Gerakan yang Membatalkan Shalat Menurut Para Ulama Madzhab

 
Gerakan yang Membatalkan Shalat Menurut Para Ulama Madzhab
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta – Umat Islam memiliki kewajiban melaksanakan shalat 5 waktu dalam sehari semalam yang harus dilaksanakan sebagai ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Selain shalat wajib, umat islam juga diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk melakukan shalat sunnah untuk memperoleh tambahan pahala dan juga menyempurnakan shalat 5 waktu.

Namun, shalat itu harus tenang dan khusyuk. Kita perlu memperhatikan apa saja hal-hal yang membatalkan shalat. Di antaranya adalah gerakan-gerakan yang bisa membatalkan shalat.

Sebagian besar dari kita banyak yang terlanjur meyakini bahwa tiga kali bergerak di luar gerakan rukun shalat akan membatalkan shalat yang kita kerjakan. Padahal ada sejumlah riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah berjalan membuka pintu, melepas sandalnya, menggendong dan meletakkan cucunya, hingga memindahkan orang dari samping kiri ke kanan beliau saat shalat, kalau dihitung tentu jumlah gerakannya akan lebih dari 3 kali.

Lantas seperti apa ukuran gerakan yang membatalkan shalat? Tentu kita perlu melacak lagi kepada riwayat-riwayat dimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  melakukan gerakan-gerakan di luar shalat, yang kemudian dari situ munculah ijtihad para ulama yang tertulis dalam kitab-kitab fiqhnya.

Hanafiyah
Dalam menanggapi riwayat tentang digendongnya umamah oleh Nabi saat shalat, dikatakan oleh imam Ali bin Zakariya:

إِن هَذَا كَانَ للضَّرُورَة - وَأحسن مَا يحمل عَلَيْهِ هَذَا الحَدِيث أَن يكون شرعا فِي جَوَاز الصَّلَاة مَعَ الْفِعْل الْكثير إِذا تكَرر مرَارًا وَكَانَ بَين كل مرّة فُرْجَة وَلم يكن متواليا

Sesungguhnya ini untuk keadaan darurat (mendesak) – dan sebaik-baiknya pesan yang diambil dari hadist ini adalah kebolehan gerakan yang banyak dalam shalat apabila dilakukan berkali-kali, tapi di setiap gerakan ada jeda dan tidak terus menerus (berlanjut tanpa jeda)[1].

Selanjutnya ditambahkan oleh imam Al-Kasani dalam menjelaskan hadist kebolehan membunuh ular dan kalajengking dan korelasinya dengan gerakan yang membatalkan shalat di kitabnya Badai’u-s-shana’i :

ومنها العمل الكثير الذي ليس من أعمال الصلاة في الصلاة من غير ضرورة فأما القليل فغير مفسد اختلف في الحد الفاصل بين القليل والكثير قال بعضهم: الكثير ما يحتاج فيه إلى استعمال اليدين والقليل ما لا يحتاج فيه إلى ذلك حتى قالوا: إذا زر قميصه في الصلاة فسدت صلاته، وإذا حل إزاره لا تفسد، وقال بعضهم: كل عمل لو نظر الناظر إليه من بعيد لا يشك أنه في غير الصلاة فهو كثير، وكل عمل لو نظر إليه ناظر ربما يشبه عليه أنه في الصلاة فهو قليل وهو الأصح، وعلى هذا الأصل يخرج ما إذا قاتل في صلاته في غير حالة الخوف أنه تفسد صلاته؛ لأنه عمل كثير ليس من أعمال الصلاة لما بينا

Dan di antaranya (yang membatalkan shalat) adalah aktivitas yang banyak yang bukan dari aktivitas shalat ketika shalat tanpa adanya unsur yang mendesak atau darurat, sedangkan aktivitas yang sedikit maka tidak membatalkan shalat, (ulama Hanafiah) berbeda pendapat dalam batasan detail antara aktivitas yang banyak dan sedikit, di antara mereka berkata: gerakan yang banyak adalah yang membutuhkan dua tangan dan gerakan sedikit adalah yang tidak demikian, hingga mereka mencontohkan: apabila seseorang mengancing bajunya, maka batal shalatnya, dan apabila membenarkan posisi sarung atau kainnya (dengan satu tangan) maka shalatnya tidak batal. Dan sebagian (hanafiah) yang lain berkata: setiap aktivitas yang dilihat dari jauh dan tidak diragukan nampak seperti bukan aktivitas shalat, maka dikategorikan sebagai gerakan yang banyak, namun jika dilihat dari jauh masih nampak seperti orang shalat maka gerakan itu masih dianggap sedikit, dan inilah pendapat yang benar. dan dari sini tidak termasuk (keringanan) apabila seseorang membunuh di tengah-tengah shalatnya tanpa keadaan ketakutan, dan itu membatalkan shalatnya karena termasuk kepada gerakan yang banyak di luar gerakan shalat seperti yang kita jelaskan[2].

Dari dua referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan yang membatalkan shalat dalam pandangan madzhab Hanafi adalah gerakan yang banyak tanpa adanya unsur darurat, yang dilakukan berkali-kali tanpa jeda, dan terlihat sudah tidak seperti sedang shalat.

Malikiyyah
Dalam madzhab ini dijelaskan bahwa gerakan di luar shalat yang banyak akan membatalkan shalat baik itu dalam keadaan sadar atau tidak sengaja. Imam As-Shawi dalam menjelaskan matan syarah shogir Imam Dardir mengatakan:

وَبَطَلَتْ بِكَثِيرِ فِعْلٍ: كَحَكِّ جَسَدٍ وَعَبَثٍ بِلِحْيَتِهِ وَوَضْعِ رِدَاءٍ عَلَى كَتِفٍ وَدَفْعِ مَارٍّ وَإِشَارَةٍ بِيَدٍ؛ فَالْقَلِيلُ مِنْ ذَلِكَ لَا يُبْطِلُهَا كالإشارة وحك البشرة، أما المتوسط بين الكثير والقليل، كالانصراف من الصلاة، فيبطل عمده دون سهوه.

قَوْلُهُ: كَحَكِّ جَسَدٍ : أَيْ فَيُبْطِلُهَا إذَا كَثُرَ وَلَوْ سَهْوًا وَالْكَثِيرُ عِنْدَنَا هُوَ مَا يُخَيِّلُ لِلنَّاظِرِ أَنَّهُ لَيْسَ فِي صَلَاةٍ.

Dan Shalat itu batal dengan gerakan yang banyak: seperti menggaruk atau menggosok badan, mengelus-elus jenggot, meletakkan selendang di atas bahu, dan mencegah orang yang berjalan dan isyarat dengan tangan, maka sedikit dari gerakan di luar shalat tidak membatalkannya seperti isyarat, menggaruk sedikit bagian kulit, sedangkan gerakan yang setengah-setengah antara sedikit dan banyak, seperti berpindah dari tempat shalat, maka batal sholatnya jika dilakukan sengaja dan dimaafkan bila dilakukan tanpa sengaja.

Dan perkataannya (Imam Dardir): seperti menggaruk seluruh badan: maka membatalkan shalatnya, yakni apabila gerakannya banyak meski dilakukan tanpa sadar, dan gerakan yang banyak menurut kami yaitu yang tersirat bagi setiap orang yang melihatnya bahwa orang tersebut seperti sedang tidak shalat[3].

Secara prinsip, Ijtihad Malikiyah terhadap gerakan yang membatalkan shalat sama dengan definisi yang dihadirkan oleh madzhab Hanafiyah.

Syafi’iyyah
Imam Juwaini atau yang dikenal dengan imamul Haramain berpendapat bahwa gerakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  memindahkan Ibnu Abbas RA dari kiri ke kanan saat shalat sebagai gerakan yang sedikit dan tidak membatalkan shalat, dikatakan dalam kitabnya Nihayatul Matlab:

والعمل الكثير على وجه التوالي والاتصال عمداً - مبطل للصلاة، والدليل على أن القليل غير مبطل للصلاة أن النبي صلى الله عليه وسلم أخذ في الصلاة أذُنَ ابن عباس، وأداره من يساره إلى يمينه

Dan gerakan yang banyak dalam bentuk yang berkelanjutan dan terus menerus secara sengaja – membatalkan shalat. Dan dalil bahwa gerakan yang sedikit tidak membatalkan shalat bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  memegang telinga Ibnu Abbas, kemudian memindahkannya dari kiri ke sebelah kanan beliau[4].

Lalu dijelaskan tentang batasannya:

فإن قيل: هل من ضبطٍ في الفرق بين العمل القليل والكثير؟ قلنا: لا شك أن الرجوع في ذلك إلى العرف وأهله، ولا مطمع في ضبط ذلك على التقدير والتحديد؛ فإنه تقريب، وطلب التحديد في منزلة التقريب مُحال

Apabila dikatakan: apakah ada ketentuan tentang perbedaan antara gerakan yang banyak dan sedikit? Kami berpendapat: tidak diragukan bahwa hal tersebut dikembalikan kepada urf (kebiasaan) dan sekitarnya, dan tidak ada kepastian tentang ketentuan batasan dan kadar hal tersebut , dan sesungguhnya gerakan di luar shalat bersifat asumtif, sementara menentukan batasan pada perkara yang asumtif adalah tidak mungkin[5].

Kemudian imam An Nawawi menerangkan lebih rinci tentang sedikit dan banyaknya gerakan di luar shalat:

ثُمَّ أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْكَثِيرَ إِنَّمَا يُبْطِلُ إِذَا تَوَالَى. فَإِنْ تَفَرَّقَ بِأَنْ خَطَا خُطْوَةً، ثُمَّ بَعْدَ زَمَنٍ خَطَا أُخْرَى، أَوْ خُطْوَتَيْنِ ثُمَّ خُطْوَتَيْنِ بَيْنَهُمَا زَمَنٌ، وَقُلْنَا: إِنَّهُمَا قَلِيلٌ، وَتَكَرَّرَ ذَلِكَ مَرَّاتٍ فَهِيَ كَثِيرَةٌ، لَمْ يَضُرَّ قَطْعًا. وَحَدُّ التَّفْرِيقِ: أَنْ يُعَدَّ الثَّانِي مُنْقَطِعًا عَنِ الْأَوَّلِ. وَقَالَ فِي (التَّهْذِيبِ) : عِنْدِي أَنْ يَكُونَ بَيْنَهُمَا قَدْرُ رَكْعَةٍ. ثُمَّ الْمُرَادُ بِالْفِعْلَةِ الْوَاحِدَةِ الَّتِي لَا تُبْطِلُ، مَا لَمْ يَتَفَاحَشْ، فَإِنْ أَفْرَطَتْ كَالْوَثْبَةِ الْفَاحِشَةِ أَبْطَلَتْ قَطْعًا. وَكَذَا قَوْلُهُمْ: الثَّلَاثُ الْمُتَوَالِيَةُ تُبْطِلُ. أَرَادَ: وَالْخُطُوَاتُ وَنَحْوُهَا. فَأَمَّا الْحَرَكَاتُ الْخَفِيفَةُ، كَتَحْرِيكِ الْأَصَابِعِ فِي سُبْحَةٍ، أَوْ حَكَّةٍ، فَالْأَصَحُّ: أَنَّهَا لَا تَضُرُّ وَإِنْ كَثُرَتْ مُتَوَالِيَةً

Kemudian secara Ijma (Syafi’iyah) disebutkan bahwa gerakan yang banyak dapat membatalkan shalat apabila dilakukan secara berturut-turut. Namun apabila berjarak seperti jika melangkah kemudian dalam durasi tertentu melangkah lagi, atau tiap dua langkah ada jeda, maka pendapat kami: hal tersebut adalah gerak yang sedikit. Dan apabila berulang-ulang hingga banyak, tidak berpengaruh sama sekali. Dan batasan pembedanya: adalah diulangnya gerakan kedua setelah jeda dari gerakan  pertama. Dikatakan dalam kitab tahdzib: menurutku jeda antara dua gerakan adalah seperti satu rakaat. Kemudian yang dimaksud dengan satu gerakan yang tak membatalkan adalah yang tidak keterlaluan, seperti melompat yang keterlaluan maka membatalkan secara mutlak. Demikian juga dikatakan: tiga gerakan yang berturut-turut dapat membatalkan shalat. Dimaksudkan di sini seperti: melangkah dan sejenisnya. Sedangkan gerakan ringan seperti menggerakan jari dalam tasbih, menggaruk, maka yang benar adalah: hal tersebut tidak berpengaruh (tidak membatalkan) meskipun banyak dan berturut-turut[6]. (Imam An Nawawi. Raudhatul-thalibin 1/294)

Difahami dari madzhab ini bahwa kadar gerakan sedikit dan banyak yang dilakukan di luar gerakan shalat dikembalikan kepada urf atau kebiasaan yang difahami masyarakat. Melakukan gerakan badan yang berturut-turut dapat membatalkan shalat karena dalam pemahaman secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak, begitupula dengan gerakan tiga kali tanpa jeda sepanjang satu rakaat dianggap batal karena dikategorikan sebagai gerakan yang banyak secara urf masyarakat. Sementara gerakan ringan seperti menggaruk-garuk badan tidak dianggap sebagai hal yang membatalkan, namun tetap dipandang makruh.

Hanabilah
Madzhab ini tidak jauh berbeda dengan madzhab Syafi’iyah, karena mengembalikan kadar banyak dan sedikit kepada urf, serta menerangkan detail setelahnya, seperti yang dipaparkan dalam syarh zadul mustaqni’:

ثم قال مبيناً أحكام الفعل الكثير فإن أطال الفعل عرفا من غير ضرورة وبلا تفريق بطلت

Kemudian dijelaskan tentang hukum gerakan yang banyak, maka jika lama gerakanya dalam pandangan urf, tanpa ada unsur darurat dan tanpa jeda, maka batal shalatnya[7]. (Hasan bin Ibrahim Al-Khalil. Syarhu Zadil-Mustaqni’. 1/414)

Kemudian dijelaskan rinci:

يشترط في العمل الكثير الذي يبطل الصلاة أن يكون متوالياً فإن وقع متفرقاً فإنه لا يبطل الصلاة حتى لو فرضنا أنه لو جمعت هذه الأعمال لصارت مجتمعة فعلاً كثيرة فإن الصلاة لا تبطل

والدليل على هذا ما تقدم معنا من أن النبي - صلى الله عليه وسلم - كان يحمل أمامة وهذا فعل لو جمع وضم بعضه لبعض لصار فعلاً كثيراً حيث يضعها في كل ركعة ويحملها في كل ركعة

Disyaratkan dalam gerakan banyak yang membatalkan shalat adalah gerakan yang terus-menerus, maka jika terjadi dengan jeda durasi tertentu, tidak akan membatalkan shalat, bahkan jika kita berasumsi bahwa gerakan tersebut dikumpulkan maka akan menjadi gerakan yang sangat banyak, tetap shalatnya tidak batal.

Dan dalil atas hal ini, telah disebutkan bahwa Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  menggendong Umamah dan gerakan ini bila dikumpulkan dan digabungkan masing-masingnya maka akan menjadi gerakan yang banyak dimana beliau meletakkanya di setiap rakaat dan menggendongnya kembali dalam rakaat yang lain[8].

Kesimpulan

Ternyata para ulama dalam menyimpulkan riwayat tentang gerakan Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam  di luar gerakan shalat berbeda-beda. Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa apabila orang lain melihat gerakan tersebut sudah tidak seperti kondisi orang sholat maka batal shalatnya. Kemudian Syafi’iyah dan Hanabilah mengembalikan banyaknya gerakan yang dianggap batal kepada urf masyarakat, dimana gerakan berat yang dilakukan tiga kali berturut-turut secara urf dianggap sebagai gerakan yang banyak dan membatalkan shalat, berbeda dengan gerakan yang memakai jeda.

Sekalipun berbeda kesimpulan, kedua pendapat di atas cukup mempunyai korelasi erat dimana keduanya sama-sama menitik beratkan kepada : gerakan yang dilakukan di luar gerakan shalat, tidak dalam kondisi darurat, dilakukan terus-menerus tanpa jeda, dan bukan gerakan yang ringan. Maka jika melirik kepada poin ini kita akan mendapatkan kesamaan pandangan dari keempat madzhab tersebut. Selayaknya hal inilah yang patut kita jadikan sandaran, karena sekedar bersandar kepada redaksional hadist saja kadang bisa membuat kita terlalu enteng mengambil kesimpulan. Kemudian dengan melirik kepada ijtihad para ulama akan menjadikan kita lebih objektiv dan tidak tekstualis dalam memandang hukum sebuah perkara.

Footnote :
[1] Ali bin Abi Yahya Zakariya. Al-lubab fil jam’I baynas-sunnah wal kitab. 1/274
[2] Imam Alauddin Al-Kasaniy. Badai’us-shana’I fi tartibis-syara’i.  1/241
[3] Imam As-Shawi Al Maliki. Balaghatus-salik li Aqrabil-masalik. 1/348
[4] Imam Juwaini (imamul Haramain). Nihayatul Mathlab fi dirayatil madzhab. 2/205
[5] Ibid. 2/206
[6] Imam An Nawawi. Raudhatul-thalibin wa umdatul-muftiin. 1/294
[7] Hasan bin Ibrahim Al-Khalil. Syarhu Zadil-Mustaqni’. 1/414
[8] Ibid. 1/415

Sumber : Dari Berbagi Sumber Islam
___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada  Selasa, 4 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.
Editor : Sandipo