Biografi KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA, Pengasuh Pesantren Al Munadhoroh, Kediri

 
Biografi KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA, Pengasuh Pesantren Al Munadhoroh, Kediri
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Kehidupan Rumah Tangga
3.2  Aktif di Organisasi

4.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA lahir pada hari Jum’at Wage malam 29 Ramadhan 1337 H atau bertepatan pada 20 Oktober 1918 M. Beliau merupakan putra ke tujuh dari sembilan bersaudara, dari pasangan KH. Muhammad Ma’roef RA (pendiri Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadharah) dengan Nyai Hasanah (putri Kyai Sholeh Banjar, Melati Kediri). KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA lahir di lingkungan pesantren yang luas namun sepi hal ini dikarenakan jumlah santri yang tak pernah lebih dari empat puluh orang.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Abdul Madjid Ma'roef QS RA semakin tampak dewasa dan matang terlebih di usia yang ke 27 beliau hampir menguasai seluruh ilmu ayahnya (KH. Mohammad Ma'roef). Banyak gadis yang mengidamkan beliau karena disamping beliau dikenal sebagai putra kyai yang mashyur dan makbul doanya, beliau adalah sosok pemuda alim berwajah tampan.

Namun dari sekian banyak gadis yang ditawarkan kepada beliau, akhirnya KH. Abdul Madjid Ma'roef QS RA menjatuhkan pilihannya kepada gadis bernama Nyai Shofiyah yang baru berusia 16 tahun putri dari Moh. Hamzah dengan Umi Kulsum, buyut KH. Mansyur pendiri kota Tulungagung yang mendapat tanah perdikan dari Sri Sultan Hamengkubuwono II karena telah berhasil mengeringkan sumber Tulung Agung dan kini menjadi alun-alun kota Tulung Agung.

Nyai Shofiyah merupakan putri ke tujuh dari dua belas bersaudara. Pernikahan antara Kyai Abdul Madjid dengan Nyai Shofiyah dikaruniai empat belas anak, yaitu :

  1. Unsiyati (Almh) meninggal pada usia empat bulan,
  2. Nurul Ismah,
  3. Khurriyatul Abadiyah (Almh) meninggal pada usia limabelas bulan,
  4. Tatik Farikhah,,
  5. Abdul Latif Madjid
  6. Abdul Hamid,
  7. Fauziyah (Almh) meninggal pada usiatujuh bulan,
  8. Djauharotul Maknunah,
  9. Istiqomah,
  10. Muhammad Hasyim Asy’ari (Alm) meninggal pada usia tujuh belas bulan,
  11. Tutik Indiyah,
  12. Ahmad Syafi Wahidi Sunaryo,
  13. Husnatun Nihayah,
  14. Zaidatun Inayah.

1.3 Wafat
Pada saat Mujahadah Kubro di bulan Rojab tahun 1989 kondisi KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA kurang sehat. kontan saja Mujahadah Kubro dalam rangka memperingati peristiwa Isro’ Mi’roj Nabi Muhammad SAW menjadi lain dari biasanya. Apalagi pada malam pertama, kedua dan ketiga Mbah Yai tidak hadir secara langsung ketempat acara untuk menyampaikan fatwa dan amanat.

Syukur alhamdulillah, karena kasih sayang Mbah Yai kepada para pengamal, beliau berkenan menyampaikan fatwa terakhir di malam terakhir pelaksanaan mujahadah kubro meski dari kamar dalem tengah. Pada kesempatan tersebut beliau meng-ijasahkan Shalawat Wahidiyah kepada seluruh hadirin untuk diamalkan dan disiarkan dengan kalimat, "ajaztukum bihadzihis shalawatil wahidiyyati fil amali wan nasyri".

Setelah itu kondisi kesehatan beliau semakin menurun, walau demikian beliau masih juga berkenan mengisi pengajian. Begitulah beliau Mbah Yai QS wa RA, di saat-saat akhir hayatnya beliau masih membimbing dan mentarbiyah pengikutnya.

Dan akhirnya Pada hari Selasa Wage tanggal 7 Maret 1989 atau 19 Rojab 1409 jam 10.30 WIB, KH. Abdul Madjid Ma'roef berpulang ke Rahmatullah.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Di usia 2 tahun beliau sudah pergi Haji ke Makkah bersama Bapak dan Ibunya, pada saat di Makkah setiap memasuki jam dua belas malam Kyai Ma’roef selalu menggendong anaknya ke Baitulloh dibawah Talang Mas. Di sana Kyai Ma’roef berdoa agar anaknya ini kelak menjadi orang besar yang shaleh hatinya. Begitu juga di tempat-tempat mustajabah lainnya Kyai Ma’roef selalu mendoakan anaknya agar menjadi orang yang shaleh.

KH. Abdul Madjid Ma'roef pun di khitan disana (Makkah), saat disana KH. Abdul Madjid Ma'roef ingin dijadikan anak angkat/di asuh oleh seorang Ulama Arab sang ayah pun menyetujuinya tetapi ibunya (Nyai Hasanah) keberatan jika anaknya diangkat/di asuh orang lain.

Sepulang dari Makkah muncul kebiasaan unik pada diri KH. Abdul Madjid Ma'roef kecil, beliau yang pada waktu itu masih dalam usia tiga tahun, hampir di setiap kesempatan berkata, “Qul dawuha siro Muhammad” sambil meletakkan kedua tangannya diatas kepala. Kebiasaan semacam itu terus berlangsung hingga beliau memasuki usia tujuh tahun.

Kebiasaan lain beliau semasa kanak-kanak adalah suka menyendiri, kurang suka bergaul dan sangat pendiam, beliau hanya mau bermain dengan mbak Ayunya ( Nyai Romlah) dan mbak Ayunya ini pulalah yang mengajari beliau baca tulis Al-Qur’an untuk pertama kali.

Walaupun secara lahiriyah KH. Abdul Madjid Ma'roef tidak tampak istimewa dibanding dengan Gus Malik adiknya yang pandai dan sering menampakkan kekeramatannya. Dan Gus Malik pula yang bertindak sebagai wakil ayahnya apabila Kyai Ma’roef tidak ada atau sedang berhalangan, hingga tidak sedikit yang menyangka bahwa Gus Malik lah calon penerus Kyai Ma’roef.

Akan tetapi pada hakikatnya, Kyai Ma’roef telah mempersiapkan KH. Abdul Madjid Ma'roef sebagai pengganti sejak beliau baru di lahirkan. Terbukti, meski masih berusia dua tahun, ayahnya telah membawa pergi haji. Padahal kita semua tahu bagaimana kondisi transportasi dan akomodasi jamaah haji di tahun 1920-an. Sungguh sulit, penuh rintangan dan melelahkan belum lagi kondisi cuaca alam tanah Arab yang berbeda jauh dari kondisi di Indonesia, dan itu ditempuh berbulan-bulan lamanya.

Bukti lain bahwa beliau dipersiapkan sebagai calon pengganti ayahnya, adalah setiap mendekati bulan haji. Kyai Ma’roef selalu kedatangan tamu dari kalangan Sayyid dan Sayyidah dari jazirah Arab. Saat itulah, sambil menggendong KH. Abdul Madjid Ma'roef, Nyai Hasanah berkata kepada tamunya, "Niki ndoro Sayyid yugo kulo njenengan suwuk, dados tiyang ingkang sholeh atine." (ini tuan Sayyid, doakan anak saya agar menjadi orang yang sholeh hatinya).

Pernah suatu hari datang seorang Habib hendak bersilahturrahmi dengan Kyai Ma’roef. Karena Kyai Ma’roef tidak ada, Habib tersebut meminta agar dipanggilkan KH. Abdul Madjid Ma'roef katanya mau didoakan. Karena Agus Madjid sedang bermain dan belum mandi, maka abdi dalem membawa Gus Malik yang sudah rapi untuk menemui tamu tersebut. "Wah, ini bukan Agus Madjid, tolong bawa Abdul Madjid kemari!" kata si habib kepada abdi dalem.

Sifat pendiam dan tidak suka memamerkan keistimewaan yang dimiliki terus dibawa beliau hingga memasuki usia remaja. Karena sifat pendiam beliau inilah hingga tidak ada yang tahu keistimewaan-keistimewaan beliau di masa kanak-kanak dan remajanya.

Memasuki usia sekolah, beliau sekolah di Madrasah Ibtida’iyah namun hanya sampai kelas dua. Selanjutnya bapaknya (Kyai Ma’roef) mengantar beliau mondok ke Pondok Jamsaren Solo pada Kyai Abu Amar. Genap tujuh hari di Jamsaren. Beliau dipanggil gurunya disuruh kembali ke Kedunglo “Wis Gus panjenengan kondur!”, sambil dititipi surat agar disampaikan kepada ayahnya. Beliau menuruti perintah Kyai Abu Amar meski dengan pikiran penuh tanda tanya kembali ke Kediri. Setiba di rumah, ternyata ayahnya yang mengantarkan beliau mondok masih belum kembali sementara yang diantarkan sudah kembali.

Terdorong akan jiwa muda yang ingin menimba ilmu pengetahuan. Beliau kemudian mondok ke Pondok Mojosari Loceret Nganjuk. Namun setelah hari ke tujuh beliau dipanggil Kyai Zainudin gurunya. “Gus sampeyan sampun cukup, mboten usah mondok kundor mawon, wonten dalem kemawon”. (Gus anda sudah cukup, tidak usah mondok pulang saja, di rumah saja).

Beliau pun kembali pulang ke Kediri dan matur kepada ayahnya kalau gurunya tidak bersedia memberinya pelajaran. “Wis kowe tak wulang dewe, sak wulan podho karo sewu wulan”. (Kalau begitu kamu saya ajari sendiri, satu bulan sama dengan seribu bulan). Ujar Kyai Ma’roef.

Maka setelah empat belas hari mondok di Pondok Jamsaren dan Pondok Mojosari, guru beliau adalah ayahnya sendiri Kyai Ma’roef yang telah mewarisi ilmu Kyai Kholil dari Bangkalan. Oleh ayahnya setiap selesai shalat Maghrib beliau diajari aneka macam ilmu yang diajarkan dipondok pesantren maupun ilmu yang tidak diajarkan di pondok pesantren. Sehingga Kyai Ma’roef pernah berkata kepada adik Gus Madjid “Madjid itu tidak kalah dengan anak pondokan”.

Tidak heran kalau pada akhirnya beliau tumbuh sebagai pemuda yang sangat alim dan wara’. Ibarat padi semakin tinggi ilmunya beliau semakin tawadhu dan pendiam sehingga siapapun tidak pernah menyangka kalau di balik kediamannya tersimpan segudang ilmu pengetahuan dan sejuta keistimewaan. Tapi, itulah keistimewaan beliau yang tidak pernah menunjukkan keistimewaan dan karomah-karomahnya kepada sesamanya.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Muhammad Ma’roef RA (Ayah)
  2. Nyai Hasanah (Ibu)
  3. Nyai Romlah (Kakak)
  4. KH. Abu AmarPondok Jamsaren Solo,
  5. Kyai ZainuddinPondok Mojosari Loceret Nganjuk.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah
Beliau mempunyai kepribadian yang sangat luar biasa, akhlak KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA adalah biakhlaqi Rasulillah. Bentuk fisik beliau Berbadan sedang dengan warna kulit putih bersih. Berhidung mancung agak tumpul dan berbibir bagus agak lebar dengan garis bibir tidak jelas yang menunjukkan bahwa beliau mempunyai tingkat kesabaran yang luar biasa.

Matanya cekung dengan kelopak dan pelipis mata ke dalam hal ini mengisaratkan bahwa beliau seorang yang mempunyai pemikiran yang tajam dan dalam. Di antara kedua matanya terdapat urat halus dan lurus sebagai pertanda beliau Mbah Yahi Madjid mempunyai otak briliyan. Tangannya halus dan lembut selembut hatinya yang pemaaf.

Kalau berjalan beliau melangkah dengan pelan tapi pasti dengan sorot mata mengarah kebawah. Terkadang beliau juga menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat situasi dan keadaan jamaah atau sekitarnya. Kalau bicara tenang dan santai disertai senyum, beliau juga sering melontarkan kalimat-kalimat canda yang membuat beliau dan tamunya tertawa.

Beliau juga bebicara dengan jawami’ kalam, artinya kata-kata yang dituturkannya mengandung makna yang banyak, karena beliau mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan ringkas dan padat. Beliau juga mampu memberikan makna yang banyak dalam satu ucapan yang dituturkannya. Beliau juga mengucapkan kata-kata dengan jelas, tidak lebih dan tidak kurang dari yang dikehendaki. Jika Beliau berinteraksi/diskusi/ngobrol beliau selalu memperhatikan sungguh-sungguh terhadap lawan bicaranya.

Disamping itu beliau dikenal sangat dermawan. Hal ini dicontohkan pada saat menerima tamunya yang sowan dan tampak tidak punya ongkos untuk pulang lalu diberi ongkos oleh beliau. Pernah juga beliau memberi belanja kepada seorang pengamal yang tidak punya penghasilan. Ada pula seorang pengamal yang ingin tahu keramatnya beliau, ketika si tamu pamit pulang beliau memberikan jubahnya kepada si tamu tersebut.

Beliau sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian badannya. Baju yang telah dipakai sekali tidak di pakai lagi untuk ke esokkan harinya (setiap hari pasti ganti baju), kebiasaan ini membuat beliau sering mencuci pakaiannya sendiri. Dalam masalah ini beliau pernah mengungkapkan rumah itu hendaknya suci seperti masjid dan bersih seperti rumah sakit.

Bila marah, beliau hanya diam. Hanya roman mukanya saja yang sedikit berubah. Kalau beliau mau berbicara itu tandanya marahnya sudah hilang dan seperti tidak terjadi apa-apa lagi. Perihal marah ini Mbah Nyahi (istrinya) sebagai orang terdekat yang telah menemani beliau lebih dari 40 tahun menuturkan. “Kalau beliau kurang berkenan kepada saya, atau ada kesalahan yang telah saya lakukan tetapi saya kurang menyadarinya, beliau hanya diam saja dengan roman muka sedikit berubah tidak seperti biasanya.”

“Kalau Mbah Yai sudah demikian, saya bingung dan sedih sekali. Begitu besarkah kesalahan saya di mata beliau? kemudian satu persatu saya koreksi kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga beliau tidak menegur saya. Semakin saya koreksi, saya merasakan terlalu banyak kesalahan yang telah saya perbuat sehingga saya tidak tahu dimana letak kesalahan saya sendiri. Namun itu tidak berlangsung lama, sebentar kemudian beliau menegur saya dan selanjutnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.”

3.1 Kehidupan Rumah Tangga
Dari Sifat dan Kepribadian KH. Abdul Madjid Ma'roef QS RA terciptalah kehidupan rumah tangga yang jauh dari perselisihan dan tidak pernah terjadi pertengkaran. Kalaupun ada kesalahan yang telah dilakukan, masing-masing sibuk mengkoreksi kesalahannya sendiri. Itulah Mbah Yai, yang sering berfatwa agar para pengamal lebih sering "nggrayahi jithoke dewe" (mengoreksi kesalahannya sendiri), ketimbang mengurusi kesalahan orang lain dan ternyata lebih dulu diterapkan pada keluarga beliau.

Kehidupan rumah tangga beliau adalah potret kehidupan rumah tangga harmonis dan sangat bahagia. Sebagai suami, beliau adalah sosok suami yang romantis, amat setia, mencintai dan menyayangi istri sepenuh hati. Meski sebagai putra Kyai, beliau tidak segan-segan menghibur istrinya dengan mengajak menonton pasar malam seraya menggandeng tangan Mbah Nyai bahkan beliau juga menggendong Mbah Nyai apabila menjumpai jalan yang licin atau kubangan-kubangan di tengah jalan.

“Kalau kami jalan berdua, Mbah Yai itu tidak pernah melepaskan tangan saya. Beliau selalu menggandeng tangan saya. Kemana-mana selalu kami lakukan berdua. Bahkan untuk mencari hutangan kalau kami tidak punya uang, kami mencari bersama-sama”, tutur Mbah Nyai saat menceritakan kemesraan Mbah Yai.

Dalam kehidupan sehari-hari Mbah Yai Madjid QS wa RA, sebagaimana yang dikatakan Mbah Nyai RA, beliau adalah manusia biasa seperti manusia lainnya. Beliau mencuci baju sendiri dan kerap kali mencucikan baju Mbah Nyai atau baju putra-putrinya yang tertinggal di kamar mandi pribadi beliau.

Beliau selalu membantu Mbah Nyai menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kalau Mbah Nyai akan memasak sayur santan, beliau yang memarut kelapanya dan Mbah Nyai yang membuat bumbunya. Beliau juga membantu mengasuh putra-putrinya yang masih kecil-kecil, memandikan, mendandani bahkan menyuapi.

Kalau persediaan padi hasil panenan habis, beliau memanen sayuran kangkung yang beliau tanam sendiri, lalu di jual ke pasar oleh Mbah Nyai untuk dibelikan beras. Tak jarang beliau sekeluarga hanya makan sayur kangkung saja. Dalam kehidupan rumah tangga Mbah Yai dulu, tidak mempunyai apa-apa sama sekali sudah biasa. Dan kondisi semacam itu diterima dengan tabah, sabar dan ikhlas oleh Mbah Nyai.

Melihat kondisi Mbah Yai sekeluarga yang sangat sederhana dan apa adanya tersebut. Pak Haji Alwan merasa kasihan dan berkata kepada Mbah Yahi, “Romo Kyai Ma’roef itu orangnya ampuh dan apa-apa yang beliau inginkan, Kyai Ma’roef tinggal berdo’a mohon keapada Allah langsung diijabahi”. Tapi apa jawab Mbah Yai. “Pak Haji Alwan, kalau bapak dulu dengan berdoa langsung diijabahi oleh Allah, sedangkan saya ndak usah berdoa, hanya krenteg (terbetik) dalam hati saja langsung diijabahi oleh Allah, tapi saya tidak mau”.

Jawaban Mbah Yai QS wa RA di atas mengingatkan kita kepada Rasulullah SAW, saat Malaikat Jibril merasa sangat prihatin menyaksikan kehidupan harian Rasulullah makhluk terkasih di sisi Allah yang hidup sangat sederhana, sehingga Malaikat Jibril menawari Rasulullah hendak mengubah gunung menjadi emas. “Biarlah saya begini, sehari lapar sehari kenyang. Ketika aku lapar , aku bisa mengingat Tuhanku dan menjadi orang yang sabar. Dan ketika aku kenyang, aku bisa memuji Tuhanku dan menjadi hamba yang bersyukur”. Itulah jawaban manusia termulia di muka bumi ini.

Dalam menerima tamu beliau juga tidak pilih-pilih atau tanpa pandang bulu, baik itu dari kalangan atas atau sebaliknya, beliau selalu menerima dan menghormati tamu yang datang kepada beliau dengan memperlakukan para tamu dengan baik dan bertutur kata dengan bahasa yang halus (boso/dengan krama inggil bahasa jawa).

Mbah Yai QS wa RA pada awal-awal penciptaan Shalawat Wahidiyah, senantiasa prihatin. Beliau prihatin karena urusan-urusan penting yang sedang dihadapinya. Keprihatinan beliau bukanlah berkaitan dengan masalah khusus mengenai diri beliau, melainkan yang berhubungan dengan masyarakat jami’al alamin.

Hal lain mengenai beliau adalah setiap orang yang memandang beliau akan merasakan kesejukan yang merasuk ke dalam hati. Dan siapapun yang beliau pandang hatinya pasti bergetar.

3.2 Aktif di Organisasi
Sebelum mentaklif Shalawat Wahidiyah KH. Abdul Madjid Ma’roef QS RA adalah aktifis NU (Nahdatul Ulama) sebuah organisasi terbesar di Indonesia. Ketika usia remaja beliau aktif di Anshor dan di Kepanduan (sekarang Pramuka) milik NU. Beliau juga gemar berolah raga khususnya sepak bola. Jadi meskipun beliau telihat sangat pendiam dan nampak kurang pergaulan, tetapi kenyataannya beliau adalah seorang yang luwes dalam pergaulan. Keaktifannya di NU terus berlanjut meski beliau sudah menikah.

Beliau pernah menjabat sebagai Pimpinan Syuriah NU kec. Mojoroto tahun 1948 dan Syuriah NU cabang Kodya Kediri. Dalam memimpin organisasi beliau juga sangat bijaksana, pernah suatu saat diadakan rapat pimpinan di Bandar Lor, yang hadir ada lima orang dan salah satu di antaranya adalah Bapak Alwi Bandar Lor.

Dalam rapat tersebut beliau mendawuhkan "Nopo sampun podo setuju?" (apa semua sudah setuju?) lalu para tamu mengatakan setuju kemudian diam, lalu beliau berkata "Terus kados pundi?" (Lalu bagaimana?) dan anehnya untuk tinggal mengetok atau mengakhiri sampai lama sekali , sehingga dapat disimpulkan bahwa beliau dalam memutuskan hasil musyawarah tidak langsung memvonis tetapi dengan menunggu pendapat dari anggota musyawarah.

Namun setelah beliau mentaklif Shalawat Wahidiyah dan ajarannya tahun 1963 beliau tidak lagi aktif di NU (Nahdatul Ulama).

4. Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs: Jaringan Santri

Sebelumnya artikel ini dibuat pada tanggal 20 Oktober 2023 dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 7 Maret 2024

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya