Ini Jawaban Telak Kyai NU pada Wahabi yang Suka Gugat Shalawat dan Tawassul

 
Ini Jawaban Telak Kyai NU pada Wahabi yang Suka Gugat Shalawat dan Tawassul

LADUNI.ID, Jakarta – Pada peringatan Hari Santri Nasional Tahun lalu, PBNU menggelar beberapa kegiatan, di antaranya Kirab Resolusi Jihad NU dan pembacaan 1 Miliar Shalawat Nariyah. Kegiatan terakhir, yakni pembacaan Shalawat Nariyah digugat kalangan Wahabi Takfiri karena dinilai mengandung unsur syirik. Mereka menuding shalawat tersebut bukan berasal dari Nabi, dan sebagainya.

KH Ma’ruf Khozin, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim menerangkan bahwa di antara gugatan tersebut adalah penggunaan kata “Sayidina Muhammad”.

“Kalau yang dipermasalahkan karena dalam Shalawat Nariyah ada kata Sayidina, maka menyebut Rasulullah dengan Sayid pun sudah disampaikan oleh Sahabat dengan sanad yang sahih,” terang anggota LBM PWNU Jatim itu.

menurut Kiai Ma’ruf Hadits tersebut adalah, “Jika Ibnu Umar diundang untuk menikahkan, ia berkata: “Alhamdulillah, semoga Allah bershalawat kepada Sayidina Muhammad. Sungguh fulan melamar kepada kalian. Jika kalian menikahkannya maka Alhamdulillah. Jika kalian menolaknya maka Maha Suci Allah” Riwayat al-Baihaqi 7/181. Syekh Albani berkata: “Sahih” (Irwa’ al-Ghalil, 6/221).

Berdasarkan riwayat Hadits tersebut, Shalawat Nariyah yang di dalamnya terdapat penyebutan kata Sayidina tersebut telah sejak masa Nabi dilakukan pula oleh para sahabat Nabi.

Mengenai tudingan Wahabi bahwa Shalawat Nariyah sebagai perbuatan bid’ah karena bukan berasal dari Rasulullah langsung, Dewan Pakar Aswaja NU Center Jatim KH Ma’ruf Khozin mengatakan, bahkan Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid Syaikh Ibn Taimiyah sendiri pun telah meriwayatkan beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf.

Menurut Kiai Ma’ruf Khozin, hal itu terdapat dalam kitabnya Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam. Antara lain shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud:

“Ya Allah, jadikanlah shalawat-Mu, rahmat-Mu dan berkah-Mu kepada junjungan para Rasul, imam orang-orang bertakwa, penutup seluruh Nabi, Muhammad, hamba-Mu, utusan-Mu, Imam kebaikan, penuntuk kebaikan, Rasul yang membawa rahmat. Ya Allah, tempatkan ia di tempat terpuji yang dikelilingi oleh orang-orang awal dan akhir.” (Jala’ al-Afham, 36)

Juga Shalawat ‘Alqamah al-Nakha’i, seorang tabi’in:

“Semoga Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada Muhammad. Salam kepadamu wahai Nabi, juga rahmat Allah dan berkah Allah” (Jala’ al-Afham, 75)

Termasuk pula Shalawat Imam Syafi’i sebagai berikut:

“Semoga Allah memberi shalawat kepada Muhammad sebanyak hitungan orang-orang yang dzikir dan sebanyak hitungan orang-orang yang lalai mengingatnya” (Jala’ al-Afham, 230)

Kiai Ma’ruf Khozin menambahkan bahwa beberapa redaksi shalawat Nabi yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf yang diriwayatkan oleh Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnyaJala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam.

“Hal tersebut kemudian dilanjutkan para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga lahirlah Shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, Al-Fatih, Al-Munjiyat dan lain-lain,” pungkasnya.

Sementara itu, mengenai alasan penolakan Wahabi terhadap Shalawat Nariyah karena mengandung unsur tawassul, KH Ma’ruf Khozin mengatakan, berdasar hadis sahih bahwa Utsman bin Hunaif melihat Nabi mengajarkan doa tawassul kepada orang buta dan ia membacanya (HR At-Tirmidzi). Lalu, lanjut Kiai Ma’ruf, oleh Utsman bin Hunaif doa tawassul tersebut diajarkan kepada seorang yang menemukan kesulitan untuk masalah yang ia hadapi di masa Sayidina Utsman (HR Tabrani).

“Dari sini dapat disimpulkan, banyak para ulama berpendapat bahwa bertawassul dengan Nabi adalah diperbolehkan,” katanya.

Kemudian Kiai Ma’ruf menyebutkan pendapat para ulama yang memperbolehkan tawassul tersebut. Bentuk istighatsah (tawassul) yang pertama adalah meminta kepada Allah dengan perantara (Nabi atau kekasih Allah) untuk melapangkan kesulitan. Ia tidak meminta kepada perantara suatu apa pun. Misalnya: “Ya Allah, dengan derajat Nabi-Mu maka lapangkanlah kesulitanku”. Dalam masalah ini ia hanya meminta kepada Allah, meminta tolong kepada Allah, tidak meminta tolong kepada perantara.

Ulama fikih sepakat bahwa bentuk semacam ini bukanlah perbuatan syirik, sebab hanya meminta kepada Allah, bukan meminta kepada perantara.

Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya, menjadi 3 pendapat. Pendapat pertama adalah boleh bertawassul dengan para Nabi dan orang saleh, baik ketika mereka hidup atau sesudah wafat. Hal ini disampaikan oleh Malik, As-Subki, Al-Karmani, An-Nawawi, Al-Qasthalani, As-Sumhudi, Ibnu al-Haj dan Ibnu al-Jazari (Mausu’ah al-Kuwaitiyah 5/22).

“Sementara yang melarang tawassul hanyalah Syaikh Ibnu Taimiyah dan pengikutnya saja,” pungkasnya.