Biografi KH. Zainul Arifin Pohan

 
Biografi KH. Zainul Arifin Pohan
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Zainul Arifin Pohan

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Pendidikan
  4. Menjadi Ketua Cabang NU
  5. Panglima Hizbullah Masyumi
  6. Karier Politik

 

Kelahiran

KH. Zainul Arifin Pohan lahir pada 2 September 1909, di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Wafat

Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat melaksanakan shalat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, KH. Zainul Arifin Pohan pernah tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden.

KH. Zainul Arifin Pohan meninggal di Jakarta, 2 Maret 1963 pada umur 53 tahun setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan. Beliau diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 4 Maret 1963 Keppres No. 35 Tahun 1963.

Pendidikan

Di lingkungan rumahnya, KH. Zainul Arifin Pohan menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah dan di Surau tempat mengaji. Beliau juga belajar agama saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat.

KH. Zainul Arifin juga merupakan seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul Bangsawan, sebagai penyanyi dan pemain biola. Sebagaimana tercatat di dalam buku sejarah, dinyatakan bahwa Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia.

Menjadi Ketua Cabang NU

Dalam usia 16 tahun KH. Zainul Arifin Pohan merantau ke Batavia (Jakarta) dan sempat diterima bekerja di pemerintahan Kotapraja Kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta Pusat. Di sana beliau sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat resesi global yang bermula dari Amerika dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda.

Selepas bekerja di Gemeente, beliau memilih bekerja sebagai guru Sekolah Dasar dan mendirikan balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). KH. Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkannya sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang Pendidikan Hukum, namun menguasai Bahasa Belanda.

Selain itu, beliau pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, yakni Samrah. Beliau sempat mendirikan kelompok Samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian ini, beliau berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, seperti Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Mereka berdua kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.

Pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda semakin meningkat selama menjadi anggota GP Ansor. Hal ini disebabkan oleh pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor, di antaranya adalah KH. Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Shiddiq, KH. Muhammad Ilyas, dan KH. Abdullah Ubaid. Hanya dalam beberapa tahun saja, Kiyai Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.

Panglima Hizbullah Masyumi

KH. Zainul Arifin Pohan ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah, yang dilakukannya selama era pendudukan militer Jepang.

Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan Tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa.

Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur Tonarigumi dalam membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Kiyai Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

KH. Zainul Arifin kemudian bertugas mewakili Partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Kiyai Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II.

Dalam memimpin Laskar Hizbullah, Kiyai Zainul menggunakan jalur Tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Kiyai Arifin lantas terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatra Barat.

Tugas utama Kiyai Zainul saat itu adalah melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, KH. Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, beliau justru memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur politik.

Karier Politik

KH. Zainul Arifin Pohan kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian sempat menjadi Wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiyiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952.

Setahun sesudahnya, Kiyai Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri (Waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan Menteri (sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai Waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Pada tahun 1955 itu pula Kiyai Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana beliau dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud.

KH. Zainul Airifin merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, di mana jumlah kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi.

Selain kembali ke parlemen sebagai Wakil Ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Kiyai Zainul Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru.

Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang bersikeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.

Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, KH. Zainul Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. 


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 02 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 02 September 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya