Biografi KH. Muslim Rifai Imampuro (Mbah Liem)

 
Biografi KH. Muslim Rifai Imampuro (Mbah Liem)
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Profil KH. Muslim Rifai Imampuro (Mbah Liem)

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Guru Spritual Presiden Ke-4
  4. Mendirikan Pesantren
  5. Kiprah di NU

Kelahiran

KH. Muslim Rifai Imampuro atau yang kerap disapa dengan panggilan Mbah Liem lahir pada 24 April 1924, di Desa Pengging, Kelurahan Bendan, Kecamatan Banyudono, Boyolali, Jawa Tengah. Mbah Liem adalah tokoh NU dan Pendiri Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa) Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten. Beliau merupakan teman sekaligus guru bagi KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur.

Wafat

Mbah Liem wafat pada Kamis, 24 Mei 2012. Jenazah beliau dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten.

KH. Muslim Rifa'i Imampuro memang adalah Kiyai yang sangat nyentrik. Saking nyentriknya, bahkan dalam proses pemakaman Mbah Liem dilakukan tidak seperti umumnya. Saat jenazah digotong dari rumah duka menuju makam di komplek pesantren diarak dengan tabuhan hadroh “Sholawat Thola’al Badrun alainaa”, dan kemudian dilanjutkan dengan proses pemakaman ala tentara, dengan menggunakan tembakan peringatan sebagaimana pemakanan militer. Proses pemakan ini dipimpin langsung oleh TNI/Polri, sebagaimana sesuai dengan wasiat Mbah Liem sendiri.

Guru Spritual Presiden Ke-4

Mbah Liem dikenal sangat dekat dengan Gus Dur, bahkan jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden, kedua kiai ini sudah saling akrab. Banyak orang mengatakan bahwa Mbah Liem adalah Guru spiritualnya Gus Dur.

Mendirikan Pesantren

Setelah berkelana nyantri ke berbagai pondok pesantren terutama nyantri pada KH. Ahmad Siroj, Solo, Mbah Liem akhirnya hijrah ke Klaten, kemudian memutuskan untuk menetap di dusun Sumberejo Desa Troso Kecamatan Karanganom dan mendirikan Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti.

Nama pesantren KH. Muslim Rifa'i Imampuro tergolong unik dan memastikan secara tegas bukti konsistensi Mbah Liem dalam mencintai dan menjaga NKRI dan Pancasila.

Pada kurun tahun 1983 kelompok Islam radikal, yang terafiliasi dengan islam transnasional mulai mempersoalkan kembali konsep Pancasila sebagai dasar negara dan mempertanyakan relevansi Pancasila dengan Islam.

Gagasan kelompok radikal yang mulai mempersalahkan Pancasila ini dipandang oleh para Kiyai NU sangat membahayakan keutuhan NKRI dan Pancasila. Maka, menanggapi gejolak ini, NU segera menyikapi dengan cepat dan mengadakan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Sukorejo, Situbondo Jawa Timur dengan hasil sebagai berikut:

  1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan Agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan Agama.
  2. Sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
  3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah akidah dan syariat, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
  4. Penerimaan dan pengalaman pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
  5. Sebagai konsekuensi dari sikap di atas Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pegertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Semenjak Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dipersoalkan oleh kelompok radikal, maka para Kiyai terutama Mbah Liem dalam setiap acara apapun terus mengatakan dan mendoakan agar NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati.

Dalam setiap berpidato judul utama Mbah Liem adalah selalu tentang kebangsaan dan kenegaraan, kurang lebih kalimatnya “mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati” (Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati).

Di masjid pondoknya Mbah Liem setiap setelah iqomat sebelum sholat berjama’ah selalu diwajibkan membaca do’a untuk umat Islam, bangsa dan negara Indonesia. Berikut ini doanya:

"Subhanakallahumma wabihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka la ilaha ghoiruka. Duh Gusti Alloh Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat, bekti wong tuo, agomo, bongso, maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho Negoro Kesatuan Republik Indonesia kaparingan aman, makmur, damai. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekah.”

Menurut kesaksian Habib Luthfi bin Yahya dalam buku Fragmen Sejarah NU karya Abdul Mun’im DZ mengatakan; pada saat Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah Liem meneriakkan yel, NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! Pancasila Jaya, maka sejak itulah yel-yel NKRI Harga Mati menjadi jargon, slogan tidak hanya di NU tapi juga di instansi TNI, bahkan secara umum menjadi yel-yel masyarakat. Jadi slogan atau jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh Mbah Liem.

Kiprah di NU

Dalam struktur NU, baik mulai tingkat bawah hingga pengurus besar, nama Mbah Liem tidak pernah tercatat sebagai pengurus. Namun demikian, tidak ada yang meragukan kiprahnya dalam menjaga dan membesarkan NU jelas sekali sangat signifikan.

Meskipun tidak pernah menjadi pengurus NU secara struktural, Mbah Liem tetap selalu mejadi rujukan para Kiyai dalam menahkodai NU. Bahkan beliau hampir pasti selalu hadir dalam setiap acara-acara PBNU, mulai dari Konbes, Munas hingga Muktamar NU.

Al-Fatihah ila hadrati Mbah Liem Imampuro. Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati! []

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya