Ini Pahala Shalat Tarawih di Rumah Saja

 
Ini Pahala Shalat Tarawih di Rumah Saja

LADUNI.ID, Jakarta - Kementerian Agama, MUI, PBNU, dan Muhammadiyah sepakat untuk meniadakan shalat tarawih berjamaah di masjid atau mushola pada bulan ramadhan tahun ini di tengah pandemi corona. Artinya ummat Islam melaksanakan shalat tarawih di rumah masing-masing, terserah mau berjama’ah dengan anggota keluarga, atau sendiri-sendiri.

Keputusan ini mungkin mengecewakan sebagian umat Islam. Atmosfir bulan ramadhan akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Shalat tarawih adalah salah satu ritual ibadah yang membuat bulan ramadhan semakin semarak dan bergairah. Meskipun biasanya hanya di awal-awal saja mushola atau masjid dipenuhi umat Islam yang shalat tarawih, nampaknya peniadaan shalat tarawih berjamaah di masjid dan mushola pada tahun ini cukup membuat sebagian umat Islam kecewa.

Mungkin ada sebagian umat Islam yang merasa kalau puasa ramadhan kurang afdhol jika tidak menggelar shalat tarawih berjama’ah di masjid. Mungkin merasa pahala yang didapat akan berkurang karena hanya bisa shalat tarawih di rumah masing-masing. Oleh sebab itu, saya merasa perlu menjelaskan seputar shalat tarawih melalui tulisan ini. Dengan harapan, umat Islam mematuhi keputusan Menteri Agama, MUI, PBNU, dan Muhammadiyah untuk meniadakan shalat tarawih berjama’ah di masjid.

Pertama, tentang hukum shalat tarawih. Hukum shalat tarawih adalah sunnah muakkad. Jumhur ulama (Imam Madzhab) sepakat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Hanya saja, di dalam madzhab Maliki masih ada ikhtilaf, ada yang 20 raka’at, ada juga yang 36 raka’at.

Konsekuensi dari sunnah adalah jika dilakukan mendapat pahala, jika ditinggalkan tidak mendapat dosa. Artinya jika ada umat Islam yang tidak melaksanakan shalat tarawih, dia tidak mendapat dosa. Hanya saja, dia tidak akan mendapat pahala.

Kedua, hukum shalat tarawih berjam’ah di masjid. Dalam kitab Al-Fiqhul Islam wa Adilatuhu, dijelaskan bahwa shalat tarawih sunnahnya dilakukan dengan berjamaah dengan bacaan jahr (keras). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Abu Dzar berkata, “Rasulullah SAW pernah mengumpulkan keluarga dan para sahabat, lantas beliau berkata: “Siapa yang ikuft shalat qiyam bersama imam hingga selesai maka ia akan dicatat dalam kelompok orang yang mendapat pahala qiyamul lail.”

Dalam sejarahnya, Rasulullah pernah shalat tarawih di masjid dan di rumah, sebagaimana keterangan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim yang artinya:

“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin radliyallahu ‘anha, sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam shalat di masjid, lalu banyak orang shalat mengikuti beliau. Pada hari ketiga atau keempat, jamaah sudah berkumpul (menunggu Nabi) tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru tidak keluar menemui mereka. Pagi harinya beliau bersabda, ‘Sunguh aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang ke masjid karena aku takut sekali bila shalat ini diwajibkan pada kalian.” Sayyidah ‘Aisyah berkata, ‘Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan’.” (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadits ini, sekilas Rasulullah tidak menjelaskan hukum shalat tarawih berjama’ah di masjid secara tegas. Beliau bahkan tidak lagi datang ke masjid hanya karena tidak ingin shalat tawih dianggap wajib.

Hal ini yang mungkin membuat umat Islam di zaman Khalifah Abu Bakar As-Sidiq menyelenggarakan shalat tarawih dengan banyak cara. Umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar melaksanakan shalat tarawih secara sendiri-sendiri (munfarid) atau berkelompok tiga, empat, atau enam orang. Saat itu belum ada shalat tarawih berjamaah dengan satu imam di masjid. Ketetapan tentang jumlah rakaat shalat tarawih pun belum tertuang secara jelas.

Baru di zaman Khalifah Umar bin Khatab, Shalat tarawih berubah keadaannya. Khalifah Umar bin Khattab berinisatif untuk menggelar shalat tarawih secara berjamaah dengan satu imam setelah menyaksikan umat Islam shalat tarawih yang tampak tak kompak, sebagian shalat secara sendiri-sendiri, sebagian lain berjamaah. Keterangan itu ada di kitab Shahih Bukhari yang artinya:

“Dari ‘Abdirrahman bin ‘Abdil Qari’, beliau berkata: ‘Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin Khattab radliyallahu ‘anh ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam masjid tersebut) orang yang shalat tarawih berbeda-beda. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada juga yang shalat berjamaah. Lalu Sayyidina Umar berkata: ‘Saya punya pendapat andai mereka aku kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus.” Lalu beliau mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan shalat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata, ‘Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini (shalat tarawih dengan berjamaah),” (HR Bukhari).

Jadi, orang yang pertama kali mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan shalat tarawih secara berjamaah adalah Sayyidina Umar bin Khattab, salah satu sahabat terdekat Nabi. Jamaah shalat tarawih pada waktu itu dilakukan dengan jumlah 20 rakaat. Apa yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah bid’ah hasanah karena di zaman Nabi belum ada praktik shalat tarawih berjama’ah di masjid dengan satu imam.

Memang ada yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah semata-mata hanya menghidupkan sunnah nabi (tarawih berjama’ah di masjid) meskipun Nabi tidak pernah memerintahkan bahkan hanya shalat tarawih di masjid selama 3 malam.

Namun dari keterangan-keterangan di atas, saya kira keputusan Menteri Agama, PBNU, MUI, Muhammadiyah untuk meniadakan shalat tarawih di masjid harus dipatuhi. Toh, shalat tarawih di rumah bukan berarti tidak lebih afdhol shalat tarawih berjama’ah di masjid. Jika shalat jum’at yang hukumnya wajib saja bisa diganti dengan shalat dzuhur di tengah pandemi corona, apalagi sekedar shalat tarawih yang hukumnya sunnah. Saya berharap di bulan ramadhan ini, tidak ada masjid atau mushola yang menggelar shalat tarawih berjama’ah untuk mencegah penyebaran covid-19. Wallohu a’lam.


*) Oleh Saefudin Achmad, Pascasarjana IAIN Purwokerto. Artikel ini pernah dipublikasikan di laman Bangkit Media.