Latar Belakang Didirikannya Nahdlatul Ulama

 
Latar Belakang Didirikannya Nahdlatul Ulama

LATAR BELAKANG DIDIRIKANNYA NU

Sesungguhnya pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab Saudi di tahun 1920-an yang berpaham Wahabi yang telah berlebih dalam menerapkan program pemurnian ajaran Islam. Kala itu pemerintah Arab Saudi menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa pahlawan Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang kegiatan mauludan, bacaan berzanji, diba’an dan sebagainya. Sama dengan alasan di atas, seluruh kegiatan tersebut dilarang karena mengarah kepada kultus individu.

Tidak berhenti sampai di situ, pemerintah saat itu juga selalu menghalangi jalan bagi madzhab-madzhab selain madzhab Wahabi, terutama madzhab empat. Sedangkan alasan selanjutnya adalah keinginan untuk menempatkan diri sebagai penerus khalifah tunggal dunia Islam. Karenanya mereka antara lain mengundang negara atau jama’ah Islam dari seluruh dunia (termasuk Indonesia) untuk menghadiri muktamar khilafah di Arab Saudi, walaupun akhirnya gagal dilaksanakan.

Para ulama Indonesia (terutama para pengasuh pondok pesantren, ulama Ahlussunnah wal Jama’ah) menolak keras tindakan penguasa baru Arab Saudi tersebut. Ulama pesantren bermaksud ikut dalam delegasi ulama Islam Indonesia yang akan hadir pada muktamar khilafah guna mencari kesempatan untuk menyampaikan keberatan mereka yang mewakili mayoritas umat Islam Indonesia kepada penguasa baru Arab Saudi. Namun maksud tersebut terhalang karena ditolak oleh beberapa kelompok Islam yang lain dengan alasan ulama

pesantren tidak memiliki organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain sebagainya.

Penolakan yang dilatarbelakangi dengan belum adanya organisasi ulama ini, telah mengobarkan semangat para ulama pesantren untuk menunjukkan kemandirian dan kekuatannya. Sebuah tekad mengirim sendiri delegasi ulama pesantren dengan nama Komite Hijaz akhirnya dilakukan guna menghadap penguasa baru Arab Saudi, sekaligus menyampaikan keberatan para ulama Indonesia.

Ternyata Komite Hijaz tersebut berhasil mengumpulkan dana dan daya untuk mengirim sendiri delegasi ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi umat Islam Indonesia. Ketika delegasi Komite Hijaz akan berangkat, disepakati Komite Hijaz dijadikan organisasi (jam’iyyah) permanen dan diberi nama Nahdlatoel Oelama (NO), yang berarti kebangkitan para ulama. Hal itu untuk menunjukkan bahwa para ulama yang selama ini dianggap kolot, tradisional, terbelakang dan sebagainya, telah bangkit tidak hanya berkumpul, berhimpun, tetapi bangkit, bangun, berdiri, dan melangkah.

NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan). Jam’iyyah ini dibentuk utuk menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama dalam rangkaian Nahdlatul Ulama tidak selalu berarti NU hanya beranggotakan ulama, tetapi memiliki maksud bahwa ulama mempunyai kedudukan istimewa di dalam NU, karena beliau adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Sebagai organisasi keagamaan, kedudukan pewaris ini mutlak
penting adanya. Tentu kualitas keulamaan di dalam NU harus lebih terseleksi pada yang lain. Ada kriteria dan persyaratan yang ketat untuk menjadi ulama NU, di antaranya memiliki syarat keilmuan, sikap mental, perilaku dan akhlak, sehingga patut menjadi panutan umat. Oleh karena itu NU harus menjadi panutan pihak lain. Kualitas NU sangat tergantung kepada kualitas ulamanya.

Setelah ulama pesantren membentuk jam’iyyah NU, maka semesti- nya segala tindakan mereka disalurkan melalui organisasi ini. Akan tetapi hal ini cukup disayangkan, bahkan dalam kenyataannya yang terjadi justru beberapa gejala berikut:

  1. Ulama pesantren masih memiliki dan berpegang kepada kemandirian masing-masing, terutama dalam mengelola basis sosialnya (para santri dan keluarga serta para murid dan santri). Campur tangan atau koordinasi yang dapat dilakukan oleh NU masih sangat kecil.

  2. Uniknya basis sosial para ulama tersebut sangat fanatik kepada NU, sanggup berjuang mati-matian mengamalkan ajaran NU seperti tahlil, talqin, dan sebagainya.

  3. Hampir seratus persen alumni pesantren menjadi warga NU, meskipun tidak ada pesantren yang menggunakan nama NU dan tidak diberikan pelajaran tentang ke-NU-an. Sepertinya mereka jadi NU secara alamiah. Karena itu maka jangan heran kalau ke-NU-annya juga selalu alamiah.

Melihat kondisi ini, maka NU mempunyai dua wajah:

Pertama, wajah jam’iyyah (NU jam’iyyah), yaitu sebagai organisasi formal struktural yang mengikuti mekanisme organisasi modern

seperti memiliki pengurus, pengesahan pengurus, pemilihan pengurus, anggota, iuran, rapat-rapat resmi, keputusan-keputusan resmi, dan lain sebagainya.

Kedua, wajah jama’ah (NU jama’ah), yaitu kelompok ideologis kultural yang mempunyai pandangan, wawasan keagamaan dan budaya ala NU. Bahkan mereka tidak mau dikatakan bukan orang NU. Mereka tersebar dalam berbagai kelompok kegiatan, seperti jama’ah yasinan, tahlilan, wali murid madrasah NU, jama’ah mushalla, dan sebagainya. Anehnya, mereka tidak mudah diatur sebagai jam’iyyah NU.

Kedua macam kelompok tersebut, merupakan potensi bagi organisasi ini. Masing-masing harus diurus secara baik dan tepat. Bahkan idealnya jam’iyyah NU dapat menjadi organisasi kader dengan melakukan langkah-langkah taktis seperti:

  1. Tertib administrasi dan organisasi, mulai dari pendaftaran anggota, mutasi, proses pembentukan pengurus, dan sebagainya.

  2. Pembinaan ideologi dan wawasan yang mumpuni.

  3. Disiplin operasional dan langkah-langkah perjuangan.

Sedangkan sebagai jama’ah NU, mereka diharapkan menjadi pendukung massal bagi gagasan, sikap, langkah amaliyah organisasi dan sebagainya, meskipun keberadaan mereka tidak terdaftar sebagai warga jam’iyyah NU.