Memukul Kentongan dan Bedug Sebelum Mengumandangkan Adzan

 
Memukul Kentongan dan Bedug Sebelum Mengumandangkan Adzan
Sumber Gambar: Ilustrasi Beduk (Foto Ist)

Laduni.ID, Jakarta -  Sebagian orang penasaran saat melihat ataupun mendengar kata bedug. Bukan karena tidak mengetahuinya, melainkan lebih pada rasa penasaran terkait sejarah asal-usul bedug.

Dikutip dari laman Perpustakaan Nasional, bedug pertama kali diperkenalkan orang-orang China yang masuk ke Semarang di bawah komando Cheng Ho. Ketika hendak kembali ke negerinya, Ceng Ho hendak memberikan hadiah kepada raja di Semarang saat itu. Namun, sang raja tidak menghendaki suatu apapun kecuali hanya ingin mendengarkan suara bedug di masjid-masjid sebagai tanda waktu masuk shalat.

Sejak saat itu, bedug menjadi salah satu properti yang erat dengan masjid. Bedug sebagai alat komunikasi penanda masuk waktu shalat atau berbuka puasa kian akrab setiap harinya di kalangan masyarakat saat itu. Bedug juga dijadikan alat untuk mengumpulkan masyarakat se-kampung jika ada kabar duka, bencana, atau ada pengumuman dari pemimpin ke rakyatnya.

Para Wali Sembilan atau mahsyur dengan sebutan Wali Songo sejatinya juga memfungsikan bedug untuk mengajak umat Islam mendirikan shalat lima waktu. Kebaradaan bedug di lingkungan masjid pun tidak pernah terpisahkan.

Dalam literasi lain disebutkan fungsi bedug pada lima abad silam di Batu Banjandjang, Kabupaten Solok. Bedug, dibuat pada 1490 sebelum jaman VOC. Menurut kepercayaan rakyat di sana, bedug dapat menolak musibah.

Sementara, Arkeolog Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono memiliki pengamatan tersendiri soal sejarah bedug. Menurutnya, akar sejarah bedug dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu bedug dibunyikan untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan.

Sedangkan Sejarawan Belanda Kees van Dijk dalam bukunya Perubahan Kontur Masjid dan Peter JM Nas dan Martien de Vletter juga dalam bukunya berjudul Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia menerangkan, dahulu kala masjid-masjid di Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak memiliki menara. Alhasil, dibutuhkan alat bunyi-bunyian untuk menandakan waktu shalat.

"Sebelum abad ke-20 masjid-masjid di Asia Tenggara tak memiliki menara untuk mengumandangkan azan. Sebagai gantinya, masjid-masjid dilengkapi sebuah genderang besar (bedug), yang dipukul sebelum azan dikumandangkan," tulis Dijk dalam bukunya Perubahan Kontur Masjid.

Dalam bukunya Djik juga menulis, bedug biasanya diletakkan di beranda atau di lantai atas masjid. Ada juga yang diberikan bangunan kecil terpisah dari masjid. Suara bedug, sebelum ada pengeras suara lebih nyaring dibanding suara manusia dan menjadi alat komunikasi yang penting untuk menandai dan merayakan momen-momen keagamaan.

Baca juga: 03102. Penjelasan Jama' Qashar bagi Musafir yang Belum Sampai Tempat Tujuan

Di samping itu, bedug juga dijadikan alat komunikasi masyarakat sebagai pengganti kentongan, kohkol, kerentung, atau ketuk-ketuk. Belakangan, tak semua umat Islam di Indonesia menerima kehadiran bedug di masjid-masjid. Bedug cenderung akrab dengan warga Nahdlatul Ulama (NU).

Penggunaan bedug sempat menjadi perdebatan hangat di kalangan Islam tradisional dan modernis. NU, pada Muktamar ke-11 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan pada 1936, mengukuhkan penggunaan bedug dan kentongan di masjid-masjid sebagai syiar Islam.

Meskipun penggunaan bedug dan kentongan juga sempat mendapatkan penolakan khususnya oleh kelompok modernis di Indonesia, akan tetapi dalam perjalanannya waktu, persoalan instrumental ini bisa disikapi dengan dewasa. Bedug dan kentongan pun sekarang posisinya tergeser oleh pengeras suara. Meski di beberapa tempat, khususnya di masjid agung dan mushala kampung yang terkadang masih menggunakannya.

Di negara mayoritas muslim, seruan azan–yang terkadang saling sahut menyahut dengan beragam nada—bisa mudah didengark karena terdapat banyak masjid dan musala. Akan tetapi, di negara minoritas muslim azan biasa dikumandangkan lebih lirih dan terkadang cukup di dalam bangunan masjid saja (Juan E. Campo, Encyclopedia of Islam ).

Perkembangan adzan dan instrumen yang melengkapinya dari masa ke masa memang memiliki dinamikanya sendiri. Tidak hanya di masa Nabi, masa sahabat, terlebih di masa ulama kita saat pertama kali menyebarkan agama Islam. Semuanya mempunyai tujuan sebagai syiar Islam, dan syiar Islam juga harus menggunakan cara-cara yang membuat orang semakin tertarik dengan Islam.
 

--------------------------------------------

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 188 KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-11
Di Banjarmasin Pada Tanggal 19 Rabiul Awwal 1355 H. / 9 Juni 1936 M.  

 

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 03 Agustus  2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan