Sholat Sunnah Qobliyah Sebelum Jum’at

 
Sholat Sunnah Qobliyah Sebelum Jum’at

LADUNI.ID, Jakarta - Di antara sunnah ketika menghadiri shalat Jum'at adalah memperbanyak shalat sunnah. Selain shalat tahiyatul masjid, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat sambil menunggu datangnya Imam atau Khatib. Namun sebagian kalangan menganggap shalat ini adalah shalat sunnah rawatib sebelum Jum'at, layaknya shalat sunnah waktu Dhuhur. Lalu bernarkah demikian? Berikut kami kutib pendapat para ulama dalam menjawab persoalan ini.

Dalam kitab Al-Jumu’ah : Adab Wa Ahkam, Syaikh Abu Al-Mundzir As-Sa’idi berkata : Berkenaan dengan shalat Sunah sebelum (qabliyah) shalat Jum'at, shalat tersebut tidak ada menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat di kalangan para ulama, yaitu pendapat Imam Malik, Ahmad dalam pendapat yang masyhur, dan salah satu pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i. Akan tetapi, yang disunahkan ialah melakukan perkara-perkara sunah yang bersifat umum.

Yang demikian ini selaras dengan hadis Salman Al-Farisi, beliau berkata.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ ، فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ، ثُمَّ يُصَلِّى مَا كُتِبَ لَهُ ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الأُخْرَى

”Tidaklah seorang muslim mandi pada hari Jumat, bersuci dengan sebaik-baiknya, mengoleskan minyak, atau memakai wangi-wangian yang ada di rumahnya. Lalu berangkat menuju masjid dan ia tidak menceraiberaikan hubungan baik dua orang saudaranya. Kemudian ia melaksanakan shalat semampunya, dan ketika imam membacakan khutbah ia diam, melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosanya antara satu Jum'at ke Jum'at berikutnya.” (HR. Bukhari).

Yang dijadikan dalil dari hadits ini ialah lafal, “Kemudian ia melaksanakan shalat semampunya.” Maknanya adalah shalat sunnah secara mutlak.
Artinya shalat sunnah yang dikerjakan semampu mungkin dengan bilangan yang tidak terbatas.
Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa contoh yang dipraktekkan oleh ulama salaf. Sebuah riwayat dari Naafi’ menyebutkan bahwa Dahulu Ibnu Umar mengerjakan shalat sunnah sebelum Jum’at sebanyak 12 raka’at.” (Fathul Bari, 8/329).
Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata:

 وأما سنة الجمعة التي قبلها فلم يثبت فيها شيء


“Adapun shalat sunnah rawatib sebelum Jum’at, maka tidak ada hadis shahih yang mendukungnya.” (Fathul Bari, 2/426)

Pendapat ini dikuatkan juga oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad.

وكان إذا فرغ بلال من الأذان أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة ، ولم يقم أحد يركع ركعتين البتة ، ولم يكن الأذان إلا واحدا ، وهذا يدل على أن الجمعة كالعيد لا سنة لها قبلها ، وهذا أصح قولي العلماء ، وعليه تدل السنة ، فإن النبي صلى الله عليه وسلم كان يخرج من بيته ، فإذا رقي المنبر أخذ بلال في أذان الجمعة ، فإذا أكمله أخذ النبي صلى الله عليه وسلم في الخطبة من غير فصل ، وهذا كان رأي عين ، فمتى كانوا يصلون السنة ؟


“Jika Bilal telah mengumandangkan adzan Jum'at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhutbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua raka’at kala itu. (Di masa beliau), adzan Jum’at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum’at itu seperti Shalat ‘Ied yaitu sama-sama tidak ada shalat sunnah qabliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadits. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhutbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat sunnah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau. Lantas kapan waktu melaksanakan shalat sunnah (qobliyah Jum'at tersebut)?” (Zaadul Ma’ad, 1/422).
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadis sahih..

  مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ. حَدِيثٌ صَحِيحٌ، رَوَاهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ وَالدَّارُقُطْنِيُّ وَالطَّبْرَانِيُّ   عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ


“Dari Abdullah bin al-Zubair  berkata, Rasulullah  bersabda: “Setiap ada shalat fardhu, maka sebelumnya ada shalat sunnat dua raka’at.”
(HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya, Daraquthni dan Thabrani)

Keterangan, dari kitab:

  1. Fath al-Bari

وَأَقْوَى مَا يُتَمَسَّكُ بِهِ مَشْرُوْعِيَّةُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْجُمُعَةِ مَا صَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانِ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ مَرْفُوْعًا: مَا مِنْ صَلاَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ

Dalil paling kuat untuk dijadikan pedoman tentang kebolehan shalat dua rakaat sebelum Jum’at adalah hadis riwayat Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair: “Tidak ada suatu shalat )fardhu) pun kecuali sebelumnya (sunnah) dilaksanakan ada shalat dua rakaat (shalat sunnah)”.

  1. Al-Hawasyi al-Madaniyah                                                                                                                             أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّى قَبْلَهَا أَرْبَعًا

Nabi Saw. pernah melaksanakan shalat empat rakaat sebelum shalat Jum’at.

  1. Al-Hawasyi al-Madaniyah

وَرَوَى أَبُوْ دَاوُدَ فِي سُنَنِهِ عَنْ طَرِيْقِ أَيُّوْبَ عَنْ نَافِعٍ قَالَ كاَنَ ابْنُ عُمَرَ يُطِيْلُ الصَّلاَةَ قَبْلَ الْجُمُعُةِ وَيُصَلِّى بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِ فِى بَيْتِهِ وَيُحَدِّثُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ (قَالَ النَّوَوِيُّ فِي الْخُلَاصَةِ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيُّ وَقَالَ الْعِرَاقِيُّ فِي شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ وَقَالَ الْحَافِظُ ابْنُ الْمُلْقِنِ فِي رِسَالَتِهِ إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ لاَجَرْمَ وَأَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ)

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibn Hibban dari Ayyub dari Nafi’: Ibn Umar memperpanjang shalat sebelum pelaksanaan shalat Jum’at, dan melaksanakan shalat dua rakaat sesudahnya di rumah. Dan ia menceritakan bahwa Rasuullah Saw, juga melakukan yang demikian itu. (Tentang hadis ini) Imam Nawawi dalam al-Khulasah menilainya sebagai hadis shahih sesuai dengan syarat Bukhari. Al-Iraqi dalam Syarh al-Tirmidzi berkata: Isnadnya shahih. Al-Hafizh Ibn al-Mulqin dalam Risalahnya berkata: Isnadnya shahih dan tidak ada cacat. Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya.   Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/2000), Cet. Ke-1, Jilid III, h. 96   Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafadhal, (Singapura: al-Haramain, t.th.), Juz I, h. 327.   Muhammad Sulaiman al-Kurdi, al-Hawasyi al-Madaniyah ‘ala Syarah Bafadhal, (Singapura: al-Haramain, t.th.), Juz I, h. 326  Muhyiddin al-Nawawi, Khulashah al-Ahkam, (Beirut: Da al-Kutub al-Ilmiah, 1428 H/2000 M), Cet. Ke-1, Jilid II, h. 383

Jadi, menurut pendapat jumhur, memperbanyak shalat sunnah yang dimaksud adalah sunnah secara mutlak, bukan sunnah rawatib qabliyah Jum'at. Jumlahnya pun tidak terbatas dua raka'at, tapi boleh dilakukan semampu mungkin selagi khatib belum naik ke atas mimbar.

Sumber :

  1. Ahkamul Fuqaha no. 4, Kiblat.Net, NUonline
  2. KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-1 Di Surabaya Pada Tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H. / 21 Oktober 1926 M.

--------------------------------------------------

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 12 Juli  2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan