Ketentuan Waktu yang Diharamkan untuk Melaksanakan Shalat

 
Ketentuan Waktu yang Diharamkan untuk Melaksanakan Shalat
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta -  Shalat merupakan sarana paling utama bagi seorang hamba dalam berkomunikasi atau bermunajat dengan Allah SWT. Pada dasarnya, kapan pun dan di mana pun seseorang diperbolehkan melakukan shalat sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Namun demikian, di dalam fiqih yang membahas terkait petunjuk pelaksanaan ibadah terdapat ketentuan adanya beberapa waktu yang mana seseorang tidak diperbolehkan melakukan shalat di dalamnya. Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami dalam kitabnya Safinatun Naja menyebutkan ada lima waktu yang diharamkan untuk melaksanakan shalat. Sedangkan, pembahasan shalat apa yang dilarang dilaksanakan di dalam waktu tersebut akan dijelaskan setelah pembahasan tentang waktunya terlebih dahulu.

Terkait pembahasan ini, Syaikh Nawawi Banten dalam kitabnya Kasyifatus Saja menjelaskan lebih rinci lima waktu tersebut, sebagaimana berikut ini:

1. Ketika Terbitnya Matahari 
Waktu haram shalat yang pertama ini dimulai sejak mulai terbitnya matahari sampai dengan meningginya sekira seukuran satu tombak. Dalam rentang waktu tersebut tidak diperbolehkan melakukan shalat. Namun bila posisi tinggi matahari sudah mencapai satu tombak maka sah melakukan shalat secara mutlak.

2. Ketika Waktu Istiwa Sampai dengan Tergelincirnya Matahari Selain pada Hari Jumat
Waktu istiwa adalah waktu di mana posisi matahari tepat di atas kepala. Pada saat matahari berada pada posisi ini diharamkan melakukan shalat. Perlu diketahui bahwa waktu istiwa’ sangat sebentar sekali sampai-sampai hampir saja tidak bisa dirasakan sampai matahari tergelincir.  Keharaman melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jumat. Artinya shalat yang dilakukan pada hari Jumat dan bertepatan dengan waktu istiwa’ tetap diperbolehkan dan sah shalatnya.

3. Ketika Matahari Berwarna Kekuning-kuningan Sampai dengan Tenggelamnya
Waktu ini dilarang berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

ثَلَاثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا: حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ، وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu di mana Rasulullah SAW melarang kita shalat dan mengubur jenazah di dalamnya: ketika matahari terbit sampai meninggi, ketika unta berdiri di tengah hari yang sangat panas sekali (waktu tengah hari) sampai matahari condong, dan ketika matahari condong menuju terbenam hingga terbenam.”

4. Setelah Melakukan Shalat Subuh Sampai dengan Terbitnya Matahari
Keharaman shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat Subuh secara adaan atau tepat pada waktunya, bukan qodho’an.

Gambaran contoh kasusnya sebagai berikut: Anggaplah waktu shalat Subuh dimulai dari jam 4 pagi dan pada jam 5 matahari telah terbit yang juga berarti habisnya waktu Subuh. Ketika seseorang melakukan shalat Subuh pada jam 4.15 menit umpamanya, atau pada jam berapapun ia melakukannya selama masih di waktu Subuh, maka setelah selesai shalat Subuh ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunnah sampai dengan terbitnya matahari dan bahkan sampai matahari meninggi kira-kira satu tombak. Karena saat terbitnya matahari sampai dengan meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam rentang waktu jam 4 sampai jam 5 pagi selagi ia belum melakukan shalat subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun. 

Adapun orang yang melakukan shalat subuh secara qodho’an pada waktu shalat Subuh, maka ia diperbolehkan melakukan shalat lain setelahnya. Sebagai contoh kasus, seumpama seseorang pada hari kemarin karena suatu alasan belum melakukan shalat Subuh lalu meng-qodho’-nya pada waktu Subuh hari ini. Setelah ia melakukan shalat subuh qodho’ tersebut ia tidak dilarang melakukan shalat lainnya.

5. Setelah Melakukan Shalat Ashar Sampai dengan Tenggelamnya Matahari
Sebagaimana diharamkan melakukan shalat setelah shalat Subuh di atas juga diharamkan melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan shalat Ashar secara adaan atau pada waktunya. 

Sebagaimana contoh kasus di atas, juga bagi orang yang pada waktu shalat Ashar melakukan shalat Ashar qodho sebagai pengganti shalat Ashar yang belum dilakukan pada hari sebelumnya, maka ia diperbolehkan melakukan shalat lainnya. Keharaman melakukan shalat setelah melakukan shalat Ashar ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari.

Rasulullah SAW bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

“Tak ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi dan tak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Imam Bukhari).

Lalu, perlu dijelaskan tentang shalat apa yang haram dilakukan pada kelima waktu tersebut. Apakah termasuk apapun shalatnya tidak boleh dilakukan pada kelima waktu haram tersebut, ataukah ada ketentuan yang lain seperti pengecualian.

Syaikh Nawawi Banten dalam kitabnya Kasyifatus Saja, menuturkan bahwa shalat yang diharamkan dilakukan pada kelima waktu itu adalah shalat sunnah yang tidak memiliki “sebab” yang mendahului dan tidak memiliki “sebab” yang mengiringi. Sebagai contoh adalah shalat Tahiyatul Masjid. Ini adalah shalat sunnah yang dilakukan karena adanya sebab yang mendahului shalatnya, yakni masuknya seseorang ke dalam masjid. Kapanpun seseorang masuk masjid ia disunahkan melakukan shalat Tahiyatul Masjid meskipun di dalam salah satu dari lima waktu yang terlarang untuk shalat.

Sedangkan contoh shalat sunnah yang memiliki sebab yang mengiringi adalah shalat Gerhana Bulan dan Matahari. Shalat sunnah ini mesti dilakukan tepat beriringan dengan waktunya bulan dan matahari mengalami gerhana, tidak bisa dilakukan sebelum atau sesudah gerhananya usai. Maka, jika terjadi gerhana pada waktu yang diharamkan untuk shalat sebagaimana di atas, maka menjadi tidak haram hukumnya melakukan shalat sunnah Gerhana pada waktu tersebut.

Dengan kata lain, shalat yang dilarang dilakukan pada lima waktu tersebut adalah shalat sunnah mutlak atau shalat sunnah yang memiliki sebab yang terjadi setelah shalatnya dilakukan. 

Shalat sunah mutlak adalah shalat sunah yang tidak terikat dengan apapun. Ia dilakukan begitu saja tanpa adanya sebab tertentu. Sebagai contoh, ketika Anda memiliki waktu luang dan ingin mengisinya dengan ibadah kepada Allah, maka Anda bisa melakukan shalat dua rakaat atau lebih. Shalat seperti ini disebut shalat sunnah mutlak. Kapanpun dan di manapun Anda bisa melakukannya, hanya saja dilarang dilakukan pada kelima waktu tersebut.

Adapun shalat sunah yang memiliki sebab yang terjadi setelah dilakukannya shalat, contohnya adalah seperti shalat sunnah Safar, yakni shalat sunnah yang dilakukan ketika seseorang hendak melakukan satu perjalanan. Sebab dilakukannya shalat sunnah ini adalah adanya perjalanan yang akan dilakukan. Karena perjalanannya -sebagai sebab- baru akan dilakukan setelah dilaksanakannya shalat, maka shalat sunnah Safar ini tentu tidak diperbolehkan dilakukan pada kelima waktu yang dilarang.

Perlu diketahui juga bahwa keharaman melakukan shalat di lima waktu tersebut tidak berlaku di tanah suci Makkah. Artinya, di tanah suci Makkah seseorang diperbolehkan melakukan shalat apapun di waktu kapanpun yang ia mau, termasuk di salah satu dari lima waktu yang diharamkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ

“Jangan kalian larang seseorang berthawaf dan shalat di rumah ini (Kakbah) kapanpun ia mau, baik siang malam maupun siang.” (HR. An-Nasa'i)

Adapun di Madinah berlaku hukum sebagaimana umumnya tempat, tidak seperti di Kota Makkah. Jadi, kelima waktu yang dilarang di atas juga berlaku di Madinah. Wallahu ‘Alam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 10 Februari 2023. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim