INFAK / SEDEKAH/ DONASI/ SUMBANGAN untuk LADUNI.ID
Seluruh dana yang terkumpul untuk operasional dan pengembangan portal dakwah Islam ini
Dalam salah satu pengajiannya, Gus Baha membuka dengan sebuah premis dasar filsafat: “Alam ini sudah akibat dari musabab. Kalau akibat berarti butuh sebab.” Dengan ungkapan sederhana ini, Gus Baha mengajak kita untuk menelusuri akar dari segala sesuatu yang ada.
KH. Mundzir Tamam lahir di Klender, Jakarta, pada 5 Mei 1939 dari pasangan KH. Maisin dan Hj Fatimah. Beliau adalah anak terakhir dari sepuluh bersaudara.
KH. Muhyiddin Abdusshomad, lahir di Jember Jawa Timur 5 Mei 1955 dari pasangan KH. Abdusshomad dengan Ny. Hj. Maimunah.
Perjalanan hidup KH. M. Jusuf Djunaedi bermula dari tanah kelahirannya di Kaliwungu, Kendal, kemudian pergi mondok ke Ngebel, Secang, Magelang, kemudian berguru ke Karangjongkeng, Brebes. Kemudian terakhir menetap di Desa Laladon, Ciomas, Bogor (1951) dan mendirikan pesantren bernama Pondok Pesantren Aula Al-Qur'an (PPAQ) yang kini bernama Pondok Pesantren Ilmu Al-Qur'an (PPIQ).
Akhlak Habib Anis, diantaranya tercermin dari sikap sumeh (murah senyum) dan dermawan yang dimilikinya. Ibu Nur Aini penjual warung angkringan depan Masjid Ar-Riyadh menuturkan, “Habib Anis itu bagi saya, orangnya sangat sabar, santun, ucapannya halus dan tidak pernah menyakiti hati orang lain, apalagi membuatnya marah,”
Konteks Indonesia, salah satu penyebar Islam yang penting adalah para ulama dan wali, khususnya Walisongo di Tanah Jawa. Mereka (Walisongo) merupakan sembilan ulama yang menyebarkan Islam dengan penuh kearifan, moderat, penuh nilai toleransi dan kedamaian.
“Tidaklah seorang Mukmin bertakziyah kepada saudaranya yang terkena musibah kecuali Allah akan memakaikan pakaian kemuliaan kepadanya di Hari Kiamat.” (HR. Ibnu Majah)
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." (QS. Al-Anfal: 2)
Secara hukum dalam literatur fikih kita adalah diperbolehkan membalas setimpal kepada orang yang berbuat buruk kepada kita. Namun dalam kemuliaan akhlak hal tersebut tidak dianjurkan. Demikian itu banyak diteledankan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Menjadi orang pelit itu pasti tercela, baik di mata sesama manusia maupun di sisi Allah SWT. Tapi, begitu juga akan menyesal kalau semua hartanya diberikan kepada orang lain.