Re-transnasionalisasi Tasawuf Aceh

 
Re-transnasionalisasi Tasawuf Aceh

LADUNI. ID, KOLOM-UPAYA mempromosikan Aceh belakangan ini kerap dilakukan oleh pemerintah daerah. Dari pengalaman yang lalu, setidaknya ada dua cara yang dilakukan pemerintah Aceh untuk tujuan tersebut, yaitu:

Pertama, melakukan promosi keluar, berupa kunjungan ke negara asing untuk menjelaskan tentang Aceh dan segala potensinya yang dapat dimanfaatkan untuk investasi.

Dan, kedua, melakukan even di Aceh yang secara langsung atau tidak langsung mengundang orang untuk datang ke Aceh dan menyaksikan berbagai keunggulan yang ada di Aceh.

Kedua metode ini berakar pada satu niat yang sama, yakni menunjukkan kepada dunia bahwa ada sesuatu di Aceh yang layak ditampilkan dan dibanggakan.

Oleh sebab itu, dalam tulisan ini saya menyebutkan dengan “re-transnasionalisasi” untuk menyatakan ada suatu upaya melakukan aktualisasi kembali posisi Aceh dalam penyebaran tasawuf menjadi gerakan Islam penuh cinta dalam kehidupan umat manusia di dunia.

Hal ini suatu yang lumrah mengingat Aceh pernah menjadi pusat perkembangan tasawuf di masa lalu.

Tasawuf Aceh
Aceh memiliki lebih dari cukup bukti untuk menyatakan diri sebagai daerah yang kaya akan perkembangan tasawuf di masa lalu.

Keberadaan beberapa orang sufi penting di daerah ini menunjukkan bagaimana posisi strategis tasawuf dalam keberislaman masyarakat Aceh masa lalu sebagai bagian penting dalam kehidupan kerajaan.

Kita, setidaknya, mengenal empat ulama sufi penting di Aceh yang menjadi tokoh utama pemikiran dan perkembangan tasawuf. Hamzah Fansuri adalah tokoh penting dan utama dalam gerakan ini.

Hamzah Fansuri menjadi orang nomor satu dalam transformasi pemikiran tasawuf falsafi di Aceh dan kemudian berkembang di Nusantara.

Dari namanya kita tahu kalau Hamzah berasal dari Fansur, sebuah wilayah di Singkil. Dari sana ia merantau ke Banda Aceh dan lalu menjadi orang penting di kerajaan Aceh Darussalam.

Ia memiliki peran bukan hanya sebagai ulama kerajaan atau dikenal dengan Syaikh al-Islam, namun juga seorang diplomat dan perwakilan Raja dalam negosiasi pedagangan dan politik.

Murid penting Hamzah bernama Syamsuddin as-Sumatrani. Ia berasal dari Pase, berguru kepada Hamzah, dan menggantikan posisinya di kerjaan setelah sang guru wafat. Ide utama tasawuf Syamsuddin sama dengan Hamzah, pemikirn tasawuf falsafi ala Ibnu Arabi.

Ia menjelaskan beberapa terminologi tasawuf dengan pendekatan filsafat pelik yang banyak orang awam tidak paham. Hal inilah yang dikritik oleh Nuruddin Ar-Raniry.

Ulama yang berasal dari Raneer, India ini menjadi Syaikh al-Islam pada masa Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Iskandar Tsani.

Ar-Raniry melakukan perlawanan pada ide-ide filsafat wujud dalam tasawuf yang dikembangkan oleh dua ulama sebelumnya. Usaha ini dilakukan dengan menggunakan tangan kekuasaan.

Sekilas berhasil, namun Abdurrauf as-Singkili yang menjadi penggantinya masa pemerintah Sultanah Safiatuddin menghidupkan kembali ide-ide wujudiyah dan menjadikannya sebagai bagian penting dalam keberagamaan orang Aceh.

*** Sehat Ihsan Shadiqin, Dosen UIN ar-Raniry Banda Aceh

Ta