Biografi Imam Izzuddin bin Abdissalam

 
Biografi Imam Izzuddin bin Abdissalam

Daftar Isi Profil Imam Izzuddin bin Abdissalam

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keturunan
  4. Nama Laqob
  5. Pendidikan
  6. Guru-Guru
  7. Penerus
  8. Karier Intelektual
  9. Pujian Para Ulama Kepadanya
  10. Karya-Karya

Kelahiran

Abu Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam bin Abul Qosim bin Al-Hasan bin Muhammad bin Muhadzdzab As-Sulmi Al-Maghrobi Ad-Damasyqi Al-Mishri Asy-Syafi’i lahir pada tahun 577 H dan ada yang menyatakan beliau lahir pada tahun 578 H di Damaskus, Syiria.

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam dilahirkan dari keluarga miskin dan dari keturunan biasa, karena itulah sangat sedikit informasi yang didapat mengenai kehidupan masa kecil beliau dan sejarah nenek moyang beliau, karena memang beliau bukanlah keturunan seorang ulama’, orang terpandang, atau pemimpin pemeritahan. Syaikh Ibnu As-Subki mengisahkan, bahwa pada masa awal hidupnya Imam Izzuddin sangat faqir, karena itulah beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua.

Wafat

Ketika beliau mengundurkan diri dari jabatan sebagai Qadli, sang raja mengharapkan agar beliau berkenan menduduki jabatan itu lagi. Lalu beliau menerimanya dan meminta dengan sangat untuk dibebaskan dari jabatan sebagai qadli, lalu beliau diangkat sebagai guru di madrasah yang terkenal dengan nama Madrasah Shalihiyyah. Imam Suyuthi mengatakan bahwa karomah Imam Ibnu Abdissalam sangat banyak. Beliau memakai pakaian tasawuf dari al-Syihab al-Sahrawarai sebagaimana beliau menghadiri majlis Syaikh Abu al-Hasan al -Syadili. Syaikh Abu Hasan mengatakan tidak ada di muka bumi ini suatu majlis fikih yang lebih utama dibandingkan majlisnya Syaikh Izzuddin bin Abdissalam. ‎

Imam Sya’roni memberikan penjelasan yang beliau nuqil dari Syaikh Izzuddin Ibn Abdis ‎Salam “Karomah (khowariqul Adah) merupakan salah satu bukti kongkrit bahwasannya ‎para sufi menjalani prinsip dasar agama secara optimal yang mana hal ini tidak terjadi pada ‎fuqoha’ (ahli fiqih) kecuali jika mau menempuh jalan yang telah dilalui oleh para sufi”. ‎Statement ini beliau (Syaikh Izzuddin Ibn Abdis Salam) nyatakan setelah beliau berguru ‎pada Syaikh Abu Hasan As Syadzily.‎

Sebelum menjadi murid Syaikh Abu Hasan As Syadzily, beliau mengingkari jalan yang ‎ditempuh oleh para sufi sembari berkomentar “Apakah wusul (sampai) kepada Allah SWT ‎bisa ditempuh dengan selain Al Qur’an dan As Sunnah”. Namun setelah beliau ‎merasakan apa yang telah di alami oleh para sufi dan beliau mampu mematahkan rantai ‎yang terbuat dari besi dengan hanya menggunakan secarik kertas dimana ini merupakan ‎salah satu karamah yang di anugerahkan oleh Allah SWT kepadanya, maka barulah beliau ‎membenarkan dan memuji para sufi setinggi langit.‎

Walaupun beliau sangat keras, beliau menghadiri majlis dzikir ahli tasawwuf dan berjoget bersama mereka. Muridnya al-Qadli Ibnu Daqiq al-Id mengatakan: “Syaikh Izzuddin bin Abdissalam adalah salah satu raja para ulama. Beliau wafat di Mesir pada tahun 660 dan dimakamkan di pekuburan al-Qarrafah al-Kubra.‎

Keturunan

Abdul Lathif Ibnu Izzuddin

Nama Laqob

Nama asli Imam Izzuddin adalah Abdul Aziz, Abu Muhammad adalah kunyah beliau, sedangkan “izzuddin”, yang artinya “kebanggaan agama” adalah laqob (julukan/gelar) beliau. Pemberian gelar dengan tambahan “ad-din” (agama) sedang masyhur dikala itu, banyak para ulama’ dan para pemimpin menambahkan kata tersebut dalam gelar mereka, sebut saja semisal Sholahuddin Yusuf, Ruknuddin Adzdzohir Beibres, Tajuddin Abdul Wahab bin Bintul Al’A’azz, dan lainnya. Namun biasanya penyebutan nama beliau disingkat dengan “Al-‘Izz bin Abdussalam”.

Selain gelar Izzuddin, beliau juga diberi gelar “Sulthonul Ulama’” yang artinya sultan/raja  dari para ulama’, gelar ini dipopulerkan oleh murid beliau, Imam Ibnu Daqiq Al-’Id. Kemungkinan gelar ini disematkan pada nama beliau lantaran beliau dikenal sebagai seorang ulama’ yang berani menentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang tak sejalan dengan ajaran agama, dan mendatangi para penguasa untuk menyampaikan hujah-hujah beliau dihadapan mereka.

Adapun nisbat As-Sulmi (huruf sin-nya dibaca dhommah, sebagaimana yang tertera pada lampiran pertama naskah kitab tafsir brliau, dan juga sebagaimana dikemukakan dalam beberapa sumber yang menjelaskan biografi beliau) mengarah pada satu kabi;lah yang bernama Bani Sulaim, salah satu kabilah yang masih dari kabilah-kabilah Mudhor.

Daerah asal nenek moyang beliau adalah daerah Maghrib (Maroko) karena itu terdapat kata “Al-Maghrobi” pada nisbat beliau. Lalu nenek moyang beliau pindah ke Damaskus, dan disitulah beliau dilahirkan, makanya beliau diberi nisbat “Ad-Damasyqi”. Sedangkan nisbat “Al-Mishri” dicantumkan dalam nama beliau sebab beliau pindah ke Negara mesir dan menetap disana. Adapun nisbat “Asy-Syafi’i” sudah maklum kiranya sebab beliau merupakan pengikut madzhab Syafi’i meskipun dalam beberapa hal beliau memiliki pendapat yang berseberangan dengan madzhab syafi’i.

Pendidikan

Meskipun beliau baru mulai menuntut ilmu pada usia tua, namun beliau sangat bersemangat menghafalkan kitab dan giat belajar, dan secara berkala mengaji pada para ulama’ besar pada masa beliau, semua itu beliau lakukan untuk menebus masa kecil beliau yang tak sempat mengenyam pendidikan karena keadan keluarga beliau yang miskin.

Ketekunan dan ketelatenan beliau bisa kita lihat dari sikap beliau yang tak mau memutuskan pelajaran sebelum menyelesaikannya. Dikisahkan bahwa suatu ketika guru beliau berkata; “Engkau sudah tidak membutuhkan apa-apa dariku lagi”, namun Imam Izzuddin tetap saja mengaji dengan tekun kepada sang guru dan mengikuti pelajaran sang guru hingga selesai kajian kitab yang diajarkan.

Ketekunan beliau juga dituunjukkan dengan jarangnya tidur pada malam hari, beliau pernah berkata bahwa selama 30 tahun beliau tidak tidur sebelum benar-benar memahami kitab yang sedang beliau pelajari. Selain itu lingkunagn dimana beliau tinggal, yaitu Damaskus pada waktu itu adalah kawasannya para ulama’, daerah yang dipenuhi ulama’-ulama’ yang masyhur dalam berbagai ilmu.

Guru-Guru

  1. Al 'Amidi
  2. Al-Qodhi Abdus Shomad Al-Harostani
  3. Syaikh Saifuddin Al-Amidi
  4. Imam Fakhruddin bin ‘Asakir
  5. Syaikh Al-Qosim bin ‘Asakir
  6. Al-Hafidz Baha’uddin Abu Muhammad Al-Qosim bin Al-hafidh Al-Kabir Abul Qosim bin Asakir
  7. Syaikh Abdullathif bin Syaikhus Syiuyukh
  8. Syaikh Al-Khusyu’I
  9. Syaikh Hanbal Ar-Rushofi
  10. Syaikh Umar bin Thobarzad

Penerus

  1. Abdul Lathif Ibnu Izzuddin (anak)
  2. Ibnu Daqiqil'id
  3. 'Alauddin Abu al-Hasan al-Baji

Karier Intelektual

Setelah imam izzuddin belajar kepada guru-guru tersebut, beliau mulai kehidupan intelektual beliau dengan mengajar, berfatwa dan menjadi khothib. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci kegiatan-kegiatan beliau tersebut.

Pertama Mengajar

Pendidikan

Selama beliau tinggal di Damaskus, beliau mengajar dibeberapa madrasah, diantaranya :

1. Madrasah Al-‘Aziziyah

Imam Izzuddin ditetapkan sebagai staf pengajar dimadrasah ini, yang juga merupakan tempat mengajar guru beliau, Imam Saifuddin Al-Amidi, beliau sudah mulai mengajar ditempat ini saat guru beliau itu juga masih mengajar disana.

2.  Zawiyah Al-Ghozaliyah

Zawiyah Al-Ghozaliyah adalah sebuah tempat kecil yang berada disalah satu sudut masjid jami’ al-umawi (zawiyah artinya pojokan). Tempat ini dinamakan zawiyah al-ghozaliyah karena sering dipakai olehimam Ghozali sebagai tempat i’tikaf dan juga mengajar murid-muridnya. Tempat ini merupakan tempat yang digunakan sebagai tempat mengajar oleh beberapa ulama’ besar pada masa itu. Imam Izzuddin ditetapkan oleh Sultan Al-Kamil sebagai pengajar ditempat itu menggantikan Syaikh Jamaluddin bin Muhammad Ad-Daula’i  yang telah wafat.

Kedua Berfatwa

Pada masa beliau memberikan fatwa bukanlah tugas resmi dimana pemerintah menetapkan seseorang menjadi mufti yang memiliki tugas khusus untuk memberikan fatwa, Berfatwa adalah tanggung jawab moral yang dijalankan oleh seorang ulama’ yang sudah ahli, wira’i dan bertakwa. Jika ada orang yang sudah memenuhi kriteria tersebut maka masyarakat dengan sendirinya akan mendatangi orang tersebut untuk dimintai fatwa mengenai satu permasalahan. Jadi pada masa beliau berfatwa bukanlah tugas dari pemerintah namun murni karena Allah semata.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, imam izzuddin sangat terpengaruh dengan ketegasan guru-gurunya dalam berfatwa dan tak memperdulikan jika pendapat beliau bertentangan dengan penguasa.

Dikisahkan bahwa beliau memiliki pendapat yang berbeda dengan Sultan Al-Asraf mengenai masalah hakikat al-qur’an, yang pada kurun itu merupakan salah satu masalah yang menyebabkan fitnah yang sangat besar dikalangan kaum muslimin. Beberapa orang yang mengetahui bahwa pendapat beliau berbeda dengan sultan sengaja mengajukan pertanyaan tersebut kepada imam izzuddin, dan nanti jawaban itu akan disampaikan kepada sang raja. Saat orang-orang itu menghadap beliau berkata; “permintaan untuk menulis fatwa mengenai masalah ini adalah ujian bagiku, demi Allah aku hanya akan menulis pendapat yang haq”.

Lalu beliau menulis kitab beliau yang masyhur “Milhatul I’tiqod”. Ketika kitab itu dibaca oleh Sultan Asyraf, ia marah dan menuliskan jawaban dari kitab fatwa tersebut, setelah sampai pada imam izzuddin, jawaban sang raja diminta untuk dikembalikan lagi. Hal ini membuat sultan marah besar lalu mengutus perdana menterinya yang bernama Al-Ghoroz untuk mendatangi imam izzuddin dan memberitahukan 3 keputusan yang diberlakukan bagi beliau, yaitu; larangan memberikan fatwa, tidak boleh bertemu dengan siapapun dan tidak boleh keluar rumah.

Setelah mendengar apa yang disampaikan oleh Al-Ghoroz, imam izzuddin berkata : “Wahai Ghoroz, 3 ketetapan itu adalah nikmat yang sangat besar dari Allah kepadaku, yang wajib disyukuri selamanya. Aku memberikan fatwa secara suka rela dan sebenarnya aku tidak menyukainya karena aku berkeyakinan bahwa seorang mufti berada ditepi neraka jahannam, jika saja bukan karena aku meyakini bahwa tugas ini merupakan kewajiban dari Allah yang harus aku emban dimasa ini tentu aku tak akan mengerjakannya, dan sekarang aku telah memiliki udzur untuk tidak melaksanakan tugas tersebut dan aku terbebas dari tanggunganku, jadi aku patut berucap Alhamdulillah.

Wahai Ghoroz, ketetapan agar aku tetap dirumah merupakan suatu keberuntungan bagiku, karena keadaan itu adalah kesempatan bagiku untuk menghabiskan waktu beribadah kepada Allah, karena orang yang beruntung adalah orang yang tetap tinggal didalam rumah,  menangisi segala kesalahan yang telah diperbuat dan menyibukkan diri beribadah kepada Allah. Sultan member keputusan itu karena marah sedangkan aku yang menerimanya malah senang.

Demi Allah, wahai Ghoroz, andai saja aku memiliki mahkota yang pantas untukmu akan aku lepas dan kuberikan padamu sebagai imbalan surat yang berisi kabar gembira dari sang raja, ambillah sajadah ini dan pakailah untuk sholat. Setelah beliau menyerahkan sajadah itu Ghoroz kembali keistana untuk menghadap sultan dan menyampaikan semua yang dikatakan imam izzuddin. Mendengar cerita itu sang raja berkata kepada orang-orang yang hadir disityu; “Coba katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan kepada dia, lelaki ini menganggap hukuman sebagai nikmat”.

Keadaan imam izzuddin yang dilarang berfatwa, tidak boleh bertemu siapa siapa dan keluar dari rumah berlangsung selama 3 hari, hingga akhirnya Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Hushoiri, seorang ulama’ pembesar madzhab Hanafi dimasa itu menghadap kepada sultan Al-Asyraf. Syaikh Jamaluddin berkata pada sultan; “Apa yang terjadi antara anda dan Ibnu Abdissalam, orang ini adalah seorang lelaki yang jika saja ia berada di negeri india atau berada diujung dunia, sudah sepantasnya bagi seorang sultan untuk pergi menghadap kepadanya, dan memintanya untuk tinggal dinegerinya agar negerinya bertambah berkah, dan agar negerinya berbangga karena ada seorang ulama’ besar yang tinggal dinegeri itu”.

Sultan berkata; “Saya memiliki tulisan fatwanya mengenai masalah aqidah, juga satu tulisan lagi yang ditulis sebagai jawaban atas satu pertanyaan”. Lalu sang sultan memperlihatkan kedua tulisan tersebut dan membacanya dari awal sampai akhir, setelah membacanya Syaikh Jamaluddin berkata; “Ini adalah i’tiqod dan keyakinan semua orang islam dan merupakan syi’ar orang-orang sholih, semua yang tertulis disitu adalah benar”.

Mendengar pernyataan dari Syaikh Jamaluddin sang sultan mengakui kesalahannya lalu berucap; “Kami memohon ampun pada Allah atas segala yang telah terjadi dan kami akan membayar kesalahan kami dengan memberikan hak beliau”. Setelah kejadian itu sultan meminta maaf kepada beliau Imam izzuddin. Semenjak saat itu sang sultan menuruti semua fatwa beliau dan meminta pertimbangan beliau sebelum mengambil keputusan.

Pada saat sang sultan sakit parah dan merasa bahwa ajalnya sudah dekat, sultan memanggil imam izzuddin untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang telah diperbuat kepada sang imam dan meminta beliau untuk memberikan nasehat. Memenuhi permintaan sultan, imam izzuddin memberikan nasehat untuk membatalkan pengiriman bala tentara yang telah disiapkan untuk memerangi saudara sultan Al-Asyraf yaitu sultan Al-Kamil yang berkuasa di Mesir, dan mengalihkan tentara tersebut untuk memerangi tentara Tartar yang menjadi musuh bersama, kala itu tentara Tartar sudah mulai mulai menguasai bagian timur Negara-negara islam. Sultan Asyraf mematuhi nasehat dan saran dari imam Izzuddin lalu mengirimkan pasukan untuk memerai tentara tartar.

Selain itu imam izzuddin memberikan nasehat kepada sultan agar menindak tegas para pegawainya yang berzina, suka mabuk-mabukan, meminta pungutan liar dari kaum muslimin dan bersikap dholim pada warga, beliau meminta sultan untuk memberantas semua itu. Beliau juga bercerita pada sultan bahwa sebagian dari hal-hal tersebut telah mampu beliau hilangkan dengan usahanya.

Setelah mendengar semua nasehat dari sang imam, sultan Asyraf berkata; “Semoga Allah membalas atas jasa anda pada agama dan atas semua nasehat yang telah anda berikan, dan semoga Allah mengumpulkan aku dengan anda kelak disurga”, lalu sang sultan memberikan uang 1000 dinan mesir namun beliau menolaknya seraya berkata ; “Pertemuan kita ini adalah murni karena Allah, karena itu aku tak akan mengotorinya dengan urusan dunia”.

Setelah meninggalnya Sultan Asyraf, kepemimpinan beralih kepada wakilnya yaitu Sultan Ismail. Maka Sultan Isma’il yang pada akhirnya menjalankan nasehat dari Imam Izzuddin untuk menindak pegawai-pegawai pemerintah yang suka melakukan kemungkaran.

Ketegasan imam izzuddin dalam memberikan fatwa juga ditampakkan pada masa pemerintahan Sultan Isma’il, beliau menentang kebijakan Sultan isma’il yang bersekongkol dengan tentara salib dan meminta bantuan mereka untuk berperang melawan Sultan Najmuddin Ayyub bin Kamil yang berkuasa di Mesir, tentu saja bantuan dari tentara salib itu tidak diberikan dengan cuma-cuma, Sultan Isma’il menyerahkan beberapa benteng yang sebelumnya dikuasai kaum muslimin kepada tentara salib.

Selain itu tentara salib diperkenankan masuk ke Damaskus untuk membeli alat-alat perang yang akan digunakan untuk berperang menyerang mesir. Para pembuat persenjataan perang dan penjualnya datang kepada Imam Izzuddin untuk menanyakan hukum membuat dan menjual alat-alat perang kepada tentara salib yang bersekongkol dengan Sultan Isma’il. Maka Imam Izzuddin memberikan fatwa bahwa hal tersebut dilarang, beliau berkata; “Diharamkan bagi kalian menjual pedang alat-alat perang kepada mereka, sebab kalian telah yakin bahwa mereka akan menggunakannya untuk memerangi saudara-saudara kalian sendiri yang sama-sama beragama Islam”. Fatwa inilah yang membuat sang raja marah besar pada beliau, namun Imam Izzuddin tak memperdulikan hal tersebut, karena bagi beliau memang fatwa itulah yang seharusnya diberikan.

Keahlian dan ketegasan beliau dalam berfatwa itulah yang membuat nama beliau dikenal dimana-mana, sampai sampai beberapa orang sengaja datang jauh-jauh menghadap beliau hanya untuk meminta fatwa. Kemasyhuran beliau juga sampai ke Negeri Mesir sebelum akhirnya beliau pindah kesana, ini terbukti ketika beliau pindah ke Mesir, ulama’ yang menjadi mufti disana, yaitu Al-Hafidh Al-Mundhiri sudah tak mau lagi memberikan fatwa, Imam Al-Mundhiri memberikan alasan; “Aku memberikan fatwa sebelum Syaikh Izzuddin datang, jika beliau telah datang maka beliau yang lebih pantas untuk menjadi mufti”

Ketiga Menjadi Khothib

Imam Izzuddin Ibnu Abdissalam menjadi khothib di masjid jami’ Al-Umawi pada masa pemerintahan Sultan isma’il, beliau mulai ditetapkan sebagai khothib pada bulan robi’ul awwal tahun 637 H. Pada saat menjadi khothib beliau menghilangkan beberapa hal yang beliau anggap sebagai perbuatan bid’ah, seperti mengetokkan pedang kemimbar, memakai pakaian hitam, menggunakan kalimat-kalimat yang diperindah yang terlalu dipaksakan dan pujian kepada para sultan. Pujian-pujian kepada sultan yang biasanya diucapkan ketika khutbah beliau ganti dengan do’a untuk mereka.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam Izzuddin menentang keras kebijakan sultan yang akan memerangi saudaranya sendiri, penguasa mesir dengan meminta bantuan tentara salib, dan beliau memberikan fatwa agar para penjual perlengkapan perang tidak menjualnya kepada tentara salib. Selain memberikan fatwa yang sangat berani, dalam khutbahnya beliau menyindir sang sultan dalam khutbah yang beliau sampaikan di Masjid jami’ Umayyah. Beliau mengucapkan do’a tidak seperti biasanya, beliau berdo’a;

اللهم أبرم لهذه الأمة أمرا رشدا تعز فيه وليك وتذل به عدوك ويعمل فيه بطاعتك وينهى فيه عن معصيتك

“Ya Allah, kuatkanlah umat ini dengan aturan yang benar, yang akan memuliakan kekasihMu dan merendahkan musuhMu, mengamalkan ketaatan kepadaMu dan mencegah berbuat maksiat kepadaMU”.

Ketika beliau menyampaikan khutbah itu sang sultan sedang berada diluar Damaskus, lalu setelah  Sang Sultan diberikan kabar akan hal itu ia semakin marah karena do’a itu jelas jelas menyindirnya, karena itulah ia mengeluarkan keputusan untuk memberhentikan imam izzuddin sebagai khotib dan menghukum beliau dengan hukuman tahanan. Namun setelah sultan kembali ke Damaskus atas berbagai pertimbangan ia memutuskan untuk melepaskan imam izzuddin. Dan setelah imam izzuddin keluar dari tahanan beliau pergi ke Baitul Maqdis dan berencana untuk pindah ke Mesir.

Pujian Para Ulama Kepadanya

Tajudin As-Subki menyebutnya sebagai Syaikhul Islam wal Muslimin, salah satu imam terkemuka, sultanul ulama, imam pada masanya yang tidak ada duanya, penyeru kepada yang ma’ruf dan pencegah kemungkaran, orang yang memahami hakikat, rahasia, dan maqasid (tujuan) syariat.

Ibnu Katsir menulis dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, “Al-Izzu adalah mahaguru mazhab dan pemberi manfaat pada kelompoknya. Ia memiliki karya-karya yang fenomenal, menguasai mazhab, menghimpun banyak ilmu, memberi kontribusi yang berarti bagi murid-muridnya, aktif mengajar di madrasah-madrasah, berhenti kepadanya tongkat kepemimpinan As-Syafi’iyah, dan ia dimintai fatwa di berbagai daerah. Ia adalah orang yang lemah lembut, rupawan serta banyak mengutip syair.”

Salah satu muridnya, Syaikh Sihabuddin Abu Syamah mengatakan,”Ia adalah orang yang lebih layak menyampaikan khutbah dan memimpin shalat. Ia telah menghilangkan bid’ah yang dilakukan oleh para khatib, seperti mengetukkan pedang pada mimpar. Ia juga mencegah orang-orang melakukan shalat Raghaib dan Nisfu Sya’ban.

Ulama yang Beramar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara tugas ulama yang paling utama adalah beramar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hal ini, Imam Al-Izzu berada di garda terdepan dalam mengaplikasikan tugas tersebut. Setiap kali melihat perbuatan ma’ruf ditinggalkan, ia menyeru umat untuk mengerjakannya. Sebaliknya bila perbuatan mungkar merajalela, ia tak segan-segan turun tangan mencegahnya.

Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa sebaik-baik jihad adalah mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim. Bagi seorang Al-Izzu, hadits tersebut sebagai pelecut semangat. Sehingga tidak jarang ia harus mendatangi para penguasa untuk sekedar menyampaikan nasihat dan kritikan di depan mereka secara langsung.

Pernah suatu ketika Imam Izzuddin Ibnu Abdus Salam menemui Sultan Najamudin Ayyub yang tengah duduk dalam istananya. Pada saat itu istananya yang megah tengah ramai. Imam Al-Izzu berkata,”Hai Ayyub, apa hujjahmu di depan Allah bila Dia bertanya padamu,’bukankah Aku telah memberikanmu kekuasaan di Mesir, lalu kenapa kamu menjual Khamar.’”

Sultan menjawab,”Apa itu benar terjadi?”

“Benar, seorang wanita menjual khamer di kedainya sedang engkau asyik-asyik duduk di istanamu!” Jawab sang Imam.

“Tuanku, itu adalah kebijakan sultan sebelumnya yaitu ayahku.” Sultan membela diri.

“Berarti engkau termasuk di antara mereka yang mengatakan ‘inna wajadna aba’ana ala ummah’ (Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk mereka).” Beliau lalu meminta sultan menutup kedai itu.

Imam Al-Izzu ditanya apa ia tidak takut saat mengeritik sultan di majelis yang penuh dengan orang-orang yang culas. Beliau menjawab,”Anakku, aku menghadirkan ketakutan pada Allah, serta merta sultan bagaikan kucing di hadapanku.” Sultan akhirnya menutup kedai yang dimaksud dan sejak saat itu ia berkomitmen tidak akan membiarkan setiap kemunkaran yang ada.

Ulama yang Mujahid

Tatkala tentara musyrik Tartar memasuki kota Baghdad, ibu kota daulah Abbasiah, mereka berhasil melengserkan kekuasaan kaum muslimin yang sudah rapuh saat itu. Mulailah mereka membantai kaum Muslimin tanpa ampun, menodai kehormatan Muslimah, serta membakar jutaan lembar buku-buku Islam dan sains. Selanjutnya mereka mengincar negeri Islam lain seperti Mesir dan Syam.

Di tengah kondisi genting, penguasa Syam dan Mesir sepakat berdamai. Sebelumnya mereka nyaris berperang untuk berebut pengaruh seiring melemahnya kekuatan Pemerintahan Baghdad. Maka para umara dan ulama melakukan rapat merembukkan langkah-langkah penting yang hendak dipersiapkan. Selain persoalan militer, persoalan yang dibahas adalah pendanaan jihad mengingat kas Negara nyaris ludes.

Majulah Imam Al-Izzu, dengan lantang beliau berkata, “Jika dana baitul mal nyaris habis, emas dan perak (bahan dasar mata uang dinar dan dirham) juga begitu, sedangkan kondisi para pejabat sama dengan kondisi rakyatnya, maka tidak masalah menarik pajak. Sebab pajak itu untuk melawan musuh, rakyat wajib memberikan hartanya, bahkan jiwanya.” Seketika mantaplah tekad para umara dan umara untuk memobilisasi kekuatan, baik harta dan pasukan. ‎

Imam Al-Izzu turut serta menghadang tentara Tartar bersama kaum Muslimin. Bahkan, beliaulah tokoh intlektual di balik aksi jihad itu. Sejarah mencatat bahwa pada tanggal 5 Ramadhan 658 H (1260 M) kaum Muslimin berhasil mematahkan serangan tentara Tartar di Ain Jaluth. Padahal pada masa itu, bangsa Tartar terkenal sebagai imperium yang begitu mendominasi. Namun, berkat persatuan dan semangat jihad yang digalang oleh Imam Al-Izzu, kaum Muslimin berjaya, bahkan berhasil merebut Irak, Uzbekistan, dan lain-lain.

Karya-Karya

Izzuddin Al-Husaini menilai Imam Al-Izzu sebagai tokoh sentral ilmu pada masanya yang menguasai berbagai disiplin keilmuan. Adapun menurut ulama lainnya, Imam Al-Izzu adalah Sultanul Ulama dan Syaikhul Ulama. Ia bagaikan lautan ilmu dan pengetahuan. Ia termasuk orang yang disebut “ilmunya lebih banyak daripada karyanya”. Di antara karya-karya beliau adalah:

Semoga Allah mensucikan ruhnya dan memberikan pahala yang sempurna kepada beliau atas amal dan jihadnya. Semoga kaum Muslimin memperoleh keberkahan ilmunya demi kejayaan Islam dan Muslimin.

  1. Al-Qawaid Al-Kubro
  2. Al-Qawaid As-Shughra
  3. Qawaidhul Ahkam fi Masalihil Anam
  4. Al-Imamah fi Adillatil Ahkam
  5. Al-Fatawa Al-Misriyah
  6. Al-Fatawa Al-Maushuliyah
  7. Majaz Al-Qur’an
  8. Syajarah Al-Ma’arif
  9. At-Tafsir
  10. Al-Ghayah fi Ikhtishar An-Nihayah
  11. Mukhtasar Shahih Muslim dan lain-lain
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya