Mengenang Cerita Gus Dur tentang Buya Syakur Yasin

 
Mengenang Cerita Gus Dur tentang Buya Syakur Yasin
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: Dens_art1 laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam sebuah kesempatan, Gus Dur pernah nyeletuk:

Hanya ada tiga orang cendekiawan Muslim di Indonesia ini. Pertama Pak Nurcholis Madjid, kedua Pak Quraish Shihab dan yang ketiga Pak Syakur. Namun, kalian tak mungkin tahu siapa pak Syakur itu. Karena hidup beliau dikampung terpencil nun jauh di sana.”

Dari ketiga nama yang disebutkan Gus Dur itu, hanya Pak Abdul Syakur Yasin yang tidak begitu dikenal oleh khalayak masyakarakat umum, walaupun namanya belakangan menjadi viral di media sosial khususnya di Youtube dengan munculnya channel official pengajian umumnya dengan nama akun KH Buya Syakur Yasin MA.

Buya Syakur, begitu sapaan akrab jamaah kepadanya. Sesuai dengan cerita Gus Dur di atas, adalah seorang kyai yang mempunyai pemikiran keislaman yang sangat rasional. Akan tetapi, berbeda dari dua nama sebelumnya,  Buya Syakur lebih memilih berkiprah membangun jalan dakwah di kampung halamannya, Indramayu, Jawa Barat. Di sana, Buya Syakur membangun sebuah pesantren yang ia beri nama Pondok Pesantren Candangpinggan.

Segenap gelar mentereng yang menempel pada dirinya, Buya Syakur yang notabene lulusan Timur Tengah itu, tak membuatnya tergoda untuk berkiprah di dunia pemikiran dan akademik nasional seperti dua nama sebelumnya yang turut diceritakan oleh Gus Dur. Walaupun pada hakikatnya kedua nama sebelumnya, juga termasuk Gus Dur sendiri, merupakan sahabat baik Buya Syakur.

Menurut penuturanya yang telah dirangkum dari beberapa video pengajiannya, Buya Syakur menghabiskan waktu belajarnya di luar negeri, termasuk  di Timur Tengah dan Eropa selama 20 tahun, yaitu dari tahun 1971 sampai tahun 1991. Selama 20 tahun itulah Buya Syakur menggeluti sastra, dengan mengambil jurusan Sastra Arab di tingkat S1 di Baghdad, Linguistik di tingkat Magister, dan Dialog Teater di tingkat Doktoral di Tunisia. Hanya saja, beliau tidak sempat menyelesaikan program Doktoralnya secara resmi –meskipun dinyatakan lulus secara lisan- karena dosen promotornya keburu menjadi menteri, sehingga sangat sulit untuk berkonsultasi perihal urusan akademiknya.

Buya Syakur juga pernah berkelana ke London, Inggris  sebelum akhirnya memutuskan pulang kembali ke Tanah Air. Karena sangat menyukai teater, di sana beliau sering pulang pergi ke pertunjukan teater. Dari sanalah jiwa kesusastraannya terbangun hingga bisa melahirkan banyak karya sastra berupa puisi seperti hari ini. Namun nasib berkata lain, alih-alih menjadi sastrawan, Buya Syakur malah menjadi kyai. Ya, karena tidak hanya bidang sastra yang dipelajarinya, latar belakang pesantren yang dimiliki juga memengaruhi proses belajarnya selama di luar negeri itu.

“Saya lebih suka mengaji di kampung, khususnya di lingkungan saya dilahirkan (Indramayu) karena saya memandang, selain memang kita harus mengembangkan tanah kelahiran dan lingkungan sendiri, di kampung, masyarakatnya lebih jujur dibandingkan di kota.” Demikian kurang lebih papar Buya Syakur di suatu pengajian.

Setelah kepulangannya ke Tanah Air, Buya Syakur lebih memilih kembali ke tempat kelahirannya di Indramayu dengan alasan untuk mengembangkan daerah asalnya, dan atas dasar bahwa masyarakat desa lebih jujur daripada masyarakat di kota sesuai penuturannya di atas. Artinya, Buya Syakur sangat memerhatikan dan mencintai tanah kelahirannya dengan mengambil keputusan tersebut.

Dalam kesempatan lain, Gus Dur juga pernah memuji Buya Syakur dengan menyebutnya sebagai pemikir Islam yang sangat rasional. “Pak Syakur itu, beliau sangat rasional sekali, kenapa? karena beliau mampu memadukan dua permasalahan menjadi satu dan dari kedua masalah tersebut beliau mengambil kesimpulan dengan sangat tepat,” kata Gus Dur.

Pantas saja Gus Dur menyebutnya sebagai seorang cendekiawan muslim yang sangat rasional, sebab memang Buya Syakur mempunyai wawasan yang sangat luas, sehingga ketika menjawab banyak pertanyaan yang sangat rumit, beliau mampu menyederhanakannya dengan jawaban yang memuaskan. Hal itu membuat para jamaah pengajiannya juga merasa puas, terutama dalam membahas makna Ayat-Ayat Al-Qur’an.

Gaya penyampaian dan penjelasan yang runut, mengajak para jamaahnya untuk berpikir logis, yang pada akhirnya akan digiring menemukan pencerahan sendiri.

Dengan keahliannya dalam bidang linguistik, Buya Syakur sering kali menelaah kembali makna Ayat Al-Qur’an secara huruf per huruf disesuaikan dengan konteksnya. Penyampaiannya begitu telaten, sehingga dapat menghasilkan makna yang komprehensif dan bahkan terkadang berani mendobrak pemahaman yang kurang tepat yang sudah lama berlaku.

Meski ada sebagian tokoh yang tidak suka terhadap beliau dan sering mengecamnya karena pemahaman yang disampaikannya dianggap ngawur, tetapi beliau tetap konsisten dan menerima kritik dengan tenang. Sebab, bagi beliau perbedaan pendapat adalah hal biasa yang tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan. Justru, dengan hal itu semuanya akan tergerak untuk kembali belajar dan terus belajar. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Januari 2020. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Saeroji

Editor: Hakim