Prinsip Umat Islam dalam Menjalin Kerukunan dengan Pemeluk Agama Lain

 
Prinsip Umat Islam dalam Menjalin Kerukunan dengan Pemeluk Agama Lain
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beragam ras, suku, bahasa, agama atau keyakinan. Semuanya diikat dalam satu kesepakatan yang tidak bisa diganggu-gugat, yakni Bhinneka Tunggal Eka. Hidup bersama dalam perbedaan-perbedaan yang ada yang terikat dalam satu semangat yang sama, yakni Indonesia.

Dalam menjaga persatuan dalam perbedaan, konsep kerukunan tidak boleh dinafikan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, terkadang prinsip kerukunan itu sedikit memunculkan gesekan yang berpotensi menjadi lebih besar jika tidak disikapi secara bijaksana. Karena itu, perlu kiranya merumuskan konsep kerukunan yang harus diterapkan di tengah-tengah perbedaan. Khususnya dalam konteks perbedaan agama.

Pada dasarnya perbedaan agama ataupun keyakinan bukanlah satu alasan untuk tidak menjaga kerukunan. Bagi umat Islam, kerukunan merupakan semangat yang sangat ditanamkan di dalam kehidupan ini. Banyak Ayat Al-Quran dan Hadis yang menerangkan tentang hal ini.

Namun, agar tidak terlalu jauh dalam memahami kerukunan, berikut ini dipaparkan hasil keputusan dari agenda Bahtsul Masail Maudlu’iyyah Konferwil PWNU Jawa Timur, 15-16 Dzulqa’dah 1439 H./28-29 Juli 2018 di PP. Lirboyo, Kediri.

Hasil pembahasan ini masih sangat relevan bagi umat Islam secara umum dalam menerapkan kerukunan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang heterogen, dengan tanpa melampaui batas prinsip yang ada di dalam Islam.

Berikut ini prinsip-prinsip dalam menjalin kerukunan dengan pemeluk agama lain.

1. Dasar hubungan antara umat Islam dan pemeluk agama lain

Realitas keberagaman manusia dalam agama dan keyakinannya merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihilangkan. Andaikan Allah SWT mempersatukan manusia dalam satu agama, misalnya, tentu Dia kuasa, namun realitasnya tidak demikian.

Allah SWT berfirman:

وَلَوْ شاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً واحِدَةً وَلا يَزالُونَ مُخْتَلِفِينَ. إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ .

“Dan jika Tuhanmu Menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat), kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhan-mu telah tetap, "Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya." (QS. Hud: 118-119)

Perbedaan agama tidak bisa dijadikan alasan untuk berperilaku buruk, memusuhi dan memerangi pemeluk agama lain. Dengan demikian asas hubungan antara umat Islam dengan non muslim bukanlah peperangan dan konflik, melainkan hubungan tersebut didasari dengan perdamaian dan hidup berdampingan secara harmonis.

Islam memandang seluruh manusia, apapun agama dan latar belakangnya, terikat dalam persaudaraan kemanusian (Ukhuwwah Insaniyyah) yang mengharuskan mereka saling menjaga hak-hak masing, mengasihi, tolong-menolong, berbuat adil dan tidak menzalimi yang lain.

Allah SWT berfirman:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُم مِّنْ دِيَارِكُمْ أنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوْا إلَيْهِمْ إنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

2. Mengedepankan budi pekerti yang baik

Di manapun berada, terlebih di lingkungan yang plural, seorang muslim tidak dapat melepaskan dirinya dari hubungan sosial dengan pemeluk agama lain.

Islam mengajarkan, dalam setiap menjalin hubungan dan interaksi sosial dengan siapapun baik muslim maupun non muslim, setiap muslim harus tampil dengan budi pekerti yang baik (Akhlaq Karimah), tutur kata yang  lembut, dan sikap yang penuh kesantunan dan kasih sayang (rahmah). Sebagaimana perintah Allah SWT kepada Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s. untuk bertutur kata lembut kepada Fir’aun.

Allah SWT berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 44)

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

أَوْحَى اللهُ إِلَى إِبْرَاهِيْمَ  يَا إِبْرَاهِيْمُ حَسِّنْ خُلُقَكَ وَلَوْ مَعَ الْكُفَّارِ تَدْخُلْ مَدَاخِلَ الْأَبْرَارِ

"Allah menyampaikan wahyu kepada Nabi Ibrahim a.s, 'Perbaikilah budi pekertimu meskipun terhadap orang-orang Kafir, maka engkau akan masuk (surga) tempat tinggal orang-orang yang baik'." (HR. Al-Hakim dan At-Tirmidzi)

Sikap seperti ini merupakan refleksi kebeningan spiritual pada diri seorang muslim.

3. Internalisasi semangat persaudaraan nasional (Ukhuwwah Wathaniyyah)

Kerukunan antarumat beragama tidak dapat terjalin sempurna hanya dengan sikap saling toleransi saja, namun diperlukan adanya keterbukaan diri untuk terlibat dalam kerjasama, demi meraih kebaikan bersama.

Bangsa Indonesia disatukan oleh kehendak, cita-cita, atau tekad yang kuat untuk membangun masa depan dan hidup bersama sebagai warga negara di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Seluruh elemen bangsa Indonesia disatukan dan meleburkan diri dalam satu ikatan kebangsaan atau persaudaraan sebangsa setanah air (Ukhuwwah Wathaniyyah), terlepas dari perbedaan agama dan latar belakang primordial lainnya. Sebagaimana Nabi SAW menyatukan seluruh penduduk Madinah dalam satu ikatan kebangsaan, yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah:

وَإِنَّ يَهُودَ بَنِي عَوْفٍ أُمَّةٌ مَعَ الْمُؤْمِنِينَ، لِلْيَهُودِ دِينُهُمْ، وَلِلْمُسْلِمِينَ دِينُهُمْ، مَوَالِيهِمْ وَأَنْفُسُهُمْ، إِلَّا مَنْ ظَلَمَ وَأَثِمَ، فَإِنَّهُ لَا يُوْتِغُ إِلَّا نَفْسَهُ، وَأَهْلَ بَيْتِهِ

“Kaum Yahudi dari Bani ‘Auf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri. Kecuali bagi yang zalim dan jahat, maka hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.”

إنَّهُمْ أُمَّةٌ وَاحِدَةٌ مِنْ دُونِ النَّاسِ

“Sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, bukan dari komunitas yang lain.”

Ikatan persaudaran ini meniscayakan kewajiban bersama untuk saling bahu-membahu bekerjasama dalam membela, memajukan dan memakmurkan negaranya, mengesampingkan segala bentuk perbedaan primordial. Sebagaimana tercantum dalam salah satu butir piagam Madinah:

وَإِنَّ عَلَى الْيَهُودِ نَفَقَتَهُمْ وَعَلَى الْمُسْلِمِينَ نَفَقَتَهُمْ، وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النَّصْرَ عَلَى مَنْ حَارَبَ أَهْلَ هَذِهِ الصَّحِيفَةِ، وَإِنَّ بَيْنَهُمْ النُّصْحَ وَالنَّصِيحَةَ، وَالْبِرَّ دُونَ الْإِثْمِ وإنه لم يأثم امرؤ بحليفه وإن النصر للمظلوم

“Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya dan bagi umat Islam ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan Muslimin) saling membantu dalam menghadapi musuh piagam ini. Mereka saling memberi saran, nasehat dan berbuat baik tidak boleh berbuat jahat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat kesalahan sekutunya. Pembelaan diberikan pada pihak yang teraniaya.”

4. Kebebasan beragama, beribadah dan mendirikan rumah ibadah

Agama Islam menjamin kebebasan beragama bagi setiap pemeluk agama lain, dalam arti bahwa memaksakan non muslim untuk memeluk agama Islam merupakan sebuah larangan.

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّيْنِ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqoroh: 256)


Di sisi lain, problematika pendirian rumah ibadah di tengah-tengah masyarakat yang plural merupakan persoalan yang sensitif. Setiap peristiwa pengerusakan, atau gangguan terhadap rumah ibadah ataupun aktivitas peribadatan selalu menimbulkan dampak kerenggangan antar pemeluk agama yang dapat merusak kerukunan di antara mereka, bahkan rawan menyulut konflik.

Islam memberikan toleransi dan menjamin kebebasan terhadap pemeluk agama lain untuk melakukan kegiatan keagamaan dan beribadah sesuai keyakinannya. Begitu pula terhadap pendirian tempat ibadah, namun kebebasan tersebut tetap harus mempertimbangkan kebutuhan terhadap rumah ibadah serta harus sesuai perundang-undangan dan peraturan pemerintah yang berlaku.

5. Tidak mengganggu, merendahkan, menistakan atau menghina simbol-simbol agama lain

Allah SWT berfirman:

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas dasar pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 108)

6. Menghormati hak-hak pemeluk agama lain sebagai warga negara Indonesia

Umat Islam berkewajiban untuk menghormati hak-hak pemeluk agama lain sebagai sesama warga negara Indonesia. Di antara hak-hak tersebut adalah seperti hak memilih pekerjaan, memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya, berpolitik, keadilan hukum dan sebagainya.

***

Prinsip kerukunan ini bisa menjadi acuan bagi umat Islam dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena sejakt dulu umat Islam Indonesia telah bersepakat dalam satu prinsip Negara-Bangsa yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan berlandaskan UUD 45 dan Bhinneka Tunggal Eka.

Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Juli 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim