Kedahsyatan Kemurahan Allah bagi Hamba-Nya

 
Kedahsyatan Kemurahan Allah bagi Hamba-Nya
Sumber Gambar: Ilustrasi: Laduni.id

Laduni,ID, Jakarta – Pernahkah kita sadari, bahwa di antara sekian banyak makhluk ciptaan ‎Allah yang ada di jagat raya ini, kita adalah makhluk terbaik yang Allah ‎hadirkan ke dunia ini.‎

Jika malaikat diciptakan Allah dengan dibekali akal tanpa nafsu, ‎sementara binatang diciptakan dengan disertai nafsu tanpa akal, maka ‎manusia Allah ciptakan dengan bekal yang komplit, yaitu dilengkapi akal dan ‎nafsu. Dan untuk membimbing akal dan nafsu yang dimiliki manusia itu, Allah ‎menurunkan wahyu berupa kitab suci.‎

Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi. Selain itu, manusia diberi kekuatan untuk menguasai alam semesta dan menjadi khalifah di bumi.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat At-Tin 95:4

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ (٤)

“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”


Menjadi khalifah di muka bumi, manusia juga diberikan tanggung jawab besar oleh Allah SWT. Sebagai khalifah, manusia harus menjaga keseimbangan di alam semesta dan menjalankan peran dalam memelihara lingkungan. Manusia juga harus menghargai keanekaragaman dan keragaman di muka bumi serta menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah yang bertanggung jawab atas segala tindakan di bumi.

Selain menjalankan kewajiban sebagai khalifah, manusia juga harus selalu bersyukur kepada Allah SWT atas segala karunia yang telah diberikan. Bersyukur adalah tindakan paling sederhana yang dapat dilakukan manusia untuk menyatakan rasa terima kasih kepada Allah SWT atas karunia-Nya.

Namun, bersyukur tidak hanya dengan ucapan syukur tetapi juga dengan tindakan nyata seperti melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah, melakukan amal shalih, menyantuni fakir miskin dan membantu sesama manusia. Dengan melakukan tindakan ini, manusia tidak hanya bersyukur kepada Allah SWT tetapi juga memperlihatkan rasa syukurnya melalui tindakan nyata.

Manusia sebagai khalifah di bumi harus memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana dan memastikan kelestarian lingkungan agar kehidupan di bumi tetap terjaga. Kita harus berusaha untuk mengurangi polusi dan merawat keanekaragaman hayati di muka bumi sehingga tercipta keseimbangan ekosistem yang baik.

Jangan lupa bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi juga harus menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah. Kita harus taat menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya, serta berusaha melakukan amal shaleh sebanyak-banyaknya. Dengan menjalankan kewajiban ini, manusia bisa menjadi hamba Allah yang diridhai dan dapat memperoleh rahmat-Nya.

Dalam merenungi pentingnya peran manusia sebagai khalifah, kita harus selalu mengingat bahwa Allah telah memberikan kepercayaan besar kepada kita untuk memelihara bumi dan mengatur segala sesuatu di atasnya. Kita harus selalu memperhatikan hak-hak alam dan hikmah dari segala karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Kita juga perlu merenungi keberadaan diri kita yang diciptakan Allah SWT sebagai makhluk paling sempurna agar dapat terus berkontribusi positif sebagai khalifah di muka bumi.

Ibn ‘Athaillah as-Sakandari mengatakan bahwa:

لَا صَغِيرَةَ إِذَا قَابَلَكَ عَدْلُهُ وَلَا كَبِيرَةَ إِذَا وَاجَهَكَ فَضْلُهُ.

 “Tidak ada dosa kecil ketika keadilan Tuhan mendatangimu dan tidak ada dosa besar ketika anugerah Tuhan menghadap kepadamu.”
Pernyataan ini mengundang kita untuk mempertimbangkan konsep dosa dalam Islam, baik dari segi lahiriah maupun hakikatnya di sisi Allah.

Dalam konteks ini, dosa kecil merujuk pada dosa yang tidak memiliki ancaman siksa atau hukuman (had)nya dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah, sementara dosa besar merujuk pada dosa yang memiliki ancaman siksa atau hukuman (had)nya di dalam keduanya. Namun, ketika kita mempertimbangkan sifat kemurahan dan keadilan Allah, pemahaman mengenai dosa ini dapat berubah.

Dosa yang pada pandangan lahiriah tergolong sebagai dosa kecil karena keadilan Allah bisa menjadi dosa besar. Ketika keadilan Allah benar-benar ditegakkan pada seorang hamba, maka Allah pasti menghukumnya atas dosa yang sekecil-kecilnya, tidak akan ada yang terlewat sedikitpun dari hukuman-Nya. Sebaliknya, dosa yang pada pandangan lahiriah tergolong sebagai dosa besar karena kemurahan Allah dapat menjadi dosa kecil. Ketika kemurahan Allah yang sangat luas tercurah pada seorang hamba, maka dosa-dosa besarnya akan berganti menjadi dosa-dosa kecil.

Hal ini menunjukkan bahwa terkadang apa yang tampak di luaran bisa berbeda dengan kebenaran di sisi Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an:

وَبَدَا لَهُمْ سَيِّاٰتُ مَا كَسَبُوْا وَحَاقَ بِهِمْ مَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ (٤٨)

“Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya.” (QS. Az-Zumar 39:48).

Dalam konteks ini, Abu al-Hasan as-Syadzili merintihkan doa,

اَللهم اجْعَلْ سَيِّئَاتِنَا سَيِّئَاتِ مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَا تَجْعَلْ حَسَنَاتِنَا حَسَنَاتِ مَنْ أَبْغَضْتَ.

 “Ya Allah, jadikanlah keburukan-keburukanku sebagaimana keburukan orang yang Engkau cintai dan jangan jadikan kebaikan-kebaikanku sebagaiamana kebaikan orang yang Engkau murkai.”
Doa ini mencerminkan pemahaman yang mendalam akan sifat kemurahan dan keadilan Allah dalam menghadapi dosa-dosa hamba-Nya.

Dengan demikian, konsep dosa dalam Islam tidak hanya dapat dipahami dari segi lahiriah, tetapi juga dari perspektif hakikatnya di sisi Allah yang Maha Adil dan Maha Pemurah. []
 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 29 Juni 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Lisantono