Biografi KH. Ahmad Yasin Asymuni, Pendiri Pesantren Hidayatut Thullab Kediri

 
Biografi KH. Ahmad Yasin Asymuni, Pendiri Pesantren Hidayatut Thullab Kediri
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Gemar Membaca
3.2  Pengurus Bahtsul Masail
3.3  Diangkat Menjadi Guru
3.4  Mendirikan Pesantren

4.    Karya-Karya
5.    Chart Silsilah Sanad
6.    Referensi

1. Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Ahmad Yasin Asymuni lahir pada tanggal 8 Agustus 1963 M. beliau merupakan putra dari pasangan KH. Asymuni dan Nyai Hj. Muthmainah.

Kyai Ahmad Yasin saat usia balita dan anak-anak sama seperti teman-teman seusianya, suka bermain, dan seterusnya. Tetapi semenjak umur 6 tahun sampai 12 tahun mulai terlihat tanda-tanda sebagai penerima tongkat estafet perjuangan ajaran ulama pewaris Nabi. 

Beliau lebih cerdas dan lebih dewasa dibandingkan dengan teman-teman seusianya. Ketika bermain bersama temanya, beliau selalu dijadikan pemimpin. Lebih dari itu, beliau bahkan bisa mendamaikan teman-temannya apabila berselisih atau bertengkar.

1.2 Wafat
KH. Ahmad Yasin Asymuni wafat pada Hari Senin, 11 Januari 2021 ba’da Subuh. Dan dimakamkan di pemakaman komplek pesantren.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Sejak usia 6 tahun, Kyai Ahmad Yasin di samping sekolah dasar (SD) pada pagi hari, sore harinya mengikuti sekolah di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri), dan pada malam harinya diajar sendiri oleh Ayahnya, dalam membaca Al-Qur’an, menulis Arab, memahami dasar-dasar kaidah fiqih, tajwid, dll.

Hari, bulan, dan tahun terus berputar, sementara usia Kyai Ahmad Yasin semakin bertambah dan keilmuannya juga terus berkembang. Pada tahun 1975 M, Ahmad Yasin telah lulus SD kemudian melanjutkan sekolah di Madrasah Hidayatul Mubtadiien, Lirboyo, Kota Kediri yang berjarak kurang lebih sekitar lima km dari Dusun Petuk dengan penuh semangat.

Setiap hari perjalanan antara Lirboyo-Petuk ditempuh dengan naik sepeda pancal. Tiga tahun kemudian Kyai Ahmad Yasin sudah menyelesaikan sekolah tingkat Tsanawiyah, kendati sebagai siswa "nduduk" atau tidak menetap di pondok, Kyai Ahmad Yasin dinobatkan sebagai siswa teladan di Pondok Pesantren Lirboyo.

Padahal belum pernah terjadi seorang siswa yang "nduduk" menjadi siswa teladan. Satu-satunya adalah Kyai Ahmad Yasin. Kemudian, supaya bisa lebih meningkatkan aktivitas belajar, mulai tahun pertama masuk sekolah tingkat Aliyah, Kyai Ahmad Yasin bermukim di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri.

Pada tahun 1982 M. Kyai Ahmad Yasin sudah menyelesaikan (tamat) pendidikan tingkat Aliyah Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo yang kemudian dilanjutkan dengan menempuh pendidikan Ar-Rabithah di pesantren yang sama.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Asymuni (ayah)
  2. KH. Mahrus Aly,
  3. KH. Marzuqi Dahlan.

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Gemar Membaca
Setelah Kyai Ahmad Yasin tamat sekolah, hari-harinya dihabiskan untuk menelaah kitab-kitab kuning terutama kitab-kitab fiqih. Satu persatu dipelajari, diberi makna, dan dicatat bila ditemukan keterangan-keterangan yang dapat diaplikasikan di masyarakat. Semua ini dilakukan untuk menjawab masalah-masalah yang berkembang, baik yang bersifat kasuistik, insidentil, dan atau masalah lama yang perlu diketahui oleh masyarakat jawaban hukumnya sesuai perkembangan budaya teknologi dan pengaruh global.

Beliau adalah orang yang memegang prinsip "Menuntut ilmu tidak ada batas umur dan tidak mengenal waktu." Oleh karena itu, beliau suka menelaah kitab-kitab atau buku-buku, baik dari karya orang dahulu (kutubut turos) atau yang kontemporer (mu'asharah). Kyai Ahma Yasin tetap gemar membaca walaupun sudah diangkat menjadi guru dan diangkat menjadi Kepala Sekolah (Mudir). Kegemarannya itu masih terus dilakukan meski telah pulang dari pondok.

Kultur pondok pesantren di Kediri sangat kental dengan tradisi keilmuan baca kitab kuning. Karena itu, syarat mutlak seorang pengasuh pesantren adalah harus ahli dalam membaca kitab kuning pada santrinya dengan makna Bahasa Jawa, atau dikenal dengan istilah makna Pegon.

Hal itu tidak mudah dicapai karena orang yang piawai dalam membaca kitab kuning, di samping harus menguasai ilmu sharaf, ilmu nahwu, ilmu balaghah, dan ilmu alat lainnya juga harus piawai memahami arti dan maksud dalam kitab yang dibaca yang kemudian disampaikan kepada santri dengan penjelasan yang bisa dimengerti.

Pada tahun 1985 M, Kyai Ahmad Yasin mulai membaca kitab kuning. Kitab yang pertama kali dibaca adalah مجموع صرف dan selanjutnya beliau selalu membaca kitab dari berbagai macam disiplin ilmu, seperti ilmu nahwu, balaghah, fiqih, tafsir, hadis, dan lain sebagainya. Di pondok Lirboyo, beliau tercatat seorang pembaca kitab yang paling banyak pesertanya, kalau biasanya diikuti + 50 santri, namun di tempat beliau biasanya diikuti kurang lebih 300 sampai 500 santri. Hal itu menunjukkan kredibelitas keilmuan beliau yang tak diragukan lagi.

3.2 Pengurus Bahtsul Masail
Pada tahun 1984, Kyai Ahmad Yasin diangkat menjadi pengurus Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Lirboyo. Beliau juga tercatat sebagai perintis Bahtsul Masail di Pondok Pesantren Lirboyo setelah cukup lama sempat mengalami masa fatrah atau mandek.

Beliau sering menjadi delegasi (peserta) dari Pondok Pesantren Lirboyo untuk mengikuti agenda Bahtsul Masail yang diadakan oleh berbagai pondok pesantren, RMI, dan bahkan oleh NU. Beliau juga selalu ditunjuk untuk menjadi Tim Perumus dalam agenda berbagai Bahtsul Masail antar pondok pesantren, RMI Pusat, NU Jatim, Munas Alim Ulama atau Muktamar NU.

Beliau pernah menjadi Tim Perumus Bahtsul Masail saat agenda Muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta pada tahun 1989 M. Selain itu, beliau juga pernah menjadi Mushahih di dalam agenda Bahtsul Masail FMPP sejak tahun 1992 M.

Kyai Ahmad Yasin juga pernah dua periode menjabat Ketua LBM NU wilayah Jawa Timur. Dari sini, kemudian beliau diangkat menjadi Pengurus Syuriyah NU, Jawa Timur dan juga menjadi Wakil Ketua LBM NU Pusat (PBNU) sampai tahun 2010, (padahal menurut ketentuan AD/ART, Syuriyah tidak boleh merangkap jabatan di dalam lembaga).

3.3 Diangkat Menjadi Guru
Pada tahun 1983 M, Kyai Ahmad Yasin diangkat menjadi guru bantu (Munawwib) di kelas 6 Ibtidaiyah dan pada tahun 1984 M. diangkat menjadi guru tetap (Mustahiq) kelas 4 Ibtidaiyah Pondok Pesantren Lirboyo (aturannya sederhana, mustahiq mengikuti muridnya dari kelas ke kelas sampai kelas 3 Aliyah).

Pada tahun 1989 M. Kyai Ahmad Yasin diangkat menjadi Mudir atau Kepala Madrasah sampai tahun 1993 M. bersamaan dengan tamat selesainya menjabat sebagai Mustahiq kelas 3 Aliyah (sebelumnya di Pondok Pesantren Lirboyo belum pernah terjadi ada seorang Mustahiq yang sekaligus merangkap menjadi seorang Mudir, kecuali Kyai Ahmad Yasin).

Setelah khatam pelajaran Alfiyah Ibnu Malik kelas II Tsanawiyah tahun 1979 sampai tahun 1988 M, dan waktu liburan bulan puasa tiba, beliau selalu mengikuti pengajian kilatan di pondok-pondok pesantren yang mengadakan kilatan, seperti Pondok Batokan Kediri, Sumberkepoh Nganjuk, Suruh Nganjuk, Paculgowang Jombang, dan Ngunut Tulungagung. Setelah itu, pada tahun 1989 beliau memulai membuka pengajian dengan membaca kitab-kitab sebagaimana sistem kilatan di Pondok Petuk.

Kemudian pada tahun 1993 M, Kyai Ahmad Yasin pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Hidayatut Thullab.

3.4 Mendirikan Pesantren
Pada tahun 1993 M, KH. A. Yasin Asymuni mendirikan pondok pesantren yang diberi nama “Pondok Pesantren Spesialis Fiqih Hidayatut Thullab.” Keistimewaan pondok ini adalah mengarah kepada pendalaman ilmu fiqih. Di sini berbagai ilmu dipelajari dengan waktu yang relatif singkat. Ketentuannya, ilmu sharaf diselesaikan dalam waktu 1 tahun, ilmu nahwu 2 tahun, ilmu balaghah 1 tahun. Setelah itu, santri sudah ditetapkan masuk ke dalam takhasshus fiqih.

Alasan beliau memilih fokus dalam pendalaman ilmu fiqih adalah karena ilmu tersebut mengupas tentang semua hukum Allah, dan semua kehidupan manusia tidak lepas dari hukum fiqih. Karena itu, siapa yang mendalami ilmu fiqih, pasti akan mendapatkan manfaat yang sangat besar.

KH. A. Yasin Asymuni berpegang prinsip bahwa orang yang mempunyai ilmu agama tidak boleh kitmanul ilmi (menyimpan dan merahasiakan ilmunya). Karena itu, beliau tidak pernah menolak kepada siapapun yang meminta ilmunya, baik melalui pengajian, dialog, ceramah, dan sebagainya termasuk melalui kitab-kitab yang sudah diberi makna Bahasa Jawa.

Beliau mempersilakan kepada siapapun yang ingin menyalin kitab terjemahannya tersebut dengan photocopy. Namun, belakangan setelah banyak yang datang untuk izin photocopy, akhirnya beliau berinisiatif untuk mencetak kitab-kitab yang telah dimaknai itu.

Setiap bulan puasa, KH. Ahmad Yasin Asymuni membaca kitab-kitab kuning kurang lebih sebanyak 30 kitab. Pesertanya tidak hanya santri yang menetap di Petuk, tetapi dari berbagai pondok pesantren di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dll. Karena itu, setelah kitab makna yang telah dicetak, maka respons dari pondok-pondok pesantren cepat meluas.

Bahkan banyak dari kalangan para ustadz dan kyai yang minta diberi makna kitab-kitab yang cukup banyak. Permintaan ini disanggupi meski sempat merasa sampai kualahan memenuhinya. Ada beberapa kitab yang masih belum bisa dipenuhi, seperti Iqadhul HimamRathibul HaddadAl-Mukasyafah, dll.

Kitab bermakna pada dasarnya untuk membantu para ustadz yang membaca kitab, karena tidak mempunyai makna atau mempunyai makna tetapi kurang komplit (penuh) maknanya. Namun sekarang berkembang kepada siswa madrasah.

Banyak yang melaporkan bahwa di madrasah yang pelajarannya cukup banyak, tidak bisa mengkhatamkan kitab-kitab yang besar karena tidak memiliki waktu yang cukup untuk membacakan makna dan menerangkan. Tapi sekarang para ustadz cukup memberi batasan, dan besoknya tinggal menyuruh membaca, ustadznya bisa menerangkan, melakukan evaluasi dan juga menghidupkan diskusi.

Kabarnya, pada tahun 2006, ada seorang ustadz meminta kitab yang maknanya lebih komplit lagi. Ada yang minta dibuatkan CD MP3 supaya lebih mudah lagi untuk membacanya dengan adanya panduan itu. Demi memenuhi permintaan tersebut, akhirnya setiap pengajian beliau direkam dan dimasukkan dalam CD MP3. Adapaun pengajian tersebut mencakup berbagai macam kitab, seperti Kitab Al-MahalliFathul Mu’inFathul QaribBulughul Maram, dll.

4. Karya-Karya
KH. Ahmad Yasin Asymuni menyimpulkan bahwa berdakwah dan tabligh (menyampaikan ilmu kepada masyarakat) bisa melalui 3 hal, yaitu:

  1. Memberikan contoh prilaku yang baik (bil hal) kepada masyarakat.
  2. Melalui lisan dengan mengajar, membaca kitab, ceramah, dialog, seminar, dll.
  3. Melalui karya tulis.

Pada tahun 1989, beliau mulai berpikir untuk berdakwah dan melakukan tabligh melalui karya tulis. Karya perdananya berjudul تَسْهِيْلُ الْمُضَحِّي (dengan menggunakan bahasa Jawa) kemudian buku dengan judul تَسْهِيْلُ الْعَوَّامِ yang berisi tanya jawab masalah agama yang berisi 300 pertanyaan.

Setelah melakukan evaluasi, setahun kemudian beliau menganggap kitab tersebut dirasa kurang diminati masyarakat. Kemudian beliau mecoba menulis sebuah kitab menggunakan Bahasa Arab dengan judul رِسَالَةُ الْجَمَاعَةِ، تَحْقِيْقُ الْحَيَوَانِ, dll.

Informasi yang beredar, kitab yang ditulis oleh beliau telah mencapai sekitar 150-an judul (semua berbahasa Arab) dan kitab-kitab yang ditulis dengan Bahasa Arab tersebut justru lebih diminati oleh masyarakat secara luas, khususnya di berbagai pondok pesantren, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan berbagai daerah lain di Indonesia. Bahkan, sampai di Malaysia, Timur Tengah, dan Inggris.

Banyak masyarakat yang memanfaatkan atau mempelajari karya tersebut. Semua itu dapat dibuktikan dengan banyaknya orang yang datang langsung ke Pondok Pesantren Petuk untuk meminta ijazah (minta izin) untuk mempelajari kitab tersebut. Selain itu, di perpustakaan PBNU karya beliau juga ditaruh di jajaran karya tokoh-tokoh nasional, seperti KH. A. Shiddiq dari Jember, KH. Sahal Mahfudh dari Kajen Pati Jateng, dll.

Pada tahun 2003, KH. A. Yasin Asymuni kedatangan tamu dari Inggris, yaitu Mr. Yakiti. Tamu tersebut minta izin untuk mencatat nama beliau yang akan dimasukkan dalam nominasi 100 tokoh Islam dunia karena karya tulisnya sudah banyak dipelajari di sana dan kebanyakan muslim di Inggris bermadzhab sama dengan beliau, yakni Madzhab Syafi`i.

Mr. Yakiti semakin simpati kepada KH. A. Yasin Asymuni, karena waktu itu beliau membawa salinan karya tulis Imam Ghazali yang membahas falsafah dan baru ditemukan di Iran, tetapi karena tulisannya banyak yang hilang lalu beliau meminta tolong kepada KH. Ahmad Yasin Asymuni untuk mengisi bagian yang hilang dan juga diminta untuk menerangkan maksudnya.

Setelah dijelaskan dengan Bahasa Arab, Mr. Yakiti manggut-manggut mengiyakan sambil berkata, “Ini sudah saya tanyakan kepada ulama Timur Tengah, ulama Malaysia, dan ulama Indonesia baru sekarang saya paham.”

Ketika KH. Ahmad Yasin Asymuni ditanya tentang teroris, mendukung atau menentang? Beliau menyampaikan banyak dalil-dalil yang isinya menentang gerakan teroris. Lalu beliau juga menegaskan, bahwa sekarang sudah tidak ada kafir harbi artinya tidak ada celah yang dibuat alasan untuk membunuh orang kafir kecuali kalau mereka menyerang orang Islam.

Pada tanggal 02 Januari 2011, KH. Ahmad Yasin Asymuni mendapat Piagam Penghargaan dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, atas jasanya dalam bidang keilmuan atau bidang akademik sebagai Penulis Produktif dalam kajian kitab di pondok pesantren.

5. Chart Silsilah Sanad
Berikut ini chart silsilah sanad guru KH Yasin Asymuni dapat dilihat Di sini.

6. Referensi

  1. Jaringan Santri,
  2. Galeri Kitab Kuning.

Artikel ini sebelumnya diedit pada tanggal 08 Agustus 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa pada tanggal 11 Januari 2024.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya