Biografi KH. Mahfudz Ridwan

 
Biografi KH. Mahfudz Ridwan

Daftar Isi Biografi KH. Mahfudz Ridwan

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Guru-guru
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.    Teladan
5.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir

KH. Mahfudz Ridwan atau akrab disapa Kyai Mahfudz, lahir di Salatiga pada 10 Oktober 1941. Beliau merupakan putra pertama dari lima bersaudara, dari pasangan KH. Ridwan dan Hj. Maemunah.
Kyai Mahfudz dikenal sebagai perintis Pondok Pesantren Edi Mancoro di Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Mahfudz menikah dengan Hj Nafisah asal Desa Gedangan, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Dari pernikahan beliau dengan Hj Nafisah, beliau dikaruniai tiga putra dan satu putri:

  1. Ir. Khamud Wibisono (Gus Wibi),
  2. Dr. Muna Erawati (Ning Muna),
  3. Sauqi Prayogo, S. T. (Gus Uqi),
  4. Muhamad Hanif, M. Hum (Gus Hanif).

1.3 Wafat
KH. Mahfudz wafat pada hari Ahad, tanggal 28 Mei 2017. Jenazah beliau di makamkan di pemakaman keluarga di Desa Gedangan Kecamatan Tuntang, Kab. Semarang, Jawa Tengah.
Sepeninggal dari KH. Mahfud Ridwan, semua urusan kepesantrenan diberikan kepada Gus Muhamad Hanif, M. Hum putra bungsu beliau.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
KH. Mahfudz Ridwan merupakan salah satu tokoh yang dilahirkan di Salatiga. sejak belajar di pesantren, beliau ditempa di Pondok Pesantren Watucongol, Magelang yang saat itu diasuh oleh KH. Nahrowi Dalhar (Mbah Dalhar). Mbah Dalhar merupakan sosok kiai yang akrab dengan Nabi Khidir dan melakukan riyadhah secara khusus untuk mendoakan para santri dan keturunannya. Terbukti, keturunan dan para santri yang pernah ditempa beliau kelak menjadi Ulama’ dan Waliyullah terkemuka di daerahnya. Mata air makrifat yang didapat beliau di Mekkah, setetes demi setetes beliau bagikan kepada para santri dan keturunan beliau.

Selama di pesantren Mbah Dalhar inilah, KH. Mahfud Ridwan benar-benar mengabdi dan menerima tempaan spiritual di bawah tangan Mbah Dalhar. Ia menyaksikan sendiri bagaimana mutiara makrifat yang dipertontonkan oleh Mbah Dalhar. Salah kesaksiannya, sebagaimana dijelaskan, KH. Mahfud Ridwan pernah disuruh mengambil makanan di dapurnya saat tengah malam dan ternyata tidak ada makanan di dapurnya.

Kyai Mahfud kemudian disuruh untuk duduk dan menunggu di depan rumah Mbah Dalhar dan datanglah seorang tidak dikenal dengan membawa nasi ambengan (berkat) dan diletakkan tepat di depan tempat duduk Kyai Mahfud. Peristiwa ini membuat kiai Mahfudz bertanya-tanya karena pada malam itu para tetangga tidak ada yang melaksanakan hajatan.

Selama berada di Indonesia, KH. Mahfud Ridwan juga berguru kepada KH. Bisri Mustofa, Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin, Leteh, Rembang. Di pesantren ini KH. Mahfud mendapatkan ilmu agama yang cukup mumpuni serta segala sikap beliau diilhami oleh gurunya menjadi sosok manusia yang egaliter dalam mengayomi masyarakat dan para santrinya. Proses pembentukan sikap “ngemong” yang ditunjukkan Kyai Mahfudz kepada setiap orang yang berada bersamanya diaplikasikan kepada teman santri, mahasiswa, teman seperjuangan, para akivis buronan pemerintah, bahkan terhadap orang-orang non Islam. Dari pesantren ini, KH. Bisri Musthofa merekomendasikan kepada KH. Ridwan, abahnya KH. Mahfud, agar segera mengirimkan untuk menuntut ilmu di Mekkah.

Bersama dengan Kyai Mushtofa Bisri, KH. Mahfud menimba ilmu di Mekkah kepada Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani. Kesederhanaan sang guru telah menginpirasi seluruh pelajar Indonesia, termasuk KH. Mahfud untuk memilih Syeikh Yasin untuk menjadikannya guru dan mursyidnya. Inilah salah satu penggemblengan terhadap KH. Mahfud selama menimba ilmu di Mekkah.

Kota Mekkah merupakan salah satu penggemblengan diri para ulama terdahulu dan tidak boleh dilewati begitu saja. Termasuk dalam hal ini kesempatan KH. Mahfud dalam menuntut ilmu dan menggembleng dirinya di Mekkah meski hanya tiga tahun tetapi ia sangat sungguh-sungguh dalam proses ini. Bahkan, selama di Mekkah, KH. Mahfud pernah melakukan puasa selama 70 puluh hari dengan hanya berbuka air zam-zam.

Kedekatan beliau dengan Gusdur dan Gusmus mulai semakin intim ketika sama mengenyam pendidikan di Bagdad. Bahkan, di antara teman-teman mahasiswa Gusdur lainnya, Kyai Mahfud adalah sosok yang paling mahir dalam mengelola keuangan. Dari saking percayanya, Gusdur mempercayakan keuangan pribadinya kepada kiai Mahfud. Dari keakrabannya dengan sosok Gusdur, Kyai Mahfud diajak untuk mendiami rumah kontrakan bersama dengan Gusdur. Relasi intim ini membuat diri beliau begitu dekat dengan keluarga cucu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

2.1 Guru-guru

  1. KH. Ridwan (Ayah KH. Mahfudz)
  2. Hj. Maemunah (Ibu KH. Mahfudz)
  3. KH. Dalhar Watucongol
  4. KH. Bisri Mustofa, Leteh, Rembang
  5. Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al-Fadani.
  6. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Pada 26 Desember 1989, KH. Mahfud Ridwan mendirikan pesantren yang lebih akrab disebut Pondok Pesantren Edi Mancoro dibawah “Yayasan Desaku Maju” sebagai pusat pendidikan masyarakat khususnya bagi masyarakat setempat sekaligus sebagai basecamp berbagai kegiatan.

Sejak saat itu keadaan pesantren terus berkembang. Yayasan ini pun dikenal luas di Salatiga, Kabupaten Semarang, dan sekitarnya. Program-programnya telah berhasil membuat perubahan yang sangat signifikan, khususnya memecahkan permasalahan antar umat beragama. Kemudian, karakter pesantren yang pluralis dan terbuka untuk siapa saja termasuk untuk orang non Islam membawa nama pesantren ini sangat terkenal hingga luar negeri. Bahkan banyak kunjungan dari berbagai negara hingga saat ini.

Pada akhir tahun 2007, nama Pondok Pesantren Edi Mancoro telah resmi menggantikan nama Wisma Santri Edi Mancoro dengan tetap menjaga prinsip pluralisme dan keterbukaan dengan umat non Muslim sebagai bentuk terciptanya konsep Islam Rahmatan lil’alamin.

Sebelum menjadi dosen di Fakultas Tarbiyah STAIN Walisongo Semarang Cabang Salatiga, KH. Mahfudz sempat menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Semarang (Fraksi PPP).

Sejak tahun 1980-an beliau mulai intens berkiprah di berbagai kegiatan sosial, antara lain
LSM Desaku Maju, Forum Gedangan, dan Forum Lintas Iman Sobat. Kelompok Qoriyah Toyyibah Kalibening termasuk salah satu yang mendapat binaan dari LSM Desaku Maju.
Amanah sebagai Rektor Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta dan salah satu Mustasyar PBNU (periode 2015-2020) mewarnai catatan sejarah hidup beliau.

4. Teladan
Teladan yang bisa diikuti dari sosok KH. Mahfudz adalah dengan memperlakukan semua orang sama, tidak pernah membedakan antara rakyat kecil, kalangan menengah ataupun atas. Bahkan, beliau akrab dengan banyak komunitas dari berbagai keyakinan. Beliau pun turut terjun memberikan advokasi kepada masyarakat sekitar Waduk Kedungombo, yang pada awal pembangunannya cukup menyita perhatian publik waktu itu.
Semoga apa yang beliau kerjakan menjadi amal baik yang tak akan pernah terputus dan Allah senantiasa mencurahkan Rahmat-Nya kepada beliau.

5. Referensi
Sumber: https://www.edimancoro.or.id/category/muassis/ dan Akhmad Saefudin SS ME, (Penulis Buku 17 Ulama Banyumas)  

Ahmad Faidi, Jejak Ma’rifat KH Mahfud Ridwan. The Mahfud Ridwan Institute

 

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya