Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Secara Bergantian

 
Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Secara Bergantian
Sumber Gambar: Foto Rumman Amin / Unspalsh (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim khususnya laki-laki adalah shalat Jum'at. Shalat Jum'at adalah kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf dan hukumnya fardhu 'ain. Salah satu syarat sah shalat Jum'at terutama dalam Madzhab Imam Syafi'i adalah jamaah Jum’at minimal berjumlah empat puluh (40) laki-laki merdeka, baligh dan penduduk asli daerah tersebut sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih Madzhab Syafi'i.

Mengenai salah satu syarat sah shalat Jum'at di atas adalah harus penduduk asli daerah atau tempat dilaksanakannya shalat Jum'at. Namun realita saat ini bahwa di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota lainnya banyak terdapat perguruan tinggi, perkantoran, pertokoan, kawasan industri, dan tempat orang-orang perantau menyambung kehidupan.

Kesadaran umat Islam untuk menjalankan kewajiban agamanya dewasa ini dirasakan semakin meningkat. Hal ini antara lain ditandai dengan syiar agama yang kian semarak, dan membludaknya mesjid-mesjid dalam shalat Jum’at. Penyelenggaraan shalat Jum’at tidak hanya di pemukiman, tapi juga di perkantoran, pertokoan dan kawasan industri. Namun hal ini belum sepenuhnya diimbangi oleh penyediaan sarana dan prasarana ibadah yang cukup memadai, serta masih terdapatnya faktor-faktor kondisional yang menyebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk menjalankan ibadah sebagaimana mestinya.

Baca Juga: Hukum Menyelenggarakan Shalat Jumat Tanpa Penduduk Setempat

Para karyawan pabrik kaca, misalnya, tidak dapat secara bersama-sama melaksanakan shalat Jum’at karena ada proses yang tidak dapat ditinggal sama sekali. Ada pula pertokoan yang tetap buka saat shalat Jum’at, sehingga tidak memungkinkan pramuniaga prianya secara serentak meninggalkan tugasnya. Hal ini bisa diatasi dengan menyelenggarakan shalat Jum’at secara bergantian, bertahap, atau shalat Jum’at dalam dua shif (angkatan).

Bagaimana hukum menyelenggarakan shalat Jum'at dalam satu tempat secara bergantian yang disebabkan oleh kondisi-kondisi tertentu seperti pegawai yang tidak bisa meninggalkan pekerjaannya ketika waktu shalat Jum'at datang karena harus menyelesaikan atau menjaga pekerjaannya dari kerusakan, dan sebagainya.

 Jum'atan yang diselenggarakan secara bergantian di tempat yang sama hukumnya adalah tidak sah. Karena shalat Jum'at secara bergantian atau secara shif/angkatan dan Ta'addud Jum'at adalah hal yang berbeda. Berikut jawaban yang dikutip dari Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Tentang Masail Diniyah Waqi'iyah 16-20 Rajab 1418 H/17-20 Nopember 1997 M Di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Pringgarata Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat.

"Ta’addud Jum’at berbeda dengan Jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya al- jum’ah ba’da al-jum’ah). Ta’addud Jum’at ialah berbilangnya penyelenggaraan jamaah Jum’at dalam satu masa di suatu tempat, dan hukumnya boleh dengan syarat-syarat tertentu sebagaimana keputusan Muktamar NU di Situbondo, Nopember 1984, dalam masalah nomor 359. Adapun Jum’atan dua shif/angkatan atau lebih (insya al- jum’ah ba’da al-jum’ah) yang artinya penyelenggarana shalat Jum’at lebih dari satu di suatu tempat, maka hukumnya tidak sah"

Dalam keputusan tersebut, para peserta forum Musyawarah tersebut memberikan solusi dan jalan keluar sebagai berikut:
1. Karyawan seperti itu wajib berikhtiar seoptimal mungkin agar dapat menunaikan jum’atan shiff pertama.
2. Sebaiknya ditugaskan kepada karyawati untuk menjaga produksi agar karyawan dapat menunaikan shalat Jum’at.
3. Dalam hal ikhtiar tersebut bila tidak berhasil maka kewajiban shalat Jum’at menjadi gugur dan wajib menunaikan shalat Dzhuhur dan dianjurkan berjama'ah. Jika ada udzur syar’i di dalam meninggalkan shalat Jum’at demikian ini dengan mengganti shalah Dzhuhur hukumnya tidak berdosa. Tetapi jika tidak ada udzur syar’i, hukumnya berdosa.

Forum Musyawarah memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan para Produsen/Pengusaha agar memberikan jaminan kebebasan kepada para karyawan untuk menjalankan agamanya, dan melaksanakan shalat Jum’at.

Baca Juga: Hukum Mendirikan Shalat Jumat Lebih Dari Satu Kali Tanpa Ada Kebutuhan

Adapaun keputusan tersebut berdasarkan keterangan dari kitab sebagai berikut:

1. Kitab Al-Minhaj Al-Qawim

أَمَّا غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ فَلاَ يَجُوْزُ اسْتِخْلاَفُهُ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ إِنْشَاءَ جُمْعَةٍ بَعْدَ أُخْرَى وَهُوَ مُمْتَنِعٌ

"Adapun selain makmum, maka tidak boleh mengganti imam shalat jum’at (ketika si imam hadats di tengah-tengah shalat), karena serupa dengan membentuk salat Jum’at setelah salat Jum’at yang lain (dalam satu masa secara serentak di tempat yang sama). Dan hal tersebut tidak tidak diperbolehkan"

2. Kitab Tanwir Al-Qulub

حَتَّى إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمْعَةِ لَمْ يُقِمْهَا إِلاَّ فِيْ مَسْجِدِهِ  وَلَمْ يُرَخِّصْ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ مَعَ فَرَطِ حُبِّهِ لِلتَّيْسِيْرِ عَلَى أُمَّتِهِ فِيْ أَنْ يُقِيْمُوْهَا فِيْ مَسَاجِدَ مُتَعَدِّدَةٍ أَوْ يُصَلِّيَ بِمَنْ يَتَيَسَّرُ لَهُ الْحُضُوْرُ أَوَّلَ الْوَقْتِ وَيَأْذَنُ فِيْ أَنْ تُقَامَ بَعْدَهُ جُمْعَةٌ وَجُمْعَةٌ وَثَالِثَةٌ وَهَكَذَا لِبَاقِيْ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَحْضُرُوْا، وَكَانَ ذَلِكَ أَيْسَرَ عَلَيْهِمْ لَوْ كَانَ

"Sehingga jika sudah datang hari Jum’at, maka beliau (Nab Muhammad SAW) tidak melaksanakan salat Jum’at kecuali di mesjidnya Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW meskipun sangat ingin memberikan kemudahan kepada umatnya tidak memberi dispensasi untuk mendirikan shalat Jum’at di banyak mesjid, atau shalat bersama orang yang bisa datang kepadanya di awal waktu, dan mendirikan shalat jumat kedua, ketiga dan seterusnya  bagi mereka yang tidak bisa datang (di awal waktu). Padahal cara itu lebih mudah bagi mereka seandainya memang diperkenankan"

Baca Juga: Hukum Shalat Jumat di Masjid yang Dibangun di Luar Batas Desa

3. Kitab Hasyiyah Al-Syarwani

وَأَمَّا مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ إِحْضَارِ الْخُبْزِ لِمَنْ يُخْبِزُهُ وَيُعْطِيْ مَا جَرَتْ لَهُ الْعَادَةُ مِنَ اْلأُجْرَةِ فَلَيْسَ اشْتِغَالُهُ بِالْخُبْزِ عُذْرًا بَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ حُضُوْرُ الْجُمْعَةِ وَإِنْ أَدَّى إِلَى تَلَفِهِ مَا لَمْ يُكْرِهْهُ صَاحِبُ الْخُبْزِ عَلَى عَدَمِ الْحُضُوْرِ فَلاَ يَعْصِ

"Adapun kebiasaan yang berlaku, yaitu menghidangkan roti bagi bagi orang yang menyuruhnya membuat roti dan memberikan upah seperti biasanya, maka kesibukannya dengan roti itu tidak menjadi udzur (meninggalkan shalat Jum’at), namun ia wajib mengikuti shalat Jum’at walaupun dapat menyebabkan kerusakan roti itu selama pemilik roti tidak memaksanya untuk tidak mengikuti. Maka dalam hal ini ia tidak berdosa"

4. Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah

الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا مَنْ فَاتَهُ صَلاَةُ الْجُمْعَةِ لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِهِ سُنَّ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ فِيْ جَمَاعَةٍ

"Para ulama Syafi’i berpendapat, barangsiapa yang ketinggalan shalat Jum’at karena sesuatu udzur atau lainnya, maka disunatkan untuk shalat Dzhuhur berjamaah"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 10 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 407