Gus Dur Pernah Meriwayatkan Sebuah Kuburuan, Begini Kisahnya

 
Gus Dur Pernah Meriwayatkan Sebuah Kuburuan, Begini Kisahnya

LADUNI.ID, Jakarta - “Kang, kemarin saya mampir ke makam Mbah Kerto.” kata Gus Dur kepada Muhammad AS. Hikam. Hikam yang asal Tuban Jawa Timur itu bertanya antusias, “Mbah Kerto itu siapa, Gus?”

“Loh, masak sampean ndak tahu. Itu makam yang di Bandungrejo, deket rumah sampean di Plumpang, Tuban.”

“Wah, saya malah nggak tahu Gus ada makam Mbah Kerto. Lagi pula, itu siapa, Gus?”

“Walaah, sampean ini gimana… .Mbah Kertowijoyo itu salah satu Waliyullah yang ada di Tuban. Saya dan Mbah Kiai Abdullah Faqih Langitan sering ke sana. Yang jaga makam kan Mbah Noko, dulu santrinya Almaghfurlah ayah sampean, KH. Abd. Fatah…”

Dialog di atas terjadi di era 1990-an. Muhammad AS Hikam memuat obrolan tersebut dalam bukunya, Gus Durku, Gus Dur Anda, Gus Dur Kita (Bandung: Yrama Media, 2013).

Selama puluhan tahun, makam Mbah Kertowijoyo banyak didatangi para pegiat klenik dengan kelakuan yang aneh-aneh. Masyarakat malah menganggap apabila Mbah Kertowijoyo adalah tokoh Kejawen.

Hingga akhirnya, Gus Dur bersama KH. Abdullah Faqih (Pengasuh PP. Langitan Tuban) mulai rutin berziarah dan tahlilan di sana, serta membersihkan makamnya. “Islamisasi makam” dijalankan. Penjaga makam kemudian juga berasal dari seorang santri. Siapa sebenarnya Mbah Kertowojoyo ini hingga Gus Dur dan KH. Abdullah Faqih memuliakannya?

Dalam buku tersebut, Muhamamd AS Hikam menyebut apabila Mbah Kertowijoyo bernama asli Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Husaini, seorang dzuriyyah Rasulullah yang juga salah satu penasehat militer zaman Amangkurat II.

Dalam folklore tentang riwayat hidup Mbah Kertowijoyo diceritakan bahwa beliau hijrah ke daerah Tuban setelah Amangkurat II berkuasa dan pro Belanda. Mbah Kertowijoyo pun bergabung dengan pasukan Trunojoyo yang melakukan pemberontakan melawan gabungan kekuatan kolonial dan kesultanan Mataram yang anti terhadap para ulama itu.

Kekalahan Trunojoyo membuat Mbah Kertowijoyo mengingkir ke Jatim. Demi menghindari endusan telik sandi Mataram, beliau mengubah namanya menjadi Kertowijoyo. Nama ini beliau gunakan hingga akhir hayatnya. Masyarakat sangat menghormatinya, karena selain ahli di bidang agama, beliau juga memiliki ilmu kanuragan tinggi dan pakar di bidang pengobatan. Generasi setelahnya juga mempercayai apabila Mbah Kertowijoyo merupakan seorang waliyullah.

Sayang sekali, ratusan tahun setelah beliau wafat, makamnya tidak terawatt. Kalaupun ada pengunjung, tiada lain hanya untuk melakukan ritual aneh-aneh seperti berharap bisikan gaib seputar lotere SDSB dan sebagainya. Jauh dari nuansa Islam.

Akhinya, di awal 1990-an itulah, Gus Dur bersama KH. Abdullah Faqih berusaha membersihkan kembali makam Mbah Kertowijoyo. Usaha ini tidak sia-sia. Peziarah kembali ramai dan lantunan ayat suci Alquran serta zikirnya kembali mengalun di area makam. Bahkan, haul Mbah Kertowijoyo alias Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Husaini setiap tahun juga ramai dihadiri para peziarah. Langkah Gus Dur dan KH. Abdullah Faqih bisa dilihat dari berbagai perspektif.

Pertama, keduanya melakukan eskavasi spiritual-arkeologis yang sangat bernilai karena telah “menggali” makam seorang waliyullah yang hidup empat abad silam.

Kedua, Gus Dur dan KH. Abdullah Faqih telah mengembalikan martabat makam tersebut: dari yang sebelumnya hanya menjadi jujukan pencari nomor lotere hingga kemudian menjadi destinasi wisata spiritual yang ramai hingga kini.

Ketiga, Gus Dur telah melakukan langkah taktis menyambungkan kembali akar genealogis-spiritualistik yang sebelumnya terputus.

Masyarakat akhirnya tahu jika makam di Plumpang Tuban tersebut berisi jasad seorang ulama cum penasehat militer di era Mataram, bukan seorang tokoh Kejawen sebagai mana desas-desus sebelumnya. Wallahu A’lam Bisshawab


Artikel ini ditulis oleh Achmad Hanif