jaringan intertekstualitas Islam ke-Nusantara-an terbentuk antara Jawa dan Bugis. Ya, kedua bangsa itu telah mencatatkan relasi yang amat kuat dalam segi intertekstualitas.

Baca juga: Model Dakwah Kebudayaan Sunan Kalijaga dalam Syiar Islam Nusantara

Catatan itu terekam salah satunya dalam sebuah naskah bernama La Galigo, sebuah naskah yang dikoleksi Leiden dengan kode NB 188 vol 7 halaman 143. Naskah ini memberi bukti akan keluasan jaringan intertekstualitas Islam Nusantara yang dibangun dari jejaring dunia tradisi Bugis dan Jawa, yang dikenal dengan istilah, "makkedda Ugi, makkedda Jawa", yang berarti “bertutur Bugis, bertutur Jawa“.

Naskah ini juga mengingatkan kita bahwa dunia Bugis dan Jawa adalah dunia heteroglosia, yakni komunitas penutur  jamak bahasa; jamak bahasa bahasa berarti jamak ilmu dan pengetahuan dalam lintas jejaring peradaban Nusantara. Dalam bahasa antara Jawa dan Bugis tersimpan relasi kebahasan yang memperkuat intelektulitas tentang Islam Nusantara.

Baca juga: Politik Maslahat dalam Sejarah Peradaban Islam Nusantara

Karena itu, masuk akal mengapa Syekh Jumadil Kubro masuk ke Tanah Bugis di Tosora abad 14; utusan murid-murid Sunan Bonang masuk ke Makassar tahun 1570-an; dan Sunan Giri ke-2 mengirim santrinya ke Bugis Makassar dalam masa 1550-1600. Semuanya  melanjutkan misi  Sawerigading dalam La Galigo: "makkedda Ugi, makkedda Jawa".

Oleh sebab itulah, ngaji dan mengkaji naskah-naskah Wali Songo tidak akan lengkap tanpa ngaji syarahnya di Bugis-Makassar. Kemudian, ngaji dan mengkaji tentang naskah-naskah hebat Bugis-Makassar juga gak akan sempurna tanpa ngaji babonnya Islam Nusantara di Jawa.

Baca juga: Visi Dunia Maritim ke-Nusantara-an dari Ibnu al-Mujawir

Begitulah geniusnya Islam Nusantara: masing-masing kekuatan komunitas suku di Nusantara dimobilisasi untuk berjejaring membangun peradaban baru untuk Islam ini, yakni untuk Islam rahmatan lil-alamin… bukan sukuisme, bukan pula sektarianisme atau primordialisme suku suku. Semuanya malah berhimpun menjadi barakah "angajawi", solid ber-Nusantara.

Dengan demikian, perwujudan Islam Nusantara sebagaimana rekaman intertekstulitas karya-karya ulama terdahulu di Nusantara perlu terus dikaji dikobarkan semangat kekaryaannya. Berkaca pada penyampaian Ahmad Baso tentang jaringan intertekstualitas Islam Nusantara antara Bugis dan Jawa sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini, menandakan bahwa peradaban kita akan tetap tinggi karena nafas Islam dan lokalitas menjadi satu semangat dalam karya Islam Nusantara yang saling menghidupkan.

Wallahu a’lam bisshawab…