Hantu Literasi

 
Hantu Literasi

LADUNI.ID - Euforia atas kebangkitan "terminologi" literasi dewasa ini akan menimbulkan dua arti yang bertentangan satu sama lain. Postulasi pertama, kebangkitan tersebut memiliki makna sebagai "ruh" peradaban di mana individu akan menjadi haus akan pengetahuan, kemudian mentransformasikannya dalam kebijaksanaan keseharian. Kedua, kebangkitan tersebut justru menjadi "hantu" peradaban, sebagaimana kaum sofis pada zaman Socrates yang berubah makna secara peyoratif, menebar kesesatan pikir di mimbar-mimbar umat. 

Kaum sofis era Socrates merujuk pada sekelompok orang bijak dari kalangan ningrat-akademisi yang berperan sebagai  aktor epistemologis kebijaksanaan, kemudian diakui oleh kalangan lebih luas sebagai kebenaran. Hanya saja, ketidakbergairahan daya kritis "kaum abangan" menciptakan rezim pengetahuan feodal, yakni lisensi produksi kebijaksanaan yang dikuasai oleh aktor tertentu, tanpa mempersoalkan nilai kebenarannya.

Ilustrasi masyarakat sofis tersebut boleh jadi adalah gambaran masyarakat kekinian. Secara positif, angka "melek" literasi menggambarkan suatu keadaan yang melegakan. Bagaimana tidak, peningkatan kesadaran publik terhadap informasi dan pengetahuan melalui media melonjak tinggi. Kemudahan dan keterjangkauan aksesibilitas hanya mensyaratkan sedikit usaha sentuhan jari pada layar gadget, maka seketika itu juga tabir informasi yang disimpan di atas awan (cloud) akan terkuak. Sebuah pertanyaan kontraproduktif layak diajukan, apakah kemudahan tersebut justru bermakna sebagai "hantu" peradaban, saat ia mampu mengolah siklus pengetahuan sebagai kebenaran "tagar" atau "viral"? Reproduksi pengetahuan tersebut dialirkan begitu ringan pada obrolan-obrolan syahdu yang menemani waktu sore, atau di malam hari mengisi sepi sang jomblo, atau bahkan sebagai instrumen "foreplay" paling menggairahkan bagi pasangan dimabuk asmara. Sekonyong-konyong dengan mengimani "pseudo literacy" tersebut seseorang telah berubah menjadi sosok lebih bijaksana, setidaknya bagi dirinya, dalam perasaan dirinya pula. 

Panggung opera komedi terus dibangun, reaksi oposan terhadap kebenaran "tagar" dan "viral" adalah lontaran definitif "hoax" yang kemudian menciptakan kebenaran sejenis dalam jubah berbeda. Oposan sibuk bereaksi dengan mengirim referensi "pseudo literacy" tandingan melalui aplikasi layanan pesan singkat, tanpa pengujian yang memadai. Hingga pada saatnya, orang akan merasa benar dalam mimbarnya sendiri, merasa paling ahli di mimbarnya sendiri. Tanpa dapat terdeteksi dengan pasti, secara kumulatif kumpulan individu dalam kebenarannya sendiri menjadi kaum sofis yang terus mereproduksi kebenaran "tagar" dan "viral" menjadi hantu dogmatis.

Sementara di pojok-pojok kampus, pesantren, atau ruang kontemplasi lain sekelompok kecil malu-malu--atau apatis?--menyuarakan kebenaran hakiki (mus'af), memuat kebenaran universal tanpa merendahkan akal itu sendiri. Terdengar lantang hanya sebatas di ruang mereka sendiri, menggelorakan suara kebenaran hanya sebatas untuk kalangan mereka sendiri. Bukankah kebenaran sejati adalah anak kandung dialektika yang mengalir dalam persenggamaan zaman? Sebagaimana maieutika tekhne Socrates diletakkan sebagai metode sekaligus instrumen untuk melahirkan kebenaran dengan cara mempertentangkan dua kebijaksanaan yang saling mempertimbangkan kecermatan lahiriah maupun batiniah saat beranalogi. Tidak lah seharusnya "logos" menantang "philein" sebagai hakikat; setidak-tidaknya pengetahuan itu diracik menjadi ilmu adalah semata-mata untuk kepentingan kemanusiaan. Demikian juga dengan peran ontologis media, keberadaannya seharusnya tidak dimaknai sebagai hegemoni atas rezim pengetahuan tertentu. Perannya tidak lebih dari instrumen komunikasi yang tidak pula harus disikapi secara reaktif tanpa catatan kaki yang jelas.

Cerita epos Socrates diakhiri saat ia harus rela meneguk racun sebagai konsekuensi putusan pengadilan. Sebuah hukuman suara massa yang menuduh kebijaksanaannya adalah kesesatan yang harus dimusnahkan. Dominasi khalayak memang selalu dianggap "yang benar", meski nilai-nilai kebenaran tidak akan pernah berlaku surut oleh suara, bahkan zaman. Sudah selayaknya zaman mendekonstruksi jargon "vox populi vox dei", bukankah terminologi "kebenaran" tidak sama dengan "hegemoni"? Wallahua a'lam bishawab.

Oleh: Arief Adi Purwoko

Akademisi IAIN Pontianak

 

 

Tags