Peranan Aceh dalam Dunia Tasawuf dan Tarekat

 
Peranan Aceh dalam Dunia Tasawuf dan Tarekat

LADUNI. ID, SEJARAH-Abdurrauf as-Singkili menjadi ulama yang sangat penting dalam perbincangan tasawuf Aceh. Pertama, pada masa beliaulah tasawuf Aceh bertransformasi kepada tarekat. 

Abdurrauf adalah seorang mursyid, setidaknya adalam dua tarekat besar, yaitu Naqsyabndiyah dan Syattariyah.

 Ia berguru pada al-Qusyasyi dan al-Qurani di Haramain. Namun dalam praktiknya ia nampak lebih banyak mengembangkan tarekat Syattariyah.

Azyumardi Azra (1991) mencatat pilihan ini sepertinya sebuah “pembagian tugas” antara Abdurrauf dengan Syaikh Yusuf al-Maqassari yang sama-sama belajar dan mengembail tarekat di Haramain. 

Dalam pembagian ini, Abdurrauf mengembangkan Syattariyah dan Abu Yusuf mengembangkan Naqsyabandiyah.

Dari catatan sejarawan, kita melihat Abdurrauf berada di posisi penting dalam silsilah tarekat Syattariyah di Nusantara kontemporer. 

Nama Aceh sebagai “Serambi Mekkah” antara lain diambli dari realitas ini. Sebagai alumni Timur Tengah yang belajar di sana selama belasan tahun, Abdurrauf menjadi magnet bagi ulama lain di Nusantara untuk mendalami Islam.

Dalam pelayaran menuju Haramain mereka singgah di Aceh untuk belajar dasar-dasar keislaman sebelum kemudian belajar ke Mekkah atau Madinah. Meskipun sebagai “pengantar” beberapa ulama merasa sudah cukup mahir dalam ilmu agama setelah berjumpa dengan Abdurrauf.

Kebanyakan lama tarekat Syattariyah yang ada di Indonesia memiliki silsilah yang terhubung kepada Abdurrauf As-Singkili. Di Pulau Jawa misalnya ada Abdul Muhyi Paminjahan. 

Beliau adalah mursyid tarekat Syattariyah yang paling berpengaruh di Jawa. Hampir semua tarekat Syattariyah yang ada di Jawa saat ini memiliki silsilah yang terhubung kepadanya. 

Demikian juga dengan Burhanuddin Ulakan dari Sumatera Barat. Ia adalah murid penting Abdurrauf di Sumatera Barat dan menjadi tokoh utama dalam perkembangan Syattariyah di sana.

Sayangnya serangan imperialisme Belanda dan Inggris ke Aceh sejak pertengahan abad 18 mebuat perkembangan tarekat di Aceh cenderung memudar.

 Kita mengenal beberapa zawiyah yang muncul di Aceh, namun hampir tidak ada tokoh besar yang muncul yang setara dengan beberapa yang telah saya jelaskan di atas. 
 
Apalagi memasuki abad 20, di mana intensitas peperangan melawan Belanda semakin tinggi yang kemudian menyebabkan perkembangan pemikiran seperti sebelumnya menjadi redup. Ini adalah sebuah masa yang sulit dalam perkembangan pemikiran tasawuf di Aceh

 *** Sehat Ihsan Shadiqin