Syarat Mengajar Hadis bagi yang Tidak Mengetahui Ilmu Musthalah Hadis

 
Syarat Mengajar Hadis bagi yang Tidak Mengetahui Ilmu Musthalah Hadis

Tidak Mengetahui Ilmu Musthalah Hadits Mengajar Hadits

Pertanyaan :

Bolehkah orang yang tidak mengetahui ilmu Musthalah Hadits memberi pelajaran kepada umum tentang hadits-hadits yang tersebut dalam kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab petunjuk yang terkenal?

Jawab :

Boleh memberi pelajaran dan menafsirkan hadits-hadits yang tidak palsu (maudhu’) yang tersebut dalam kitab-kitab yang sudah terkenal asal penafsirannya sesuai dengan penafsiran ulama yang terkenal.

Keterangan, dari kitab:

  1. Al-Fatawa al-Haditsiyah[1]

وَسُئِلَ نَفَعَنَا اللهُ بِهِ عَنْ شَخْصٍ يَعِظُ الْمُسْلِمِيْنَ بِتَفْسِيْرِ الْقُرْآنِ وَالْحَدِيْثِ وَهُوَ لاَ يَعْرِفُ عِلْمَ الصَّرْفِ وَلاَ وَجْهَ اْلإِعْرَابِ مِنْ عِلْمِ النَّحْوِ وَلاَ وَجْهَ اللُّغَةِ وَلاَ عِلْمَ الْمَعَانِي وَالْبَيَانِ فَهَلْ يَجُوْزُ لَهُ الْوَعْظُ بِهِمَا أَوْ لاَ؟ إِلَى أَنْ قَالَ: فَأَجَابَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ بِأَنَّهُ إِنْ كَانَ وَعْظُهُ بِآيَاتِ التَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ وَنَحْوِهِمَا وَبِاْلأَحَادِيْثِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذَلِكَ وَفَسَّرَ ذَلِكَ بِمَا قَالَهُ اْلأَئِمَّةُ جَازَ لَهُ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ مِنْ عِلْمِ النَّحْوِ وَغَيْرِهِ لِأَنَّهُ نَاقِلُ كَلاَمِ الْعُلَمَاءِ وَالنَّاقِلُ كَلَامَهُمْ إِلَى النَّاسِ لَا يُشْتَرَطُ فِيهِ إِلَّا الْعَدَالَةُ وَأَنْ لَا يَتَصَرَّفَ فِيهِ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيِهِ وَفَهْمِهِ

Ibn Hajar al-Haitami (semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan beliau) ditanya tentang seseorang yang mengajar (memberi mauidhah) kaum muslimin dengan tafsir al-Qur’an dan Hadits, sedangkan ia tidak mengetahui ilmu nahwu, bahasa Arab, ilmu ma’ani dan bayan, apakah ia boleh memberi mauizhah dengan tafsir al-Qur’an dan hadits?

Maka Ibn Hajar Ra. menjawab: “Jika mauizhahnya itu menggunakan ayat-ayat targhib (dorongan beribadah) dan ayat-ayat tarhib (peringatan menghindari maksiat) dan semisalnya, dan dengan hadits-hadits terkait tema tersebut, dan menafsir(jelas)kannya sesuai dengan pendapat para ulama maka hal itu diperbolehkan, meskipun ia tidak menguasai ilmu nahwu dan selainnya. Sebab ia adalah pengutip pendapat ulama. Sementara pengutip pendapat ulama itu hanya disyaratkan bersifat ‘adalah (bukan pelaku kefasikan) dan tidak mengembangkan pendapat mereka sama sekali dengan dasar pendapat dan pemahamannya sendiri.

[1] Ibn Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1390 H/1971 M), h. 228.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 128

MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-7

Di Bandung Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1351 H. / 9 Agustus 1932 M.